Joey Alexander, bocah belasan tahun yang konon banyak belajar tentang musik jazz dengan menonton video di youtube. Joey, menjadi fenomena karena berhasil menjadi salah satu nominator di ajang bergengsi kelas dunia, Grammy Award.
Laksita Paramita, memulai usaha dengan modal awal kurang dari 50 ribu rupiah. Dalam tempo 16 bulan, sukses meraup omzet ratusan juta per bulan. Usaha apa? Menjual kaos kaki! Dia tidak berjalan kaki sampai keringatan menawarkan dagangannya. Tidak juga menghabiskan uang untuk menyewa kios dan semacamnya. Laksita hanya mengandalkan penjualan secara online, via akun instagramnya di @VorioSocks. Usianya baru menginjak 20 tahun.
Joey dan Laksita mewakili generasi millenia yang konon sebagian besar kehidupannya diwarnai sentuhan teknologi era digital terkini. Generasi yang sama yang kepadanya banyak diarahkan macam-macam tuduhan. “Astaga, anak-anak zaman sekarang ancur banget, ya.”
Sebagian teman saya yang bisa dikatakan angkatan 80/90-an masih sibuk bernostalgia dengan masa kecil kami dulu. Betapa indahnya masa lalu dan tentu saja sambil berkomentar betapa tidak asyiknya kondisi di masa kini. Betapa bagusnya lagu-lagu yang ngetop di tahun 80/90 an. Betapa enaknya jajanan kecil masa dulu. Betapa serunya permainan masa kecil ala generasi kami dan seterusnya.
Mengingatkan saya kepada salah satu kakak saya yang mengomeli saya karena saya menggemari aneka rupa boyband yang memang berjaya di era 90an. Katanya, “Musik cengeng. Yang bagus tuh yang tahun 70 an. Lagunya keren-keren.”
Ibu saya yang mengeluhkan dandanan perempuan ala 80an yang menurutnya terlalu seronok. Di era 60/70 an katanya lebih anggun dan berkelas.
Seperti nenek saya yang memprotes ibu saya yang memperkenalkan blender untuk membuat penganan khas kampung saya, Barongko. Menurut Nenek, Barongko itu ya enaknya kalau pisangnya ditumbuk bukan diblender. Nenek mengeluh betapa pemalasnya ibu-ibu sampai-sampai bikin Barongko pun harus pakai blender. Betapa hebatnya ibu-ibu di tahun 60/70an yang belum bersentuhan dengan banyak colokan listrik hehehe.
Tenang Nek, cucumu ini masih melestarikan beberapa perkakas masa lalu *sodorinCobekanBatu* 😀
The same old story … on and on again. Boyband era 90-an yang dulu dimaki karena terlalu menye-menye kini dirindukan kembali oleh penggemarnya. Tentunya sambil mencela selera musik generasi millenia era sekarang.
Era digital perubahannya seperti berlari. Salah satu yang paling terasa, maraknya pergaulan via media sosial. Media sosial tidak hanya jadi ajang nyinyir-nyinyiran tapi juga jadi penyebar berita utama. Mayoritas trending topic seringnya dimulai dari media sosial kan? Meluapnya informasi membuat dunia terasa penuh dengan kejahatan dan hal-hal buruk lainnya.
Sesama anak SD berantem di kelas di kabupaten anu provinsi entuh, dalam hitungan menit bisa tersebar luas di seantero Nusantara. Tuduhan demi tuduhan berhamburan. “Betapa memprihatinkan generasi sekarang!” atau “Astaga, anak-anak zaman sekarang kasar-kasar banget.” Yang lainnya, “Ih, sekarang kejahatan makin banyak!”
Belum lagi berita-berita kejahatan, mulai dari yang remeh sampai yang berbau konspirasi, beuh! Bisa dikupas tuntas beramai-ramai. Kadang, kenal orangnya saja tidak, tapi saking dahsyatnya berita tersebar, kita mendadak ikut-ikutan benci dan menghakimi dengan keras.
Seolah semuanya baru terjadi di masa sekarang. Padahal semuanya hanya perulangan dari masa ke masa. Memangnya dulu persentase orang jahat lebih sedikit daripada orang baik? Kata siapa? Mana datanya? Kalau hanya berdasar penyebaran berita di media jadi rancu dong, ya.
Dulu penyebaran informasi sangat terbatas. Sekarang? Kejadian di benua terjauh pun yang tidak terbayang oleh kita seperti apa tempatnya bisa kita dapatkan informasinya dalam hitungan detik.
Parahnya lagi, jargon bad news is a good news di kalangan media benar-benar dimanfaatkan seoptimal mungkin. Jadilah yang buruk-buruk bisa menyebar lebih cepat. Anak-anak yang saling membully viralnya bisa mengalahkan anak-anak generasi millenia yang sebenarnya punya banyak prestasi yang dulu mungkin tak terjangkau di masa lalu.
Anak-anak sekarang banyak yang menjadi penulis cilik. Diperkenalkan di dunia blog sejak dini. Jauh lebih mudah memasarkan karya-karya tulis di era digital. Siapa pun bisa berkarya asalkan mau bekerja keras. Prasarana bukan lagi halangan berarti.
Uniknya, orang tua malah banyak yang menarik diri dari kecanggihan teknologi. Sebagian orang tua memandang sarana internet penuh “ketakutan”. Malah cenderung ingin menarik diri ke masa lalu. Ya seperti lebaynya beberapa pihak yang memuja-muja masa kecil yang dianggap sebagai masa keemasan.
Saya pribadi malah iri dengan anak-anak zaman sekarang. Dulu, mencari informasi beasiswa saja serba terbatas. Kini, informasi bertaburan via internet. Era sekarang juga mempermudah banyak hal lainnya.
Daripada mengutuk banyaknya video-video negatif, manfaatkan saja situs seperti youtube untuk mengajarkan anak-anak membaca. Anak saya yang pertama dan kedua sangat terbantu mengenali huruf dengan maraknya video-video cara belajar membaca dan mengeja di youtube yang bisa dinikmati secara gratis.
Industri kreatif di bidang ekonomi juga dipicu oleh penggunaan media sosial. Masih ingat Laksita yang diceritakan di awal? Menjual kaos kaki dengan memanfaatkan akun instagram. Label pengusaha bisa dirintis sejak usia dini karena banyaknya kemudahan teknologi.
Kecanggihan teknologi mungkin seperti sebilah pisau. Tentu marabahaya yang diundangnya jika mata pisau ini berada di tangan seorang yang berniat menghabisi nyawa orang lain. Namun, di tangan seorang ibu yang meracik menu di dapur, sebilah pisau mampu mendatangkan manfaat yang tidak sedikit.
Saya percaya, mana ada sih hal-hal di dunia ini yang mengandung manfaat saja? Air putih yang sudah sangat nyata khasiatnya buat kesehatan kita, bila dikonsumsi sekaligus dalam jumlah banyak, apa tidak membuat perut kembung?
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari jangan kita yang ditelan zaman. Kitalah yang harus menaklukkan zaman. Media perantara tidak seharusnya menjadi masalah. Termasuk dalam urusan mendidik bagi para orang tua. Manfaatkan kemajuan zaman untuk mengoptimalkan potensi si kecil. Sembari mengontrol penggunaannya agar tetap di jalur yang tepat.
“The only way to make sense out of change is to plunge into it, move with it, and join the dance.” -Alan Watts
Seperti terasa ombak yang datang menghadang menghadapi cepatnya zaman berlari. Jangan dilawan. Mengalirlah bersamanya.
- Now and Then - 14/02/2016