Pulang Memancing

Ilustrasi. Img:freeimages.com
Ilustrasi. Img:freeimages.com

Sore-sore ini Jakarta sering muram, Nak. Hampir tiap hari warna kelabu muncul di langit, lalu menumpahkan air ketika sore datang. Air yang bikin banyak tempat tergenang. Membuat jalanan seperti lukisan anak kecil iseng, semrawut. Dan orang-orang kota ini pun menjelma menjadi kaum yang absurd. Mereka yang berjalan kaki niscaya lebih cepat tiba di tujuan daripada mereka yang berkendaraan. Benar-benar absurd. Tapi inilah Jakarta.

Dua hari ini, Nak, tepatnya di dua sore ini, aku adalah bagian kaum yang absurd itu. Turut mengantri di jalan yang penuh belukar kendaraan. Menuju dan pulang dari tempat mencari nafkah. Sesungguhnya beruntunglah aku, yang bisa bekerja dengan menggunakan mobil operasional kantor, yang betapa pun bututnya tapi masih bisa melindungi kami dari tempias hujan. Sehabis bekerja, masih ada sandaran kursi untuk tempat merebahkan kepala sembari menghitung ada berapa lampu merah lagi yang harus dilewati.

“Saat-saat begini, satu dua meter itu sangat berharga,” kata Pak Sopir. Sehingga moncong-moncong mobil itu seolah-olah kepala rusa karibou, saling menyodok satu sama lain tanpa ampun. Dan terlupakanlan semua butir-butir Pancasila, yang senantiasa menganjurkan kita untuk mendahulukan orang lain.

Kemarin, Nak, dalam putus asa karena dirundung macet yang tak terkira, tiba-tiba mataku menangkap pemandangan yang indah. Mobil kami sebentar lagi mencapai bottle neck, kira-kira lima puluh meteran lagi sebelum jalan besar yang sedikit lebih lancar. Aku merutuki diri sambil melihat jam. Waktu magrib sebentar lagi habis, padahal kami berangkat sebelum magrib. Hujan masih rintik-rintik.

BACA:  Tangan Belang

Dari balik kaca mobil, aku melihat seorang bapak berjalan melewati bumper mobil kami, mencari celah di antara mobil-mobil di depan kami. Dia menyandang tas cangklong kecil yang dari jauh bisa aku tebak apa isinya. Sepotong joran pancing tampak menyembul keluar dari tasnya. Pancing sederhana saja rupanya, bukan peralatan pancing seperti punya tim Mancing Mania.

Dan aku berani bertaruh, Bapak yang baru melewati kami itu juga bukan pemancing beraliran catch and release, sejenis pemancing kaya yang hanya berburu kepuasan, dan melepaskan kembali ikan yang terjerat mata kail –tak peduli bagaimana luka yang telah mereka buat.

Bapak ini adalah tipe pemancing seperti kebanyakan pemancing yang sering aku temui di danau dekat kampusku dulu. Memancing untuk mencari lauk makan. Mujair, lele, gabus, nila, sapu-sapu, pokoknya ikan apapun yang terjerat akan mereka bawa pulang untuk dimasak dan dinikmati bersama keluarga di meja makan.

Semakin menjauh dari kami, semakin aku bisa melihat apa yang Bapak itu tenteng di tangan kanannya. Mungkin hasil tangkapannya hari ini. Tapi apa yang dia tuntun di tangan kirinya itu? Oh, seorang bocah rupanya, Nak. Anak perempuan kecil yang tampaknya belum lama bisa berjalan. Bajunya warna putih kebiruan, kira-kira dari bahan seperti yang sering kamu pakai. Baju singlet lima ribuan. Dia mengingatkanku pada Michele Gartner, si bocah Radio Flyer dari Lakewood, California.

BACA:  Ladang Pahala dan Ladang Ilmu

Tiba-tiba yang terpikir olehku adalah dari mana mereka pulang memancing. Kami berada di selatan Jakarta, yang hanya ada sungai-sungai kotor penuh limbah. Anak perempuan kecil itu mungkin sepanjang hari telah menemani ayahnya memancing di sungai entah di mana. Aku membayangkan dia sesekali dibujuk agar duduk tenang menunggu ikan-ikan yang terpedaya mata pancing ayahnya. Lalu dia mungkin akan bersorak senang ketika melihat ikan sapu-sapu atau entah apa menggelepar di ujung tali. Lalu sang ayah menyuruhnya tetap tenang dan menjauh dari bibir sungai. Lalu sang anak akan patuh dan kemudian dengan takut-takut mencoba menyentuhkan jari-jarinya yang mungil pada ikan-ikan yang kini terjerambab di dasar kantong atau ember atau apapun yang dibawa sang ayah.

Dia sesungguhnya juga adalah bagian dari kami yang absurd. Dia yang berjalan kaki niscaya akan sampai lebih cepat di tempat tujuan daripada kami yang berkendaraan. Dan semakin-semakin- menjauh dari kami, aku bisa melihat betapa tenangnya Bapak itu, menuntun anaknya mencari-cari jalan agar cepat sampai di rumah. Sang anak yang mungkin berusia tiga atau empat tahun itu tampak tertawa-tawa dan sang Bapak meresponnya dengan damai. Tak peduli mereka dengan rangkaian kendaraan yang diam tak bergerak seperti dinosaurus kekenyangan.

BACA:  Siapa Duluan?

Lalu aku teringat pada guruku, Nak. Suatu ketika dia bilang, “pembohong dan orang-orang yang tidak jujur bisa mendapatkan apa saja, kecuali ketenangan dan kedamaian.”

Jadi ingatkan aku, Nak. Pegang kata-kataku, jika suatu hari terpaksa memilih, akan lebih baik bagiku untuk memberimu makan ikan mujair atau nila yang kita pancing dari sungai-sungai kotor dan menuntunmu berjalan pulang dalam hujan, daripada harus menjadi orang yang berdiam dalam kendaraan-kendaraan mewah tapi tak merasa tenang.

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga