Kalau sedang ada duit lebih, aku dan ibumu suka nongkrong di restoran AW. Menikmati sedikit kemewahan makan memakan. Meski namanya junkfood, tapi bagi kami itu sudah cukup mewah. Sudah cukup bikin senang.
Pernah suatu kali aku cerita tentang seekor kucing di depan restoran itu. Tapi tidak lengkap. Lengkapnya begini.
Saat itu kami –aku dan ibumu maksudnya, bukan dengan kucing itu—makan di dekat pintu masuk. Sejak kami mulai duduk, seekor kucing juga ikut duduk, diam memandangi kami dari luar pintu kaca.
Aku membelakanginya waktu itu. Desanti Sarah, ibumu, yang duduk menghadap ke luar ke arah jalan, melihat ada yang sedikit aneh dengan kucing itu. Karena terhalang pintu kaca, kami tak jelas mendengar apa dia mengeong-ngeong. Tapi yang kami lihat, kucing itu hanya duduk tenang, benar-benar tenang. Dia mungkin semacam kucing yang pernah ikut kursus John Robert Power, karena sekalipun tampak lapar, dia tak menunjukkan perilaku agresif meminta makanan. Dia paham table manner rupanya, tidak seperti kucing-kucing liar lain yang biasa berkeliaran di sekitar warteg. Setiap ada orang yang mau masuk melewati pintu, kucing itu menyingkir dan lalu kembali ke posisi semula, duduk seperti celengan. Dia tak berusaha merangsek masuk. Tapi kalau saat itu kamu berada di situ, subhanallah, kamu pasti akan sependapat dengan kami bahwa tampang kucing itu memang sangat memelas. Matanya itu!
Ibumu yang merasa kasihan, tiba-tiba memintaku untuk membagi ayam goreng dengan kucing itu. Ayam gorengku sendiri. Aku sempat berpikir mengapa dia meminta padaku, kenapa dia tidak membagi ayam gorengnya sendiri? Tidakkah dia melihatku sangat menyayangi ayam goreng itu?
Tapi begitulah. ’Selama bukan hal prinsipil, ikutilah kemauan istrimu.’ Demikian nasehat perkawinan yang sering aku dengar. Maka aku pun menuruti perintah ibumu. Toh memberi atau tidak memberi makan kepada kucing lapar tidak termasuk hal yang prinsipil dalam daftarku.
Hanya beberapa detik setelah aku meletakkan sepotong kecil ayam goreng di dekat kucing itu, tiba-tiba seekor kucing lain yang lebih kecil mendekat. Aku yang sudah kembali duduk di kursiku, melihat dari balik kaca, kucing yang lebih besar itu tidak jadi memakan ayam goreng pemberianku dan mempersilahkan kucing yang lebih kecil itu memakannya. Sungguh, kami dibuat terperangah. Kucing itu benar-benar baik hati.
Karena aku juga baik hati dan tidak pelit, aku berniat memberinya sepotong kecil lagi. Tapi sebelum aku sempat membuka pintu, kucing besar itu sudah pergi meninggalkan sang kucing kecil menikmati makan malamnya. Meninggalkan kami. Oh, semoga dia diterima di sisi-Nya. Lagi-lagi aku dibuat tesentak. Aku tidak mau tahu ada relasi apa di antara mereka berdua. Mungkin kucing kecil itu anaknya, anak tetangganya, atau bukan siapa-siapanya. Entahlah.
Dan ketika kucing itu benar-benar hilang dari pandangan kami, aku mendengar ibumu menyampaikan satu anjuran lagi, “Bungkusin tulang-tulangnya, Kak. Siapa tau nanti pas pulang kita ketemu di jalan.”
Ahay!! Itulah istriku. Istriku yang sangat aku sayangi. Bagaimana mungkin aku bisa meragukan cinta dan kasih sayangnya kepadaku, jika kepada kucing yang tak dia kenal sekalipun dia bisa begitu peduli..
Maka jadilah kami membawa pulang bungkusan tisu berisi tulang dan remah daging ayam sisa makanan kami. Rumah kami dan restoran A&W tak terlalu jauh, jadi kami bisa pulang berjalan kaki. Jaraknya kira-kira 600 meter.
Tapi hingga kami tiba di depan rumah, kucing lapar yang baik itu tak juga terlihat. Dengan perasaan campur aduk, kami akhirnya membuang bungkusan tulang itu ke tempat sampah di depan rumah. Entah apa namanya perasaan yang muncul saat itu. Bukannya mau lebay, tapi benar-benar seperti antara sedih dan kecewa. Sedih dan kecewa karena Tuhan tidak mengizinkan kami untuk berbuat baik, yang mungkin bisa sedikit mengurangi tumpukan dosa kami.
—
Kejadian itu sekitar 3 atau 4 bulan lalu. Tapi soal kucing baik hati di depan restoran AW itu tiba-tiba melintas lagi di kepalaku ketika aku menonton berita pagi ini. Mahasiswa yang berunjuk rasa di Makassar melempari sebuah restoran cepat saji lain, KFC.
Dari sejak kemarin sore, kemarahan mulai buncah di kepalaku. Seorang teman produser yang mengedit berita untuk berita sore bertemu denganku di selasar dekat toilet. ”Kenapa lagi itu anak makassar, Chan? KFC dilempari…”
Teman itu sebenarnya hanya bertanya ”kenapa”, tapi aku yakin sesungguhnya dia ingin bilang ”kenapa sebodoh itu” atau ”kenapa setolol itu”. Apa hubungannya KFC dengan peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia?
Aku juga tak tahu ada apa sebenarnya. Ada yang bilang karena gubernur Sulsel yang tak berada di tempat, menolak menandatangani petisi mereka. Ada juga yang bilang, kerusuhan itu dipicu oleh perilaku oknum anggota dewan. Whatever lah!
Bahwa mereka memang mudah marah dan tersulut, iya aku tahu. Aku pernah berada dan menjadi seperti mereka. Yang tak aku mengerti kenapa mereka bisa seculun itu? Wahai, inilah dia mahasiswa yang pabbambangeng na tolo.
Tidakkah mereka sadar, suatu kali mereka akan berhadapan dengan personalia sebuah kantor yang menolak lamaran pekerjaan mereka hanya karena mereka membawa cap mahasiswa Makassar yang mudah marah!
Sekarang seluruh Indonesia tak mau lagi mengerti kata oknum. Satu yang berbuat semua terimbas akibatnya. Di berita semua media, tak ada lagi istilah ”oknum mahasiswa makassar”. Yang ada mahasiswa Makassar rusuh!
Pagi ini, aku masih terus mencoba menghubungi seorang teman di Makassar. Tapi hingga saat ini aku tulis, nomernya yang aku hubungi itu belum juga tersambung. Dia bukan mahasiswa. Dia tak pernah jadi mahasiswa.
Ayahnya yang guru SD meninggal sejak dia masih kecil, ditabrak lari oleh orang tak dikenal. Ibunya akhirnya harus bekerja serabutan untuk membiayai hidupnya, bekerja apa saja yang halal, berjualan makanan, kain, dan lain-lain.
Temanku itu, sebagai anak tertua, akhirnya mengambil alih tanggung jawab keluarganya. Dia harus membantu ibunya membiayai sekolah dua orang adiknya. Selesai SMU, dia memutuskan untuk bekerja. Itulah sebabnya dia tak pernah jadi mahasiswa.
Terakhir aku bertemu dengannya, kami duduk semeja. Aku sedang makan di KFC waktu itu.
Dan pagi ini, aku masih terus berusaha menghubunginya. Setahuku, dia ada di KFC yang kemarin dilempari mahasiswa di Makassar itu. Tapi dia bukan mahasiswa yang merasa pintar dan bisa melempari apa saja. Dia hanya pelayan. Pekerjaannya mengelap dan membersihkan meja pelanggan KFC. Jika ada remah-remah ayam sisa yang tak dimakan orang, dia suka membawanya pulang dan memberikannya pada kucing-kucing di jalan.|
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023