My IKEA Dream

Fauzan Mukrim

Nak, seringkali jika tak bisa tidur seperti ini, maka aku akan memelototi katalog IKEA yang sengaja aku simpan di dekat tempat tidur. Katalog itu diperoleh ibumu dari temannya, dan temannya itu entah bagaimana cara mendapatkannya karena di sampulnya jelas-jelas tertulis itu katalog khusus toko dan tidak untuk dibawa pulang. Satu yang pasti, katalog setebal 150-an halaman itu diembat dari sebuah toko IKEA di Malaysia, karena harga yang tercantum semuanya dalam ringgit (RM).

Itulah kebiasaanku belakangan ini. Kebiasaan yang sebenarnya tidak aku sukai. Melihat-lihat buku atau majalah tentang rumah yang membuatku berangan-angan untuk memiliki satu yang sedemikian. Lembar demi lembar yang aku buka semakin membawaku pada perasaan bahwa rumah kontrakan yang kami tempati sekarang ini tak lagi cukup. Impian tentang sebuah rumah permanen mandiri atau town house entah di mana beserta perabotan IKEA-nya, mulai sering bermain-main di kepala. Cukup mengganggu. Benarlah bahwa keinginan itu memang sumber penderitaan.

Tapi, begitulah, mungkin hanya seorang yogi di tepi sungai Gangga yang bisa bebas dari keinginan. Waktulah yang membuat kita seperti ini. Kita berubah seiring waktu. Maka aku sangat menghormati orang-orang yang tetap berusaha menempatkan dirinya pada posisi yang ideal. Ideal bagi pikiran dan hatinya. Ada yang bilang, seseorang yang TIDAK idealis sebelum usia 30 adalah tidak tahu malu, tapi seseorang yang MASIH idealis setelah usia 30 adalah tidak tahu diri. Aku sudah 31. Entah dimana posisiku sekarang.

BACA:  Sungai Muhammad

Nak, di kantorku sekarang sedang menghadapi cobaan siklus. Siklus yang sebenarnya mereka ciptakan sendiri. Pola manajemen seperti yang mereka terapkan itu memang akan menghasilkan turn over yang tinggi. Arus karyawan keluar masuk dengan cepat dan spartan. 100 orang bisa masuk, tapi 100 orang juga bisa keluar dalam saat sama. Kali ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, teman-teman kerja banyak yang pindah atau berniat pindah. Ini sudah pernah terjadi setidaknya 3 kali selama yang aku catat.

Ketika gelombang eksodus pertama terjadi, aku berusaha untuk tidak terpengaruh. Padahal, jujur, itu saat yang berat. Teman-teman satu batch, yang sama-sama training dan belajar dari nol, tiba-tiba menyeberang ke perusahaan TV lain. Ada semacam rasa ditinggalkan yang melankolik, rasa kehilangan. Tapi ya itu tadi, aku mencoba untuk tidak terpengaruh.

Gelombang yang kedua tidak lebih ringan cobaannya. Sebuah stasiun “baru terbarukan” merekrut karyawan besar-besaran. Teman-teman kembali berangkat. Seorang teman kerja sekaligus sahabat akrabku juga ikut eksodus itu. Bisa dibilang kami teman seperjuangan. Kami bareng dari sejak kuliah. Masuk di kantor ini juga bareng. Dan kamu tahu, Nak, retak jiwaku ketika dia menyebut salary yang dia terima di tempat barunya itu. Nyaris 4 kali lipat gaji lamaku. Dia bilang masih ada tempat jika aku ingin ikut. Pusing aku, Nak. Bimbang…

Dan di tengah kebimbangan itu, aku memutuskan cuti dan pulang kampung. Di kultur keluarga kami, kami terbiasa menjadikan orang tua sebagai center of universe, pusat semesta. Semua keputusan besar yang kami ambil harus melibatkan pertimbangan orang tua. Ini sekadar contoh saja, Nak. Kami tak memaksamu untuk memperlakukan kami seperti itu kelak.

BACA:  Sarjana

Ketika aku bilang ke ibuku soal kebimbangan itu, beliau cuma bertanya, “Kamu merasa nyaman bekerja di tempat yang sekarang?”
Aku bilang iya. Sangat nyaman malah. Aku tidak yakin bisa menemukan tempat bekerja lain yang senyaman ini.
“Kalau begitu jangan pindah,” kata ibuku. “Jika masalahnya adalah uang, jangan pindah. Kantor ini mempekerjakanmu ketika kamu masih tidak tahu apa-apa. Tidak bijak jika kamu meninggalkannya hanya karena uang. Bertahanlah dulu, siapa tahu nanti akan ada perbaikan…”

Dan begitulah ceritanya mengapa aku masih di sini hingga hari ini. Hingga ke gelombang ketiga ini. Tapi entahlah apa aku masih bisa bertahan melewati gelombang ketiga ini. Karena situasinya sudah beda, Nak. Pada gelombang pertama dan kedua itu aku masih kelas pekerja yang tak perlu bertanggung jawab apa-apa. Sekarang sudah ada ibumu yang harus aku bikin senang dan bahagia, dan kamu yang insya Allah 3 bulan lagi akan lahir, Nak.

Dulu aku sudah cukup senang menikmati hari dengan berburu DVD bajakan di Ambasador dan menikmatinya di kamar kosan. Sekarang sudah ada ibumu yang membawa pulang katalog IKEA itu.
Tempora mutantur, Kid!

Saat ini, menyambut kelahiranmu, kami cuma bisa berdoa, Nak. Semoga Allah senantiasa membuat kami selalu merasa cukup, qana’ah. Kami yakin, dengan karunia-Nya yang maha luas, Dia pasti akan memberikan semua yang kami butuhkan pada saatnya.

BACA:  Malaikat yang Terinjak Sayapnya

Kami hanya perlu diingatkan.

Seperti halnya aku menulis ini agar selalu ingat: betapa maha baiknya Dia karena hingga kini masih membiarkanku mengoceh tentang katalog IKEA, padahal 6 tahun lalu –ketika pertama kali datang ke Jakarta– aku hanya berbekal ransel berisi pakaian dan sebuah matras gunung.

Fauzan Mukrim

Leave a Reply

Silakan dibaca juga