Menjahit Robekan Tenun: Bacaan Sebelum Pemilihan

Bhinneka Tunggal Ika bukanlah kosa kata baru. Bahkan perihal hidup dalam keberagaman sudah diajarkan semenjak kita SD. Masih ingat pelajaran PMP atau PPKn atau PKn? Pasti ada alasan mengapa mata pelajaran tersebut tetap eksis hingga saat ini. Sejak kelas IV SD, seorang guru sudah mengajarkan bagaiamna bersikap toleran[1]. Naik ke kelas V, anak mulai diberikan contoh berbagai kegiatan yang mendukung keberagaman sosial demi persatuan bangsa[2]. Lebih kritis lagi di kelas VI, anak sudah harus bisa menganalisis pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian[3].

Saya yakin Pak Anies tak asal menandatangani Permendikbud di bulan Juni tahun lalu. “Ini soal tenun kebangsaan. Titik!” ungkap Pak Anies dalam tulisannya di bulan September 2016. Siapa di antara kita yang tidak setuju dengan gagasan mulia ini? Nyatanya saat perjuangan mendirikan NKRI pun, para pahlawan tak sempat bertanya apalagi mengotakkan diri berdasarkan agama sebelum mengangkat senjata. Negara ini berdiri bukan hasil perjuangan satu golongan tapi satu hati. Kalaulah dulu para pejuang kita berlandaskan pada asas ‘cepat-cepatan klaim’, rasanya tak mungkin asas Bhinneka Tunggal Ika lahir. Karena yang sejarah catat adalah semangat juang bukan komparasi kontribusi antar-golongan dalam merebut kemerdekaan.

Nah, kalau secara teori kita sudah mantap, bagaimana dengan praktiknya? Jelas tak semudah itu. Kalau segala sesuatunya sudah berjalan ideal, tak usahlah Pak Anies repot-repot menyerukan ‘Tenun Kebangsaan’.

Hadirnya masalah sosial yang berakar dari sensitivitas akhir-akhir ini juga bukan perkara baru. Sejarah akan terus berulang itu benar adanya. Bukan peristiwanya tapi pola-polanya, tentu dengan oknum-oknum berbeda. Jelas-jelas di Indonesia mengakui lima, sekarang enam, agama, tapi di era maju saat ini pola primordialisme masih saja bercokol. Sedikit menengok ke belakang, pada masa Orde Baru dalam UU Nomor 8 Tahun 1985, semua organisasi kemasyarakatan atau ormas “diwajibkan” berlandaskan Pancasila dan tindakan ekstremis dalam bentuk apa pun tidak bisa ditolerir. Hanya selang beberapa bulan setelah reformasi, pola eksistensi organisasi kemasyarakatan pun berubah. Coba hitung ada berapa banyak ormas garis keras yang tumbuh subur selama 18 tahun belakangan ini?

UU Ormas yang baru di tahun 2013 pun ternyata bukan jaminan untuk mengontrol pergerakan ormas agar lebih selaras dengan kebhinekaan. Coba hitung selama tiga tahun belakangan, sudah berapa kali ada aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama? Mungkin ini yang Pak Anies sebut-sebut sebagai ‘perobek tenun’.

BACA:  Dua Bapakku yang Lain

 

Toleransi di tengah perobek, mungkinkah?

Sebagai seorang alumni gerakan Indonesia Mengajar, selama satu tahun menjadi guru muda di desa Adodo Molu, Maluku Tenggara Barat, saya sempat mengalami krisis kepercayaan saat mengajarkan tentang Kebhinekaan. Bagaimana mungkin anak-anak di sebuah desa yang 99.99% penduduknya adalah Kristen bisa mengerti pentingnya toleransi? Meminjam motto Sabang Merauke[4] bahwa toleransi itu dialami bukan hanya diajarkan. Untungnya, rekan sesama Pengajar Muda di desa sebelah adalah seorang Muslim. Saat Eko berkunjung ke desa saya dan sholat, banyak anak-anak yang mengerubungi untuk melihat. Tak jarang Eko disuguhi dengan pertanyaan polos ala anak kecil tentang agamanya, tapi dia berhasil memberikan pengertian. Bahkan saat bulan puasa, rekan guru saya sempat bertanya ‘Kalau buka puasa katong bikin yang manis kah buat Pak Eko?’. Eko adalah seorang Muslim yang taat, bukan sekedar sholat lima waktu, tapi perihal potong ayam secara halal pun kami jadi mengerti karenanya. Namun, ia juga tak jarang membantu program gereja di desanya, bahkan dia amat sibuk waktu mempersiapkan acara Natal untuk anak-anak. Apakah dia Muslim yang salah? Tergantung kacamata mana yang kita pakai.

Lalu pertanyaannya, apakah kita yang adalah orang berpendidikan, tinggal di kota, dan punya akses informasi yang luas ini harus kembali belajar kepada anak kelas IV SD atau mencoba hidup di pedalaman supaya paham esensi Bhinneka Tunggal Ika? Atau menyapu bersih ormas-ormas ekstrem adalah solusi praktis?

 

Toleransi bukanlah program pemerintah jangka pendek, terlebih apabila tenun kebangsaan ini terlanjur robek. Berharap di Indonesia bebas ormas garis keras bagaikan berimajinasi kalau di Indonesia presidennya berasal dari antara kelima agama lain yang diakui. Hampir tidak mungkin, toh? Lagipula kalau ormasnya dibubarkan, selama masih ada oknum-oknum perobek, kan tinggal bikin ormas baru. UU Ormas 2013 malah memberi ruang kepada ormas yang tidak berbadan hukum, jadi tinggal sesuaikan AD/ART agar memenuhi persyaratan supaya lolos administrasi. Dengan demikian, jika penegakan hukum tak bisa kita jadikan sandaran, mungkin sudah saatnya kita yang mulai berusaha daripada kerap menuntut pemerintah bersikap ideal.

BACA:  Cara Asyik Sumbang Buku Ala Lemari Buku-buku

 

Lalu, kita bisa apa?

Ibaratkan kita punya kain tenun yang begitu apik disulam dengan tangan, harganya mahal dan jadi kesayangan. Ketika tenun itu dirobek-robek oleh orang, tentulah kita marah. Tapi marah kita pun tak cukup karena robekan tak mungkin terjahit dengan sendirinya. Jangan sampai robekan itu tambah lebar, kita harus segera menjahitnya! Anggaplah robekannya tak cuma satu, maka mulailah menjahit dari robekan yang terlebar.

Saat ini robekan terlebar itu adalah Jakarta. Bagaimana tidak, sebagai ibukota negara yang terbiasa dihuni oleh orang dari berbagai suku, ras, dan agama, belakangan ini tergerus oleh sensitivitas keagamaan. Berawal dari tudingan penistaan agama oleh Gubernur DKI yang berlanjut pada aksi massa 212 dan 412. Bagi saya ini bukan soal siapa yang salah dan benar karena nyatanya robekan melebar ke tempat lain seperti pembubaran KKR di Bandung dan sweeping atribut Natal. Hal ini layak jadi perenungan kita bersama, terlebih untuk warga Jakarta yang bulan depan akan memilih pemimpinnya.

 “Jika terlalu mengagumi seseorang, kadang yang salah terlihat benar. Sebaliknya, kalau terlalu membenci seseorang, hal baik pun terasa buruk.”

Lebih baik secukupnya saja agar bisa mempertimbangkan lebih jernih. Mungkin diantara kita sudah memegang jagoan masing-masing, bukan hal mudah pula mengubah pilihan. Namun, amat disayangkan kalau pilihan kita hanya berdasar agama, ras, ataupun simpati. Amat disayangkan kalau lima tahun nasib Jakarta tergadai oleh provokasi. Masalah kompleks di Jakarta tak pilih-pilih mau diselesaikan oleh siapa, yang terpenting tak sekedar tawaran konsep yang memukau tapi juga eksekusi yang tepat sasaran.

Ingat, kita tak hanya sekedar bertarung melawan perobek tapi juga menyulam kembali robekan! Jika kita merasa tidak nyaman dengan kondisi intoleran, pilihlah pemimpin yang punya sikap. Dialog dengan semua kalangan bahkan yang ormas ekstrem sekalipun bukan persoalan, selama konsisten menebarkan semangat keberagaman. “Kita harus kembalikan Jakarta, jangan sampai serasa hidup di tanah asing”. Mudah-mudahan kita setuju untuk menafsirkannya demikian: Jakarta, tak hanya ibukota negara, pusat pemerintahan, tapi juga riwayatnya sebagai tanah tempat orang dari beragam tempat, suku, dan agama, selayaknya hidup berdampingan secara damai. Mari menjahit robekan tenun, dimulai dari Jakarta!

BACA:  Pak Mursal yang Menginspirasi Pak Joko

  

Salam Warung Kopi!

 

#BukanTimsesAtauHaters

 

catatan kaki:

[1] Permendikbud Nomor 24 Tahun 2016 Kelas IV terkait Kompetensi Dasar Sikap Sosial, lebih jelasnya poin 2.3 berbunyi ‘Bersikap toleran dalam keberagaman umat beragama di masyarakat dalam konteks Bhineka Tunggal Ika’ dan poin 2.4 memperkuat dengan ‘Menampilkan sikap kerjasama dalam berbagai bentuk keberagaman suku bangsa, sosial dan budaya di Indonesia yang terikat persatuan dan kesatuan’

[2] Kompetensi Dasar Keterampilan poin 4.3 ‘Menyelenggarakan kegiatan yang mendukung keberagaman sosial budaya masyarakat’ lalu diperkuat dengan ‘Menyajikan hasil penggalian tentang manfaat persatuan dan kesatuan untuk membangun kerukunan.’

[3] Kompetensi Dasar berbunyi ‘Menyajikan hasil analisis pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.’

 [4] SabangMerauke (Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali) adalah program pertukaran pelajar antar daerah di Indonesia yang bertujuan untuk menanamkan semangat toleransi. Dalam program yang digagas sejak 2012 ini, anak-anak dari seluruh Indonesia akan tinggal dengan keluarga yang berbeda dan berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda.

Marthella Rivera
Latest posts by Marthella Rivera (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga