Pengamen dan Rubah Aesop

Tadi pagi saat taksi yang kita tumpangi berhenti di lampu merah di salah satu perempatan Kota Bandung, ada dua pengamen menghampiri. Satu bawa gitar, satu bawa gendang pipa. Biasanya sih kita kasih, Nak. Tapi tadi itu enggak, soalnya memang lagi tak punya receh. Ibumu sudah kasih tanda menolak dengan halus, tapi mereka masih terus melanjutkan sembari memberi isyarat seperti orang menyuap nasi. Maksudnya tentu saja adalah “saya ngamen buat makan”. Setelah ibumu kasih tanda menolak lagi, barulah akhirnya mereka pergi dengan bersungut-sungut.

Mereka pun menghilang ke belakang taksi. Rupanya lampu merah ini cukup lama sehingga ketika kita masih di situ, dua pengamen itu sudah ada di tepi jalan lagi. Ke tempat mereka biasa nongkrong menunggu lampu menyala merah. Salah seorang dari mereka melihat dengan tajam ke arah kami. Tak mau kalah, aku pun membalas menatap tajam ke… gitarnya. Hehehe.

Bukannya pelit. Kalau memang lagunya bagus, pasti kita kasih. Seribu dua ribu nggak akan bikin kita miskin, Nak. Tapi tadi itu memang adanya cuma duit dua puluh dan lima puluh ribuan buat bayar taksi –yang, jujur saja, agak sayang kalau dikasih semua ke mereka. Lagipula kalau dengan pengamen, aku cukup berempati. Soalnya aku juga dulu pernah ngamen di Losari, Nak. Bukan sebagai mata pencaharian utama sih, tapi tetap saja aku bisa merasakan betapa tak mudahnya menjadi mereka. Dulu, malah kalau lagi makan bareng teman-teman terus didatangi pengamen, biasanya pengamennya aku ajak makan juga.

Ini sebenarnya hanya peristiwa biasa saja. Yang lebih parah malah sudah pernah aku alami. Pernah aku dimaki-maki hanya karena tak ngasih duit. Ini yang nyanyinya asal-asalan. Kalau pengamennya anak kecil biasanya aku kasih juga, tapi dengan sedikit bonus.

BACA:  Nachtwey

Pernah suatu kali lagi nongkrong, ada anak kecil pengamen menghampiri. Umurnya katanya baru lima tahun. Ngomongnya pun masih cadel. Dia bawa gitar kecil tapi tak bisa dia mainkan. Dia memetiknya sembarangan. Aku pinjam gitarnya dan aku setemkan. Setelah itu aku bilang ke dia, “Dek, kamu ke situ terus nyanyi buat dia ya. Dua lagu, nanti saya kasih lima ribu.”

Aku menunjuk tiang listrik terdekat. Dia menolak.
“Mana ada olang nyanyi sama tiang listlik?” katanya protes.
“Ya sudah kalau tak mau, lima ribunya tak jadi.”

Akhirnya dia pun menurut. Di tengah keramaian malam itu, dia menghibur tiang listrik yang kesepian.

“Ku ingin tahu siapa namamu
dan ku ingin tahu di mana rumahmu
Walau sampai akhir hayat ini

Jalan hidup kita berbeda
aku hanyalah punk rock jalanan
Yang tak punya harta berlimpah
Untuk dirimu sayang..”

Dengan gaya cadelnya, dia menyanyikan lagu Punk Rock Jalanan yang memang menjadi mars anak jalanan. Lagu ini paling sering mereka nyanyikan dan sempat jadi hits karena dinyanyikan oleh salah satu penyanyi cilik di ajang pencarian bakat di tivi swasta.

Belum selesai lagunya itu, seorang perempuan paruh baya mendekatinya dan menyuruhnya berhenti. Rupanya itu ibunya yang dari tadi memperhatikan kami. Tapi si bocah pengamen itu tak mau disuruh setop, dia masih terus bernyanyi. Aku dan ibunya sempat bersiborok tatap. Mungkin dia marah padaku. Tapi aku punya alasan.

Tak sampai dua lagu habis, anak itu sudah mendatangiku lagi dan menagih lima ribu yang aku janjikan. Aku kasih duitnya dengan sedikit pesan.
“Dek, tolong bilang ke ibumu ya. ‘Bu, saya jangan disuruh ngamen dulu. Tangan saya masih kecil…'”
Rasanya aku pengen nangis waktu kasih duit itu, Nak. Anak sekecil itu tak tahu apa yang dia alami. Aku ingat kamu, Nak.

BACA:  Selai Mutiara

Kemarahan ibu itu dan kedongkolan pengamen yang tadi pagi sempat memunculkan lagi resistensi bawah sadar di pikiranku. Kasarnya, ketika berhadapan dengan hal beginian, sering muncul “perlawanan” yang menjelma kalimat-kalimat umpatan seperti “Itu memang sudah pantas untukmu!”, “kalian miskin karena kalian menginginkannya!. Atau yang paling sering terpikir adalah: “Kamu masih muda, masih kuat, tapi kok mengemis? Pemalas!”

Tanpa sadar, aku menjebakkan diri pada kondisi menyalahkan si orang miskin itu ketimbang menyalahkan diriku yang tak bisa berbuat apa-apa untuk turut mengentaskan kemiskinan. Dengan berpikir seperti itu aku juga berusaha mencuci tangan agar steril dari persoalan-persoalan sosial. Kaca taksi atau selembar seribuan telah berhasil memberi jarak di antara kami. Persoalan kita adalah kegetiran masing-masing.

Img:WikipediaAku pernah membaca salah satu tulisan Kang Jalal tentang “sour grapes” atau anggur masam. Beliau menceritakan kembali sebuah dongeng dalam fabel Aesop. Alkisah ada seekor rubah yang sangat menginginkan buah anggur, tapi ada daya tanaman anggur itu sudah merambat jauh ke atas pohon sehingga buahnya terjuntai. Berkali-kali sang rubah berusaha mencapainya tak tak berhasil. Setelah terus mencoba, akhirnya dia menyerah. Rubah itu pun berlalu meninggalkan buah anggur incarannya sambil marah-marah, “Ah, dasar kau anggur masam!”

Kang Jalal mencoba mengingatkan bahwa betapa sering kita memelihara rubah dalam diri kita. Ketika kita kehilangan kuasa pada sesuatu, kita lalu menyalahkannya. Atau setidaknya merendahkannya bahwa dia memang sama sekali tak berarti untuk kita. Kalau dalam bahasa anak muda sekarang sering kita dengar “Siapa elo? Gak level tauk!” untuk semacam usaha menjaga harga diri.

BACA:  Sisa Senyum

Tadi pagi itu, saat pengamen di perempatan jalan itu memelototiku, aku sempat berpikir, “Kemarahanmu itu tak berarti apa-apa untukku. Lepas dari lampu merah ini, kehidupanku tetap berjalan. Sementara kamu masih akan di situ, berselimut debu dan mencibir semua yang lewat.”

Itulah diriku, Nak, yang akhirnya menyadari bahwa hewan rubah Aesop dalam diriku rupanya masih cukup liar.

sumber gambar:
Wikipedia: Sour Grapes. From The Aesop for Children, by Aesop, illustrated by Milo Winter

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

2 Comments

  • saya sependapat dengan kanda fauzan.
    kalo lagunya bagus, saya kasih duit. Tapi, kalo nyanyi asal-asalan saya langsung kabur, hehehe..

    salam kenal dari juniorta' kanda..
    salam biru merah 😀

  • saya selalu orang kucing, River.. Orang yang lebih tertarik pada kucing daripada anjing dan sejenisnya. Rubah juga bukan salah satu binatang favorit saya, kecuali ekornya yang mempesona, rubah itu serba terlalu. Hidungnya terlalu kecil, kupingnya terlalu besar. Saya memang lebih suka kucing.
    Tapi rubah ditulisan ayahmu mempesona saya, River. Sampai tak sadar saya merenungi diri. Ayah Ibu mu orang baik, tidak seperti saya yang tak pernah memberi uang pada anak-anak yang mengamen, mengemis atau apapun tindakan mereka.
    Saya punya alasan untuk itu River, tapi sebaiknya tak usah saya katakan. Supaya alasan itu tak berubah seperti memasamkan sang anggur..
    Dan River, jangan khawatir.. saya yakin ayah Ibu mu lebih baik bekerja keras membanting tulang dan membengkokkan prinsip mereka, daripada menyuruhmu bekerja semasih anak-anak..
    Rubah ayahmu kali ini benar-benar memesona saya, River…

Leave a Reply

Silakan dibaca juga