Rahasia Bahagia di Usia 100 Tahun

Minggu lalu, Connie, salah seorang teman gereja di sini merayakan ulang tahunnya yang ke-100. Ia masih sehat meski harus memakai alat bantu pendengaran dan sudah berjalan memakai tongkat, tapi belum pikun dan masih bisa diajak ngobrol dan bercanda.

Meski tidak banyak, tapi di berbagai belahan dunia masih ada orang orang yang menembus usia satu abad. Beberapa waktu lalu saya juga sempat melihat video nenek buyut suaminya teman di Indonesia yang merayakan ulang  tahun ke-97 dan masih terlihat sehat. Tapi baru kali ini saya ketemu langsung, jadi saat kemarin baru tahu umur Connie ternyata 100 tahun,  tentu saja saya langsung merasa belia di sampingnya.  Setelah selesai kebaktian sambil makan kue dan teh yang disediakan, anak-anak penasaran juga mau bertanya pada Connie. Umur 100 tahun, wow keren sekali kedengarannya kan. Tau sendiri kan,  anak-anak menganggap makin banyak umur seseorang makin cool orang tersebut. Karena di sekolah mereka temanya di  Winter Term ini adalah Perang Dunia, maka pertanyaan mereka berpusat di sekitar Perang Dunia.

“Kamu dulu termasuk anak-anak yang dievakuasi, ya?” Itu salah satu pertanyaan dari anak perempuan saya, karena cerita yang paling membekas di hatinya soal Perang Dunia adalah bahwa saat perang anak-anak dievakuasi, dipisah dari orang tuanya dan dikumpulkan di tempat tertentu yang dianggap paling aman. Itu sangat berkesan baginya dan membuatnya menangis. Pikirannya sebagai anak kecil mungkin belum bisa membayangkan tragisnya perang dari segala sisi, tapi dipisahkan dari orangtua adalah hal yang paling menyakitkan yang bisa dia bayangkan. Connie menjawab pertanyaan yang diajukan, sambil terus tersenyum dengan matanya yang masih bersinar-sinar.

Selama berada di UK, saya melihat banyak sekali orang berusia lanjut.  Pertama kali saya bertanya soal hal ini ke penduduk sini,  karena melihat di toko kartu dijual kartu kartu ulang tahun berdasarkan usia yang tersedia sampai usia 100. Hasil mengobrol dengan tetangga dan beberapa teman berusia 30-an yang masih mempunyai nenek buyut, umumnya  memberi alasan orang-orang yang lahir di masa perang dan berhasil selamat itu mempunyai rentang hidup yang panjang karena  kombinasi dari  dua hal. Satu karena mereka mempunyai kebiasaan hidup yang sehat yang terbawa dari pola hidup di zaman perang, dan kedua karena perkembangan dunia kesehatan saat ini yang sudah maju. Zaman dulu penyakit seperti tipus, diare atau disentri saja bisa membuat orang meninggal dalam hitungan hari. Sedangkan saat ini, penyakit-penyakit yang ada umumnya sudah bisa dicari obatnya. Sedangkan berkenaan dengan  pola hidup di zaman perang, adalah di saat kondisi perang segala hal termasuk makanan dijatah, jadi mereka terbiasa mengkonsumsi makanan dan minuman yang minim gula dan lemak. Mereka harus menanam sendiri makanan pokoknya yaitu kentang dan sayuran, dan tentu saja orang zaman dulu masih jarang menggunakan kendaraan bermotor. Berjalan dan bersepeda sudah masuk hitungan olahraga, kan? Dengan asupan makanan yang kalau dilihat dengan kacamata berbagai jenis diet sekarang memenuhi syarat untuk jadi diet paleo atau food combining atau raw food diet ditambah tubuh yang selalu bergerak aktif, pola hidup orang lanjut usia dari angkatan tahun 1920-1950  jauh lebih sehat dari generasi setelahnya.  Teman saya bilang, diperkirakan bahwa harapan hidup dari generasi sekarang lebih pendek daripada generasi di atasnya karena pola makan yang lebih tidak sehat dan juga tingkat stress manusia di zaman sekarang lebih tinggi.

BACA:  Jujur, Sudah(dan Bisa)kah Kita?

Saya pernah berbicara dengan ayah dari salah seorang teman, namanya Clark (bukan Clark Kent, tentu) yang saat diperkenalkan ke saya dan suami, dan membuat kami kaget saat Clark menyebut usianya sudah 92 tahun.  Kekagetan itu karena sebelumnya dia bercerita bahwa dia tinggal di Wales dan mengunjungi anaknya di Birmingham ini dengan mengendarai mobil sendiri selama 3,5 jam dan tanpa istirahat. Pertanyaan konyol saya waktu itu adalah,

“Wow, kamu masih bisa melihat jelas? Apalagi cuaca Inggris kan berkabut.” Dalam hati sambil nanya saya mikir apa nggak katarak atau rabun senja, gitu.

“Mataku masih bagus (banget), kok. Pendengaranku agak berkurang, sih, tapi aku masih bisa jelas dengar klakson mobil orang dan kalau ada sirine mobil polisi,” Dia menjawab sambil nyengir.

Sebenarnya kalau dia menyebut usianya 65-70 kami juga percaya, gerakannya masih gesit dan masih nyambung bercanda sana sini.  Saat itu saya bertanya, selain tentu saja karena kasih karunia Tuhan, apa  rahasianya dia bisa di umur seperti itu hidup sehat dan terlihat bahagia?  Dan jawaban yang Clark berikan senada seirama dengan jawaban Connie saat ditanyakan hal yang sama. “Peace of mind. Berbahagialah dengan apa yang kamu punya, dan nikmati setiap hari, dan lakukan hal-hal yang baik,” kata Clark yang sudah bertahun-tahun ditinggal mati istrinya. Sedangkan Connie, yang suaminya meninggal lebih dulu  menjawab, “Hidup berjalan terus, jadi kita sibukkan dengan hal-hal yang baik, yang bisa membantu orang lain,”   

BACA:  Dilarang GR di Negara Ini

Klise? Pasti.  Sudah sering kali didengar, kan, jawaban seperti itu. Tapi meski klise, hal  itu tetap benar. Sudah banyak terbukti bahwa kesehatan badan berbanding lurus dengan kondisi jiwa kita. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang tertuju ke Tuhan, tapi tangannya terulur ke manusia. Umur setiap manusia di tangan Tuhan, tapi Tuhan juga mengizinkan kita sebagai manusia yang dikarunia pikiran untuk bisa memilih bagaimana kita menjalani hidup dan menentukan kualitas hidup kita di umur yang Tuhan berikan itu.. Umur panjang dengan hati yang bahagia adalah perpaduan yang indah, bukan? Dan kemarin jadi teringat lagu 100 years-nya Five For Fighting.

I’m fifteen for a moment
Caught in between ten and twenty
And I’m just dreaming
Counting the ways to where you are
I’m twenty two for a moment
She feels better than ever
And we’re on fire
Making our way back from Mars
Fifteen there’s still time for you
Time to buy and time to lose
Fifteen, there’s never a wish better than this
When you only got hundred years to live

I’m thirty three for a moment, Still the man, but you see I’m of age
A kid on the way, A family on my mind
I’m forty five for a moment, The sea is high
And I’m heading into a crisis, Chasing the years of my life
Fifteen there’s still time for you
Time to buy, time to lose yourself
Within a morning star
Fifteen I’m all right with you
Fifteen, there’s never a wish better than this
When you only got hundred years to live

Saya suka sekali lagu ini, menurut saya menggambarkan betapa cepatnya waktu berjalan. (Karena itu frasa yang umum adalah time flies atau kalau Bahasa Indonesia  Waktu Berlari, yes?) Sama seperti Connie dan Clark yang masih ingat kejadian-kejadian di waktu-waktu yang lampau seperti baru saja terjadi, kita juga mungkin menyadari betapa cepatnya waktu berlalu dan semoga sampai akhirnya nanti, kita bisa melihat ke belakang dan bisa tersenyum mengingat hal-hal apa yang kita lakukan (dan status-status apa yang pernah kita tulis di media sosial). Uhuk!

 

BACA:  Hal-hal Kecil yang (Bisa Jadi) Tak Kecil Akibatnya
Sondang Purba

1 Comment

  • Barusan gwe baca. Ah langsung berkaca2. Gimana biar bisa kek gitu ya. Maksud gwe, hidup disibukkan dengan halhal yang baik. Sedangkan kerjaan gwe tiap hari cuma merepet dan mengeluh *oops

    Thankyou for writing this, mba :*

Leave a Reply

Silakan dibaca juga