Ketika seorang anak lahir, seorang ayah biasanya akan merasa ada yang berubah dengan bentuk fisiknya. Mereka mungkin merasa perutnya bertambah buncit atau matanya semakin cekung. Banyak juga ayah yang merasa pundaknya bertambah lebar. Ada yang kiasan, ada pula yang harafiah.
Aku ingin sampaikan kepadamu sebuah cerita, Nak.
Ada seorang ayah, namanya Pak Sodik, dia seorang pedagang mainan di sebuah desa di Ciater, Subang, Jawa Barat. Setiap hari, Pak Sodik berjalan kaki berkeliling kampung sejauh 7 kilometer menjajakan mainan-mainan murah seharga seribu dua ribuan. Mainan itu dipanggul di pundaknya, berganti-ganti pundak kiri dan kanan semana yang lelah. Keuntungan berjualan yang tak seberapa itu lalu dikumpulkannya untuk membiayai kuliah anaknya. Anak tertuanya, Ina, sedang melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi di Bandung.
Selain berjualan mainan, Pak Sodik juga bergabung dengan sebuah grup sisingaan. Grup kesenian itu biasa ditanggap di acara sunatan anak-anak di kampungnya. Pak Sodik dan teman-temannya memanggul semacam patung singa yang akan dinaiki anak-anak yang baru saja disunat. Mereka biasanya diarak keliling kampung. Bayangkan, Nak, sungguh berat beban yang ditanggung pundak Pak Sodik mengingat betapa montoknya anak-anak sekarang.
Dari setiap panggilan pentas sisingaan ini, dia bisa membawa pulang duapuluh hingga tigapuluh ribu rupiah.
Belum cukup itu, Nak. Untuk membiayai Ina dan seorang lagi anaknya, Pak Sodik dan istrinya juga menjadi buruh tani di ladang milik orang lain. Di situ, Pak Sodik menanam dan merawat tanaman mentimun yang bisa dipanen setiap tiga atau empat bulan dan hasilnya dibagi dengan pemilik ladang.
Pak Sodik sungguh bekerja keras. Dia tidak ingin Ina putus sekolah. Setamat SMP, Ina hampir tidak bisa melanjutkan ke bangku SMU karena ketiadaan biaya. Tapi Pak Sodik tak ingin menyerah. Dia panggul kotak mainan jualannya. Dia taruh sisingaan itu di pundaknya sampai lecet. Dia biarkan kulitnya legam dibakar matahari. Dan tak sedikit pun dia mengeluh. Dia contoh ayah yang baik.
Aku banyak mengenal sosok ayah yang baik, Nak. Berjuang mati-matian untuk anaknya. Ada seorang ayah, di perbatasan antar negara, membiarkan dirinya setiap hari jadi incaran tembakan, demi anak-anaknya. Ada seorang ayah, Nak, di sebuah ladang pengeboran, membiarkan dirinya menjadi licin oleh lumpur bercampur minyak, demi anak-anaknya. Ada seorang ayah, Nak, jadi tipis paru-parunya digempur angin setiap malam, demi anak-anaknya.
Ada seorang ayah, Nak, pagi-pagi dia ke pasar, membeli ikan untuk digoreng dan kemudian dikirimkan kepada anak-anaknya yang sedang kuliah di luar kota. Dan anaknya tanpa sengaja membiarkan lauk kiriman itu dibawa lari kucing. Sang ayah tak tahu kejadian itu hingga dia wafat beberapa tahun berselang. Dan sang anak merasa bersalah bukan main.
Ayah yang terakhir itu adalah bapakku, Nak.
Aku punya foto Bapak menggendongku waktu kecil. Bapak berdiri dekat Vespa-nya. Gagah bukan main. Tangannya yang kekar melingkariku, menunjukkan betapa dia ingin selalu melindungiku. Pundaknya lebar, hasil bekerja dan bertualang bertahun-tahun.
Ingin aku punya pundak seperti itu.
Maka sering malam-malam aku bercermin, memeriksa apakah pundakku sudah bertambah lebar setelah seharian bersepeda atau mengangkat barbel. Tapi tak bertambah lebar juga rupanya.
Padahal keren juga kalau bisa begitu. Apalagi kalau menggendongmu dengan Deuter Kid Comfort yang baru aku belikan untukmu itu, Nak. Wuih!!
Tapi begitulah, River. Ternyata menjadi ayah itu bukan melulu soal punya pundak kuat atau tidak. Yang lebih penting adalah seberapa ikhlas seorang ayah ingin mendukung anaknya di atas pundaknya, dan membiarkan sang anak melihat apa yang tidak bisa si ayah lihat di ketinggian itu.
Karena bila ukurannya hanya pundak kuat dan lebar, maka yakinlah, Ade Rai adalah ayah yang paling top di dunia ini.
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023