Beberapa hari yang lalu, saat sedang mengaso dari kesibukan mencangkul di kantor, tiba-tiba masuk pesan di Whatsapp-ku. Tertulis di layar: Desanti sent you a voice message. Pesan dari ibumu, tapi saat aku buka, justru suaramu yang terdengar.
“Ayah, Ipaw mau ke Disneyland!”
Biasanya memang begitu. Kau memainkan handphone ibumu dan membuat pesan apa saja. Minta dibelikan eskrim, roti Breadlife, atau sekadar bilang “ayah lucu sekali!”. Ada yang aku penuhi, ada yang tidak.
Aku tak tahu apa yang kau lihat sebelumnya. Soal Disneyland ini, barangkali kamu baru saja menonton Disney Junior, salah satu channel kesukaanmu selain CBeebies.
Lalu aku jawab. “Boleh. Nanti ya, Nak. Bagaimana kalau ke Funword dulu?”.
Nanti bisa berarti tahun depan, atau tahun depannya lagi, tergantung tabungan.
Inilah bagusnya jadi orang dewasa, kami bebas menawarkan pilihan yang bahkan sebanding pun tidak. Disneyland terdekat setahuku adanya di Hongkong, sedangkan Funword dari rumah kita hanya sepelemparan sandal jepit dan sudah bisa bermain apa saja dengan 10 koin seharga duaribuan.
Kalau kamu tiba-tiba bilang ingin ke Disneyland, pasti ada yang menarik yang kau lihat. Aku sudah lama tidak menonton TV, Nak. Aku tidak tahu apakah Mickey masih selucu dulu, apakah Minnie masih terus mem-friendzone-kan Mickey, apakah Goofy masih naksir Clarabelle atau dia sudah move-on, atau… ah sudahlah.
Tapi, Nak, kalau benar besok-besok kita bisa ke Disneyland, aku tidak yakin kamu akan senang. Di sana ada banyak badut Mickey dan kawan-kawan. Biasanya kamu tidak terlalu suka badut. Kita pernah melihat Doraemon, Shizuka, dan Giant antri di depan lift, dan kamu sama sekali tidak tertarik. Satu-satunya badut yang sempat menarik perhatianmu adalah badut Hotel Harris di mal fx. Mungkin karena warnanya oranye dan punya ekor.
Bisa jadi itu menurun dariku. Aku tidak fobia pada badut, tapi juga tidak terlalu suka. Mungkin karena badut pertama yang aku lihat di waktu kecil adalah badut gorilla yang dipakai oleh seorang tukang obat tetangga kami di kampung untuk menakut-nakuti kami. Di kampung kami dulu, Nak, tak banyak anak yang merayakan ulangtahunnya. Jadi, pengetahuan tentang jenis-jenis badut sungguh tidak memadai. Barulah ketika sedikit sudah besar, aku tahu, ternyata badut ada juga yang lucu, yang hidungnya merah. Yang sepatunya besar. Yang celananya suka kedodoran.
Setelah dewasa, hubungan dengan perbadutan ini pun tidak menjadi lebih baik. Setiap kali melihat badut, yang timbul bukan rasa lucu atau terhibur, tapi justru sering sebaliknya. Rasa sedih dan nelangsa. Bahkan rasa marah. Sering terpikir olehku, tega sekali orang-orang yang menyuruh orang lain untuk masuk ke dalam kantung baju –atau apapun bentuknya– yang sesak dan panas, berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan dirinya, mungkin dengan bayaran yang tidak seberapa.
Tapi di sisi lain, sering juga terpikir, badut-badut ini adalah sosok pekerja yang paling beruntung. Mereka adalah golongan orang yang hidupnya punya tombol joy autopilot. Pahalanya luar biasa dan lintas sekat.
Beberapa tahun lalu menjelang Natal, antrian foto bersama dengan badut Santa Claus di sebuah mall di Jakarta, sempat terhenti beberapa lama. Santa menghilang dari tahtanya. Ada orang tua yang anaknya sudah tidak sabar menunggu, bertanya ke sekuriti yang berjaga.
“Santa Claus-nya ke mana?”
“Lagi shalat magrib, Bu,” jawab sekuriti.
…
Nokia di tahun-tahun yang silam, pernah menjual perangkat telepon seluler dengan tagline iklan: “Selalu ada jiwa anak-anak dalam diri kita, itulah mengapa ada games di ponsel Nokia.”
Aku tak tahu apakah produk ponsel dengan games ular-ularan itu meledak di pasaran, tapi iklan itu sungguh benar.
Aku percaya pada Hukum Kekekalan Jiwa Kanak-kanak: jiwa kanak-kanak tidak bisa hilang atau dimusnahkan, hanya bisa berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lainnya. Mungkin karena jiwa kanak-kanak adalah tentang kegembiraan, kebebasan, kesenangan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Sebutlah kata sifat yang bagus-bagus dan beri imbuhan ke-an, itulah hal yang bertalian dengan jiwa kanak-kanak.
Mungkin itu pula sebabnya, kenapa badut terus ada meskipun kita tidak butuh. Karena badut membantu kita memelihara kegembiraan. Percayalah, di dalam diri kita, tidak hanya ada jiwa kanak-kanak, tapi juga jiwa badut.
Beberapa hari yang lalu, kamu melompat-lompat sambil melucu. Ibumu tertawa dan bilang, “Anak Ochan ini, suka nge-badut!” Aku senang mendengarnya, Nak. Itu artinya aku masih memilikinya dan bisa sedikit demi sedikit mewariskannya kepadamu.
Bertahun-tahun yang lalu, sebelum menikahi ibumu, aku tertolong oleh jiwa badut ini. Sebagai pria yang jauh dari kata ganteng dan kaya, apa lagi yang bisa aku andalkan untuk merebut hatinya selain potensi batiniah yang aku miliki? Halah… 🙂
Berbekal hasil riset yang menyatakan perempuan lebih suka pada pria yang bisa membuatnya tertawa, aku mulai membangun taktik dan strategi. Kata Antoine de Saint-Exupery, a goal without a plan is just a wish. Meski pada dasarnya aku memang suka melucu, tapi untuk yang satu ini perlu persiapan matang. Aku mengumpulkan kembali semua lelucon yang pernah aku dengar, aku poles ulang, dan aku sesuaikan dengan situasi saat kami berjumpa. Untungnya, dulu belum banyak gadget yang membroadcast apa saja, sehingga, misalnya, kisah “anak babi jalan menunduk” pun masih terbilang baru baginya. Jiwa badut ini cukup manjur, Nak. Jadi tak perlu heran bila Raditya Dika pernah membuat Sherina jatuh cinta termehek-mehek.
Seterusnya ini tergantung bagaimana kau merawat jiwa itu. Beberapa ada yang tetap lucu, tapi ada pula yang tidak. Banyak suami yang menjadi tidak lucu lagi setelah menikah. Banyak. Banyak ayah yang tidak lucu lagi setelah punya anak. Banyak. Ia bahkan menjadi lebih menakutkan daripada sebelumnya. Di sebuah mall, aku pernah melihat seorang ayah meledakkan balon milik anaknya, hanya karena anaknya menangis tidak mau beranjak dari depan toko mainan. Itulah dia orang-orang yang kehilangan jiwa badutnya, kehilangan jiwa Mickey Mouse dalam dirinya. Dia adalah badut yang tiba-tiba mencopot hidung merahnya, membanting sepatu besarnya ke lantai, dan berteriak. “Cukup sampai di sini! Saya capek! Kalian tidak tahu betapa panas dan gerahnya di sini! Silakan hibur dirimu sendiri!”
Maka sebutlah dia sebagai badut yang gagal.
Salah satu badut paling terkenal dalam sejarah adalah Pagliacci. Pagliacci sesungguhnya adalah judul opera yang menampilkan badut yang pernah populer di Italia di awal abad ke-20. Cerita tentang Pagliacci ini kemudian berkembang dalam banyak varian.
Alan Moore, dalam bukunya Watchmen, menceritakan salah satunya.
Ada seorang pria yang merasa sangat menderita. Dia merasa sendirian di dunia yang penuh ketidakpastian ini. Dunia semakin tampak sangat kejam baginya. Dia lalu menemui seorang dokter.
“Obatnya gampang,” kata Dokter. “Malam ini, badut tersohor Pagliacci akan datang ke kota. Kesanalah dan temui dia. Dia bisa menghibur dan menghilangkan kesedihanmu.”
Mendengar saran dokter, pria itu tiba-tiba menangis.
“Bagaimana bisa, Dok? Saya adalah Pagliacci…”
Seringkali kita memang harus menjadi Pagliacci. Kita merasa tidak punya teman dalam dunia yang penuh serangan ini. Kita merasa sendiri untuk mempertahankan tawa. Tapi, Nak, sekiranya aku Alan Moore, aku tidak akan membuat Pagliacci menangis di bagian akhir. Aku akan buat dia menemukan kembali tawanya.
Pagliacci dalam diri kita lalu pergi menemui dokter, atau siapapun yang kita anggap pintar, yang justru menyarankan kita untuk bertemu dengan diri kita sendiri. Itulah jalan kebahagiaan. Kita tahu arahnya. Kita hanya seringkali lupa. Seringkali merasa teralienasi.
Boi, hari ini ibumu ulangtahun. Kemarin aku tanya dia. “Ma, mau hadiah apa?”
“Sepatu lari,” katanya. Ibumu memang sedang senang-senangnya ikut lomba lari sekarang. Dia sudah punya banyak medali finisher.
“Oke. nanti Ayah beliin, tapi pakai duit Mama ya…”
Dan dia ngakak guling-guling. Alhamdulillah, meski kecil-kecilan, ibumu masih bisa menjalankan bisnis toko online-nya, dan seringkali menyelamatkan kita pada tanggal-tanggal yang jahat di kalender.
“Ih, Ayah lucu banget sih!”katanya.
Jadi, Nak, seberapa pun panas dan gerahnya aku dengan “baju” ini, aku tidak akan mencopot hidung merah ini. Aku akan tetap menjadi badut bagi kalian.
Hari ini ulangtahun ibumu yang ke-34. Dan ini kelima kalinya dia punya badut pribadi di ulangtahunnya. Badut yang tidak bisa main sulap. Badut yang –semoga– selalu lucu.
Selamat ulangtahun, Desanti Sarah. Selalu banyak tawa yang aku sediakan untukmu… 🙂
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023
tfs ketua
aku baca ini 2 kali, pertama aku scanning bacanya, kupikir ka ochan yg jadi badut, krn ada gambar terima panggilan Badut ultah hahahahha
aku baca lagi dengan meresapi 😛 wewww… jadi ingat k ochan klo jalan2 di fisip. miriippp sihhh tp untungnya ka ochan jinsnya sobek di bagian lutut hahahaha.. kabuuurrrr kabur atas komen badut iniihh hihihi