Pak Presiden, ketua komunitas muslim di kota kami tinggal di daerah utara Jepang, adalah orang Jepang asli. Tidak banyak orang Jepang yang memeluk Islam. Sebagian besar muslim di negara ini adalah pelajar dari Indonesia, Malaysia, maupun para pengusaha eksportir mobil dari Pakistan dan Bangladesh.
Jarak antara asrama mahasiswa dengan Masjid di kota kami sekitar 5 kilometer. Selain jaraknya cukup jauh, akses ke masjid juga tidak mudah. Letak masjid berada di lereng bukit di tepi kota. Angkutan umum ke arah masjid cukup terbatas, apalagi saat subuh, bus belum beroperasi.
Di sisi lain, seperti yang sudah disebutkan tadi, sebagian besar muslim di kota kami adalah pelajar. Tidak banyak yang memiliki mobil sendiri.
Berangkat dari kondisi ini, Pak Presiden rutin menjemput jamaah ke Masjid setiap Isya dan Shubuh. Hal ini dilakukan semenjak Masjid di kota ini berdiri, akhir tahun 2007.
Jadwal dan titik lokasi penjemputan sudah ditentukan. Untuk sholat isya, di asrama mahasiswa misalnya, jadwalnya adalah pukul 8.45. Beliau akan datang tepat di jadwal yang sudah ditentukan tersebut.
Pernah suatu ketika beliau terlambat, tidak ada 5 menit sebenarnya, di perjalanan beliau berulangkali memohon maaf. Pak Presiden adalah representasi orang muslim yang disiplin dan tepat waktu.
Suhu adalah salah satu tantangan untuk dapat sholat berjamaah di masjid, terutama di musim dingin. Saat puncaknya, suhunya di kota kami bisa mencapai -6 (minus enam) derajat. Air yang diletakkan di luar, saat suhu seperti ini akan membeku. Suhu ini setara dengan settingan freezer kulkas untuk membuat es.
Tantangan lain untuk berjamaah di masjid saat musim dingin adalah salju. Ketebalan salju dapat mencapai puluhan centimeter. Bagi mobil, diperlukan roda khusus untuk dapat melewati jalan bersalju.
Selepas musim dingin, suhu merangkak naik. Demikian juga waktu sholat shubuh. Sejak bulan Mei ini, misalnya, waktu sholat shubuh di kota kami mulai dari jam 2-an. Semakin lama semakin maju, puncaknya menjelang bulan Ramadhan.
Di Jepang, Ramadhan tahun ini jatuh pada musim panas. Selain cuaca saat siang cukup panas, di musim ini, waktu siang lebih panjang dan sebaliknya malamnya lebih pendek. Pekan ini misalnya, waktu subuh sekitar pukul 2.16, sedangkan maghribnya pukul 7 lewat. Artinya lama berpuasa sekitar 17 jam.
Sholat taraweh selesai pukul 11. Meskipun demikian, sekitar pukul 2 dini hari beliau tetap konsisten untuk menjemput para jamaahnya, yang sebagian besar orang Indonesia, untuk pergi ke masjid.
Pak Presiden, dalam diamnya mengajarkan pada kami bahwa pemimpin adalah pelayan.
Beberapa waktu yang lalu ada kebocoran pipa air yang digunakan oleh masjid. Sebagai presiden beliau tidak enggan untuk menggali tanah untuk mencari sumber kebocoran pipa tersebut, sendirian.
Beliau juga tidak risih mencuci dan menjemur sendiri handuk yang selesai dipakai oleh jamaah setelah habis wudlu. Jumlahnya bisa puluhan.
“Saya punya seorang teman dari Indonesia, kenal dia?” tanya Pak Presiden suatu ketika pada saya, sambil menyebut sebuah nama.
Saya cukup familier dengan nama yang disebut Pak Presiden. Nama mantan pejabat di salah satu kementerian di Jakarta, sekarang sudah pensiun. Beliau adalah lulusan Universitas di kota ini. Anaknya seangkatan dengan saya. Usia Pak Presiden memang tak lagi muda, lebih dari 75 tahun. Akan tetapi semangatnya tetap muda.
Membayangkan wajah Pak Presiden, serasa ada yang berbisik: “Anak muda, bukan rumahmu yang jauh dari masjid, tetapi jangan-jangan hatimulah yang jauh dari masjid”