Refleksi Anak Rantau: Indonesia vs Inggris?

Rasanya memang tidak adil apabila UK dengan 65.050.479 penduduk dibandingkan Indonesia dengan 257.399.982 penduduk. Mengurus rakyat yang jumlahnya 4x lipat lebih banyak harusnya pemerintah kita lebih pusing dan kerepotan. Masalah yang dihadapi negara kita sudah tentu lebih njlimet, belum lagi soal Negara Kepulauan dan ratusan suku bangsa. Tapi, di sini saya bukan ingin membuat kita sebagai warga negara Indonesia menjadi makin kecil hati atau malah mengumpat pemerintah. Saya justru ingin bilang bahwa selama saya bersekolah di welfare state ini dan belajar banyak tentang pemerintah UK dan kebijakannya, saya berani bilang kalau negara kita tidak seburuk yang dikeluhkan banyak orang.

Bukan berarti Bapak-Ibu yang duduk di pemerintahan kerjanya sudah bagus ya, tetap saja kita butuh perubahan! Jadi, tulisan ini bermaksud mengikis sedikit apatisme yang terlanjur bercokol di hati kita, sekaligus motivasi untuk para Mas-Mba lulusan Luar Negeri untuk ‘berkontribusi’ bagi negara. Ini serius, apa yang baik di negara tempat kita belajar, bolehlah kita bawa ke negara kita. Soal ide kita bakal didengar para ‘tetua’ di Kementerian atau tidak, bukan masalah besar, yang penting niat baiknya saja dulu.

Mari kita mulai kupas sedikit perbandingan antara Inggris dan Indonesia.

Kesehatan

Anda bayar iuran rutin BPJS Kesehatan tapi masih banyak keluhan? Sama! Inggris punya yang namanya National Health Service (NHS) yang katanya ‘world class health system’. Iurannya, jangan ditanya, kursnya saja sudah beda jauh sama rupiah, jadi ya pasti lebih mahal. Tapi soal keluhan pasien, masih saja banyak, padahal NHS sudah berdiri sejak 1948 dan mengalami banyak reformasi dari segi manajemen dan pendanaan. Jadi, jangan heran jika BPJS masih banyak kekurangan. Soal pendanaan, meski budget NHS sudah rutin dimasukkan dalam APBN UK, tetap saja rentan defisit. Karena itulah, sistem kesehatan UK yang awalnya state-owned based, sekarang menganut mixed-provision, yang bisa disokong oleh private sector and social enterprises, berlandaskan tender dan kontrak.

BACA:  Jujur, Sudah(dan Bisa)kah Kita?

Di sini, kalau mau bertemu dengan dokter (GP) harus buat janji dahulu dan nanti ditentukan tanggal serta jam untuk berkonsultasi. Pertanyaannya: kalau sakitnya parah dan tidak bisa menunggu? Kita langsung ke Walk-In Center dan menunggu giliran di tengah antrean yang ada. Nah soal obat, kalau BPJS dikeluhkan karena memberikan pasiennya obat generik, di sini malah kalau periksa jarang sekali diberikan obat oleh dokter. Bagi kita yang sudah terlanjur tersugesti ‘minum obat biar ceoat sembuh’ pastilah sulit beradaptasi dengan sistem kesehatan di UK ini. Tapi lambat laun saya sadar, bahwa apa yang diterapkan oleh UK ada benarnya, mereka mengurangi ketergantungan pada obat yang berpotensi merusak ginjal. Selain itu, secara alamiah, tubuh kita punya kemampuan recovery asal distimulasi dengan istirahat dan makan bergizi.

Pendidikan

Biaya pendidikan di UK menurut banyak sumber adalah yang termahal di dunia, terutama untuk mahasiswa internasional yang besarnya bisa 2-3 kali lipat. Kalau boleh jujur, mahasiswa internasional sudah selayaknya dapat kualitas pembelajaran lebih baik dari yang sekarang. Tapi ternyata, saya baru mengetahui dari dosen saya kalau di Inggris, sudah banyak universitas (kebanyakan yang sudah punya nama besar) beralih jadi komersil, tidak terlalu mengedepankan kualitas seperti dahulu. Karena kulturnya di sini, universitas itu punya prinsip: teaching atau research. Kalau universitas yang memprioritaskan teaching pasti sedikit hasil risetnya, namun maksimal dalam memberikan pembelajaran kepada mahasiswanya. Mulai dari perekrutan dosen yang expert di bidangnya, lingkungan kelas yang lengkap dengan alat pembejaran, dan modul yang padat serta menarik. Namun, bagi universitas yang terkenal dengan risetnya yang menjamur, biasanya memprioritaskan cara mendapatkan grant dari pemerintah, kualitas pembelajarannya standar, dan terkadang ada yang menurunkan standar perekrutan mahasiswanya supaya pemasukannya tetap banyak.

BACA:  Mark vs. Value

Namun, satu hal yang saya kagumi dari sistem pembelajaran di sini adalah budaya membaca. Mau tidak mau, suka tidak suka, di awal perkuliahan selalu ada reading lists yang terpampang di modul perkuliahan yang dibagikan. Kalau tidak baca ya siap-siap mati kutu saat ditanya dosen di kelas! Nah, sebenarnya sistem ini juga sudah diterapkan di Indonesia, ketika dosen kita mengingatkan minggu depan mau bahas soal topik apa dan bahannya bisa dibaca di mana, tapi mungkin kalau tidak membaca pun tidak masalah karena toh dosennya tidak mengecek satu per satu mahasiswanya. Kalau di UK, jumlah mahasiswa dalam satu kelas terbatas, kecuali kelas besar, dan metode pembelajaran di kelas interaktif dengan diskusi kelompok. Jadi, dosen akan lebih mudah mengetahui mana mahasiswa yang malas dan rajin membaca, secara alamiah pasti akan terlihat saat dia menjawab pertanyaan.

Imigrasi

Immigration Bill adalah salah stau kebijakan yang paling sering diotak-atik oleh pemerintah Inggris. Per April 2015, mahasiswa internasional yang akan berangkat ke Inggris harus membayar Immigration Health Surcharge (IHS) serangkaian dengan aplikasi VISA, minimal £165 per tahun, bergantung lama akan tinggal di UK. Alasannya mungkin untuk menyamaratakan hak mengakses kesehatan selayaknya penduduk UK. Tapi dari hasil pengamatan saya ketika mencari bahan mengerjakan essay, penerapan IHS ini adalah salah satu alternatif untuk mengurangi defisit budget pelayanan kesehatan. Dengan membayar IHS, para migran akan gratis menggunakan fasilitas kesehatan yang ada. Tapi nyatanya, ini sebatas ‘free in point of use’, artinya kalau mau periksa bisa gratis, tapi resep ataupun ke dokter gigi tetaplah harus bayar.

Per Juli 2015, ada perubahan untuk Tier-4 Visa (Student), di mana ada peraturan mahasiswa tidak boleh bekerja dan menurut Point-Based System (dependant) tidak boleh lagi mengambil low atau unskilled job. Untuk teman-teman yang berencana membawa pasangan dan mengajukan aplikasi Visa di bulan Agustus dan setelahnya, kebijakan ini sudah berlaku. Jadi, jika ada yang berminat sembari menunggu pasangan sekolah dan sembari kumpul-kumpul uangbuat liburan, sekarang sudah tidak bisa kerja sebagai pelayan restoran, cleaner, gardener, atau pengantar koran lagi. Bekerja part-time masih boleh tapi gajinya tentu tidak seberapa, selain itu jika ingin mengambil full-time kesempatannya lebih kecil karena asesmennya cukup sulit dan kontraknya mengikat.

BACA:  Semua Mulia

Perbandingan ini bukan ditulis untuk membuat kita merasa sudah nyaman dengan sistem yang ada. Mari bersyukur untuk proses baik yang telah kita capai dan mari berjuang untuk memperbaiki yang masih kurang. Mengutip pesan viral Mas Mendikbud edisi Hardiknas untuk mahasiswa di perantauan, “pulanglah bawa ilmu dan makna”, saya menutup artikel ini dengan refleksi “apa yang bisa kita ambil dari Inggris untuk Indonesia?”

Marthella Rivera
Latest posts by Marthella Rivera (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga