River’s Corner

Ilustrasi. Img:Freeimages.com
Ilustrasi. Img:Freeimages.com

Baiklah. Paket pertama sudah disampaikan. Tujuannya Surabaya. Ibu Endah Subiantoro adalah pelanggan pertama kami.

Waktu itu siang menjelang Jumat, aku buru-buru ke kantor agen jasa kurir TIKI JNE. Harus berlomba dengan adzan, karena semua urusan bisnis yang masih dikerjakan ketika adzan Jumat telah berkumandang maka terlarang hukumnya.

16 Juli 2010. Akhirnya kami memberanikan diri untuk memulai apa yang tertunda sekian lama. Kamu tahu, Nak, ibumu telah memutuskan berhenti dari pekerjaannya untuk fokus mengasuhmu. Namun rupanya semakin kamu besar semakin banyak waktu lowong. Kamu sudah bisa duduk tenang saat menonton Pocoyo atau Charlie and The Number. Dan pada saat-saat itulah, terutama pada saat kamu tertidur lagi setelah mandi pagi, ibumu akan menyalakan laptopnya dan menyapa para pelanggan. Hari ini, sudah hampir satu setengah tahun berlalu dari saat kami memulainya. Ibumu membuka toko online yang menjual perlengkapan bayi, Nak. Kami namakan toko itu seperti namamu. River’s Corner.

Alhamdulillah. Sejauh ini lumayan hasilnya. Seperti yang dijanjikan Allah, Nak, pintu rezeki yang lain akan segera terbuka begitu satu pintu tertutup. Ibumu tak lagi menerima gaji dari kantornya, dan sebagai gantinya datanglah satu dua rupiah dari pembeli dagangannya. Kalau kamu mau tahu, sebenarnya bukan itu yang menjadi tujuan kami. Insya Allah, aku masih mampu menghidupi kalian berdua -dan berapa pun adikmu nanti– tanpa ibumu harus ikut bekerja. Tadinya aku sempat tidak setuju, tapi mungkin ini memang sudah jalannya.

BACA:  Bottle’s Neck Sadness

Barangkali ini salah satu cara bagi kami untuk saling menghargai sebagai pasangan suami istri. Dengan membuka toko di dunia maya ini, yang meski tak besar-besar amat hasilnya, kami belajar untuk bekerja sama. Belajar saling mendukung. Kami yang tak pernah mengenyam Sekolah Blog dan agak rabun soal internet, berusaha mempelajari dunia baru ini. Sekarang kami masih pakai lapak gratisan, tapi nanti mudah-mudahan ada rezeki dan ilmu lebih sehingga bisa punya lapak jualan sendiri. Mungkin namanya riverscorner.com.

Jadi, Nak, selain sebagai jurnalis, saya ini juga delivery guy. Tukang antar. Bila yang kebetulan memesan barang adalah teman sekantor, maka akulah yang bertugas mengantarkannya. Lantai 3 atau 5 sudah biasa aku jabanin, Nak. Percayalah, aku ini bisa diandalkan. Seandainya pun Pak Ishadi atau Pak Chairul yang memesan popok bayi misalnya, niscaya akan aku antarkan juga ke ruangannya di Lantai 9 atau di Lantai 24. Pakai tangga bila perlu.

Begitulah, Nak. Bisnis kecil-kecilan ini juga merupakan serangkaian upaya mencari akar masa lalu. Tempo hari, aku pernah ngobrol dengan abang dan adikku soal akar usaha, tentang bagaimana keluarga kami bisa bertahan hingga kini, melewati serangkaian malaise dan pemberontakan sosial politik. Sehingga terbukalah sebuah fakta bahwa sesungguhnya kami ini adalah keluarga pengusaha atau pedagang. Kakek buyutku dari pihak ibu adalah pemilik toko emas cukup terkenal di kota kami pada masanya. Bahkan beberapa gedung ruko yang kini dibeli oleh pengusaha-pengusaha Cina di pusat kota konon adalah bekas milik kakekku.

BACA:  Termos Es Bu Guru

Untuk melengkapi hikayat kejayaan itu, Nak, baiklah kau dengarkan cerita ini. Tapi jangan terlalu kau percaya, karena aku sendiri belum mem-verifikasi kebenarannya. Dari cerita beberapa orang-orang tua, aku mendengar bahwa kakekku -yang artinya kakek buyutmu- berteman baik dengan pengusaha terbesar di kota kami, Hadji Kalla. Mereka sempat berjualan berdampingan lods di pasar. Hadji Kalla ini adalah ayah dari Pak Jusuf Kalla, pengusaha terkenal asal Sulawesi, pemegang lisensi penjualan Toyota yang kemudian menjadi Wakil Presiden RI periode 2004-2009 mendampingi Presiden sekaligus biduan kita Bapak Soesilo Bambang Yudhoyono.

Sebagai teman, kakekku sering bertandang ke rumah Pak Hadji Kalla. Waktu itu belum ada handphone atau Facebook, jadi silaturrahmi benar-benar berarti harus saling mengunjungi. Menurut cerita, saat kakekku dan rekan-rekan bisnisnya yang lain ngobrol di dalam rumah, di depan pintu biasanya ada anak-anak kecil yang bertugas menjaga sandal milik para tamu. Waktu itu, Jusuf Kalla yang masih kecil termasuk yang sering bertugas menjaga sandal dan setelah itu akan menerima upah dari kakekku.

Hahai! Jadi sesekali kita juga boleh sombong, Nak, bayangkan, sandal kakek kita pernah dijaga oleh seorang wakil presiden. Hehehe. Maaf ya, Pak JK!

Demikianlah kisah ini aku sampaikan kepadamu, wahai anakku River. Lagi-lagi agar kita selalu saling mengingatkan. Seperti termaktub dalam kata-kata bijak ini: kita lebih baik menjadi buruh yang berkeringat, daripada menunjukkan wajah mulus yang sesungguhnya adalah topeng. Begitu kata Budi Afriyan, kawanku yang pernah menghadiahimu 1 gram emas ketika kamu kecil, dan juga telah mengajarkan banyak hal kepada ayahmu ini.

BACA:  Misheard Lyric


Dan beginilah kami membangun bisnis online ini, Nak. Pada mulanya adalah sebuah toko maya kecil. Entah suatu hari nanti dia akan jadi besar atau tidak. Namun setidaknya kami sudah berusaha menunjukkan kepadamu tentang upaya membangun mimpi dan memelihara semangat. Bermula dari ruang kecil saja, ruang selebar monitor komputer.

ps: tulisan ini adalah draft lama yang ditulis ulang untuk meramaikan lomba blog ini. 🙂

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga