Renungan Mantan Kiper

Tambun-tambun begini, Nak, aku ini dulunya juga pemain bola. Waktu kecil aku ikut klub bola, posisiku bek bertahan, meski jarang bertanding. Untuk urusan bola, teman-temanku rada sadis. Aku lebih sering jadi cadangan. Cadangan bertahan. Jarang aku dimainkan. Sakit hati sih. Tapi mau bagaimana lagi. Biar kata itu cuma kelas kampung, teman-temanku banyak yang jago.

Lama-lama aku jadi malas main bola. Rasanya tak ada harapan di lapangan hijau.

Masuk SMP, aku alih hobi jadi pemain basket. Pemain basket tampak keren ketika itu. Cewek-cewek banyak yang suka. Suka kepada mereka yang jago, tentu saja. Bukan kepadaku. Akhirnya aku memutuskan juga berhenti main basket.

Aku kembali bermain bola ketika kuliah. Sebabnya karena pertandingan antar-angkatan. Jadi seberapa pun begonya engkau, pasti boleh main. Posisiku mundur satu step. Kali ini aku jadi penjaga gawang. Soalnya badan sudah agak berat kalau dibawa lari-lari. Menurutku jadi kiper relatif lebih pendiam dan hemat. Dan itulah aku di situ.

Lulus kuliah, aku lama lagi tak main bola. Baru ketika di tempat kerjaku aku mulai main lagi. Futsal sih sebenarnya. Ada pertandingan antar program. Satu program biasanya tak banyak orangnya. Jadi mau tak mau harus main. Lagi-lagi aku jadi kiper. Jadi, mengertilah aku, Nak, kira apa-apa yang dirasakan oleh Markus ketika kebobolan 3 gol di Bukit Jalil.

BACA:  Lihat Mataku, Nak...

Hari-hari ini, Nak, orang ramai sekali membicarakan bola. Orang-orang sedang menaruh harapan besar terhadap Timnas kita. Kemarin mereka kalah 0-3 di pertandingan leg pertama melawan Malaysia. Hancur rasanya. Aku juga jadi tidak semangat. Setelah menonton itu di televisi, lama aku baru bisa tertidur.

Bangun-bangun, aku menemukan orang-orang saling menyalahkan. Menyalahkan para politisi yang mengambil untung dari popularitas Timnas yang sebelumnya sempat menjulang. Jika memang benar, terkutuklah mereka –para politisi itu. Menyalahkan Nurdin Halid yang kata mereka harus turun. Nurdin Halid itu tetanggaku di kampung, Nak. Aku kenal adiknya, kami pernah sama-sama main basket di satu-satunya lapangan basket di kota kami dulu. Nurdin mungkin memang harus turun, tapi yang tidak aku mengerti adalah kenapa dia bisa naik dan ada di situ?

Ada juga yang menyalahkan media yang katanya terlalu lebay mengekpos mereka. Bisa jadi. Kami disalahkan, Nak. Teman-temanku disalahkan. Aku akui memang ada dari mereka –orang media itu– yang bertindak berlebihan. Itulah mereka yang memang punya bakat untuk itu. Media yang lebay, wahai anakku, akan mengekpos apa saja dengan berlebihan. Tak harus Tim Nasional Indonesia. Itulah tabiat mereka.

Nak, masih ada sisa satu pertandingan lagi. Berat. Tapi kita tak boleh berhenti berharap. Seperti pertandingan-pertandingan sebelumnya, mari kita menontonnya melalui televisi saja. Aku sesungguhnya ingin membawamu ke GBK, tapi rasanya kamu masih terlalu kecil untuk itu. Kasihan nanti kupingmu, Nak.

BACA:  Malaikat yang Terinjak Sayapnya

Lagipula, kau lihat sendiri, Nak, bagaimana rusuhnya para pengantri tiket di dekat Istora kemarin. Belum lagi kalau ada ledakan petasan atau bahkan sinar laser nyasar. Berbahaya. Di rumah lebih aman. Menonton ditemani kue-kue kecil buatan ibumu. Apakah yang lebih aman dan nyaman daripada itu?

Bukan soal kalah menang lagi sebenarnya, Nak. Kekalahan Indonesia oleh Malaysia kemarin seharusnya mengajarkan banyak hal kepada kita. Selama ini spirit bola sudah banyak ternodai. Bertanding bola seharusnya adalah berbagi kegembiraan, bukan kebencian.

Di dekat rumah kita, Nak, betapa banyak anak-anak tanggung yang dengan bangga menulis “Viking Anjing” di kaos atau tas sekolah mereka. Terlihat betapa bencinya mereka terhadap fans dan klub sepakbola Kota Bandung itu. Sebaliknya juga begitu, Nak. Di dekat rumah ibumu di Bandung, pernah aku berjalan beriringan dengan anak-anak muda yang bajunya penuh tulisan “The Jak Anjing”. Saling menganjingkan. Rupanya itulah yang mereka pelajari dari sepakbola.

Baiklah, Nak. Besok malam timnas kita akan berjuang mati-matian untuk membela negara. Di leg kedua pertandingan final Piala AFF 2010 ini, timnas setidaknya harus menang 4-0 melawan Malaysia. Mari kita dukung Firman, Bepe, Gonzales, Irfan, dan lain-lain. Kalah atau menang, mereka adalah semacam jihadi. Mereka tak takut patah tulang, demi untuk memberikan kegembiraan kepada kita, para penontonnya. Mereka sudah merelakan masa muda mereka yang berharga, untuk berkeringat dan berpeluh di rumput hijau. Tak seperti banyak anak muda, yang hanya bisa marah-marah dan memaki satu sama lain.

BACA:  Pagliacci dan Badut yang Tidak Bisa Sulap

Inilah semacam renungan, Nak. Dari ayahmu. Seorang mantan kiper.

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga