Dua bulan awal di Birmingham, semuanya masih serba jetlag. Cuaca khas UK yang galau, terkaget-kaget melihat tagihan listrik-gas dan air yang ternyata cukup menggerogoti saldo tunjangan biaya hidup, bahkan toilet kering tanpa gayung saja, bisa bikin mata berkaca-kaca karena sebel. Syukurlah, setelahnya sudah mulai bisa beradaptasi dan menikmati hari-hari. Kalau di dua bulan awal segala hal baru mengenai kebisaan di sini memberikan tambahan rasa tertekan dan makin kangen bakwan abang-abang, maka seiring berjalannya waktu setiap ada hal berbeda yang baru kita ketahui malah jadi seperti petualangan menyenangkan yang seru dibahas bersama suami dan anak-anak. Satu hal yang selalu kami tekankan dalam berdiskusi soal perbedaan di Indonesia dan UK, adalah dengan tidak pernah membandingkan tinggal di mana yang lebih enak. Tinggal di Indonesia dan di UK (dan di belahan dunia manapun) selalu menyenangkan, selama kita bersama orang-orang yang kita sayang.
Pengalaman baru di sini yang paling menuntut saya keluar dari comfort zone adalah saat menerima undangan makan ke rumah dari orang lokal. Bahkan, awalnya saya diam-diam bahagia banget kalau pas diundang bentrok dengan waktu untuk menjemput anak atau ada janji dengan teman yang orang Indonesia, atau pernah saat diundang makan malam kita pas ada rencana ke luar kota. Berbeda dengan undangan makan dari teman Indonesia yang kita terima dengan senang hati, undangan dari tetangga dan teman gereja atau orang tua teman anak-anak kita yang orang lokal lebih terasa seperti ujian buat saya. Membayangkan nanti di sana bicara apa, apa yang harus dilakukan, yang dihidangkan apa, dan cara makannya bagaimana, serta apa yang harus dibawa ke sana, membuat saya melihat undangan seperti ini nambah-nambahin pikiran doang.
Tapi saat melihat anak-anak yang sepertinya menikmati setiap hal baru di sini, saya berusaha mengubah keengganan saya dalam menerima undangan seperti ini. Dimulai saat tetangga-tetangga mengundang to have a tea di rumahnya, lalu undangan makan malam dari teman gereja dan orangtua teman sekolah anak-anak, saya mulai berusaha menikmati.
Tips terpenting saat menerima undangan di sini adalah memastikan undangan makan yang bagaimana. Di UK, kata-kata to have a tea, bisa berarti memang hanya dihidangkan teh dan biscuit, tapi bisa juga dihidangkan makanan lengkap. Ini bisa kita kira-kira dari waktu undangannya. To have a tea tapi di jam 7 malam artinya biasanya seperti makan malam, sedangkan to have a tea jam 4 sore atau jam 10 pagi biasanya memang hanya minum teh. Jurus paling ampuh, kata salah seorang teman yang orang lokal, adalah tentu saja dengan bertanya memastikan. Saat menerima undangan, kita bisa membawa makanan yang kita buat sendiri, kue atau pudding, sekotak coklat, atau bunga (iya,saya juga masih nggak sreg bawa bunga, tapi sebagian orang di sini menghargai bunga). Soal waktu juga harus kita perhatikan, dan biasanya saat mengundang mereka selalu memberi tahu waktu tepatnya, bahkan beberapa kali undangan minum teh langsung disebutkan dari jam berapa sampai jam berapa. Jangan datang terlambat, tapi juga jangan terlalu cepat.
Satu hal penting yang perlu diwaspadai dalam menerima undangan makan dari teman lokal di sini adalah dengan tidak meletakkan pengharapan tinggi pada makanan yang dihidangkan. Bukan hanya dari segi rasa, yang sampai saat ini belum ada yang mengalahkan kekayaan paduan rasa tiap makanan Indonesia, tapi juga secara jumlah makanan yang dihidangkan sangat efisien. Disediakan sebanyak orang yang ada (saya pernah memelototi anak saya karena dia mau minta tambah yang kedua kalinya karena menunya ayam panggang yang dia suka), dan tidak akan membuat kita kekenyangan. Kenyang iya, tapi tidak akan pernah kekenyangan. Tentu saja berbeda dengan undangan makan teman Indonesia yang biasanya mulai dari menginjakkan kaki sudah disediakan cemilan dan setelah selesai makan besar pun masih ditutup kudapan ini itu.
Yah, sekarang sudah rekor deh selain tidak deg-degan lagi saat diundang, saya sudah berani mengundang balik tetangga sebelah untuk have a tea juga, yang konteksnya beneran minum teh dan makan bolu ketan itam. Makan malam sih nanti dulu, ya, masih grogi ditambah di rumah kita nggak ada meja makan yang proper pula. Kayaknya saat itu tiba, saya akan berjuang masak rendang. Setidaknya jika pun makan malam yang saya sediakan tidak spektakuler dan peralatan makan seadanya, mereka bisa bilang sudah pernah mencoba the most famous caramelized meat in the world : rendang!
- Rahasia Bahagia di Usia 100 Tahun - 15/02/2017
- Don’t Flush Our Dreams and Hope (Especially in The Toilet of Virgin Train) - 06/01/2017
- Mulan Menyelamatkan Bumi - 19/06/2016