#dearRiver
Sembilan tahun lalu, saya dan beberapa orang kawan diperintahkan berangkat ke Nusakambangan. Kami ditugaskan mewawancarai tiga teroris paling berbahaya saat itu, trio pelaku pengeboman di Bali tahun 2002.
Bisa jadi, itu adalah pertemuan terakhir mereka dengan wartawan, karena beberapa bulan setelahnya, eksekusi mati dijadwalkan akan dilaksanakan.
Tugas yang berat. Karena bisa masuk ke sana pun, belum tentu juga mereka mau bicara. Untungnya, setelah menunggu semalaman, kami akhirnya bisa berbicara dengan Imam Samudra, Ali Ghufron alias Muklas, dan Amrozi –para bomber itu. Di antara mereka bertiga, Imam Samudra yang paling banyak bicara dan Amrozi yang paling pendiam.
Saat itu, bersamaan dengan mereka menerima kunjungan keluarga. Seingatku, setelah pertemuan itu, saya butuh sedikit jeda untuk memahami apa yang baru saja kami temui. Saat terbengong-bengong di pekarangan salah satu Lapas (di Nusakambangan ada beberapa Lapas), seorang bapak mencegat saya, menawarkan batu cincin yang dia akui hasil buatannya sendiri, katanya sekadar mengisi waktu menjalani hukuman seumur hidup.
Lalu saya melihat anak-anak kecil yang berlarian riang di pekarangan lapas. Satu perempuan, serta berapa orang anak dan remaja laki-laki. Oleh seseorang, saya diberi tahu, mereka adalah anak-anak pelaku pengebom itu.
Saya orang yang gampang larut. Sedih sekali rasanya membayangkan perasaan mereka. Anak sekecil itu, bagaimana kelak mereka akan tumbuh dengan bayang-bayang bahwa ayah mereka telah menyebabkan ratusan orang kehilangan nyawa. Itu yang saya pikirkan waktu itu.
Saya tak bisa memastikan, apakah anak kecil dan remaja lelaki yang saya lihat itu adalah Umar Jundulhaq atau Zulia Mahendra, atau mungkin anak lain. (Umar Jundulhaq adalah putra Imam Samudra, di kemudian hari ia bergabung dengan milisi Suriah, dan tewas di Kota Deir ez-Zur, Suriah, pada 14 Oktober 2015)
Namun malam ini, saya teringat anak kecil yang berlarian di pekarangan Nusakambangan itu ketika melihat Zulia Mahendra di televisi.
Zulia Mahendra, putra sulung Amrozi itu, bertemu dengan Alief Heidar Sardjono, putra Imawan Sardjono, di Bali.
Imawan Sardjono adalah salah satu dari 202 korban bom yang diledakkan oleh Amrozi, Muklas, dan Imam Samudra, pada 12 Oktober 2002. Peristiwa itu dikenal sebagai Bom Bali I.
Ini kali pertama Alief bertemu dengan putra dari seorang yang membunuh ayahnya, dan ini juga kali pertama bagi Mahendra bertemu dengan putra dari seorang yang kehilangan nyawa karena tindakan ayahnya.
Pertemuan dua orang yang difasilitasi oleh kawan kami Miftah Faridl dari CNN Indonesia ini, sebagai upaya untuk membangun kembali jalan perdamaian. Tentu tak semudah menyentuhkan dua kelingking dan semuanya tiba-tiba jadi beres.
…
Dalam ayat “wa ‘allama adamal-asma-a kullaha (Dan Allah mengajarkan Adam nama-nama benda) (Al-Baqarah:31), sebagian ulama menafsirkan bahwa yang diajarkan kepada Adam bukanlah nama benda-benda fisik seperti bulan, bintang, atau matahari. Melainkan benda-benda abstrak. Benda-benda abstrak yang diperlukan agar hidup bisa terus berjalan. Agar-agar orang bisa tetap berangkat tidur dengan tenang di malam hari meskipun baru saja dimaki-maki majikan. Agar kita bisa tetap melanjutkan perjalanan ke tempat kerja meskipun baru saja dihadiahi sumpah serapah oleh pengendara lain yang merasa jalannya terhambat karena kita.
Agar Alief bisa memeluk Zulia di depan monumen yang memuat nama ayahnya sebagai korban.
Begitulah, Nak. Betapa pun kita sering sangsi pada faedah dua kata ini, “maaf” dan “ikhlas” itu memang ada.
Barangkali dua kata itu termasuk yang diajarkan Allah kepada Adam, saat penghulu kita itu pertama kali belajar nama-nama benda.
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023