Menyambut Dies Natalis ke-65 Universitas Hasanuddin, teman-teman ramai memasang twibbon lengkap dengan cerita pengalaman indahnya semasa di kampus merah itu.
Kemarin saya baca postingan dr. Puspa Ayulestari Julian . Baru belakangan ini saya tahu kalau beliau ternyata alumni Fakultas Kedokteran Unhas, dan kayaknya seangkatan dengan saya juga.
Fakultas Medis (Kedokteran Umum dan Kedokteran Gigi) berseberangan posisi dengan fakultasku, jauh di ujung. Secara geografis maupun psikologis, agak susah direngkuh. Apalagi mahasiswinya, mereka semacam selebritas bagi kami di FISIP. Palingan cuma lihat mereka kalau lewat Baruga mau kuliah MKDU.
Saking susahnya bergaul dengan mereka, ada dosen mata kuliah Komunikasi kami sampai menjanjikan nilai A bagi siapa pun yang bisa punya “teman dekat” dari FK atau FKG. Itu tentu becanda, tapi banyak yang menanggapi serius.
Usaha-usaha untuk menaklukkan hati anak FK-FKG terus dilancarkan. Ada yang berhasil, tapi ada juga yang berakhir kecewa. Ada teman yang cerita, di-ghosting mahasiswi FKG setelah ia kehilangan beberapa giginya. Ternyata ia cuma dijadikan bahan praktik cabut gigi. Wkwkwk.
Oya, di postingannya itu dr. Puspa cerita pengalaman ospeknya yang “kejam”. Di jaman itu, ospek di kampus-kampus Indonesia Timur memang terkenal agak kurang beradab.
Saya sendiri juga mengalaminya di FISIP. Selama ospek, tak terhitung tendangan dan tamparan di pipi yang saya terima. Betharia Sonata kalah pokoknya. Saya malah pernah ditampar senior gara-gara persoalan sepele. Hanya karena nama panggilanku sama dengan nama panggilannya.
“Ganti itu besok. Cuma boleh ada satu Ochan di sini,” katanya garang.
Saya pribadi sebenarnya gak ada masalah dengan siksaan fisik –waktu itu ya, karena saya pikir semua juga mengalami. Justru siksaan mental yang agak berat buat dijalani. Misalnya dikasih satu biji permen buat diemut bergiliran dari mulut ke mulut sampai habis. Kalau jaman itu sudah ada Covid, habislah kami semua. Belum lagi perasaan aneh karena harus bersentuhan bibir dengan sesama cowok. Saya nggak ingat dulu siapa yang mengemut permen sebelum saya, tapi setelahku dulu Temmy William Tauno. Hiii.. Untung nggak kita keterusan ya, Tem. Hampir cyiin…
Pokoknya ospek kami dulu itu penuh siksaan, bahkan di bagian yang harusnya ena-ena. Coba bayangkan pas giliran pembagian makanan, urutan makannya diubah. Air minum duluan yang dihabiskan, baru lauk, kemudian nasi, dan terakhir sambel. Jahat bener itu senior-senior!
Tapi ada juga yang tak bisa mentolerir. Di angkatanku, ada 2 orang yang akhirnya mengundurkan diri karena nggak kuat ikut ospek. Sempat datang di hari pertama, mereka akhirnya mundur karena tidak kuat disiksa. Namanya Sherly, satu lagi saya lupa.
Yang tidak ikut ospek tapi tetap mau kuliah juga harus melewati proses yang tidak ringan. Atas nama solidaritas, mereka biasanya dikeroyok senior di ruang himpunan. Beneran dikeroyok. Saya pernah melihat sendiri.
Ini termasuk yang perempuan. Saya ingat ada mahasiswi satu angkatan di bawahku yang tidak ikut ospek. Hari pertama ia muncul di kampus, ia diberi sambutan tamparan. Bukan cuma satu, tapi oleh seluruh mahasiswi satu angkatannya.
Kejamlah pokoknya. Syukurlah sekarang sudah nggak ada lagi yang begitu di Unhas. Kalau dipikir-pikir, nggak ada gunanya juga kekerasan macam begitu.
Itu sebabnya waktu angkatanku “berkuasa”, saya mengusulkan menghentikan praktik-praktik begitu untuk memutuskan rantai dendam dari senior ke junior. Ya iyalah setiap angkatan senang menyiksa juniornya, karena dulu mereka juga digituin.
Di angkatan 99 kalau nggak salah kami mulai. Saya usulkan ke pengurus, kalau memang tujuan ospek adalah supaya mahasiswa baru bisa merasakan penderitaan sesama, kenapa nggak kita kasih mereka penderitaan beneran.
Mahasiswa baru saya suruh mengambil alih pekerjaan pekerja informal di sekitar mereka selama beberapa hari. Ada yang jadi petugas kebersihan, ada yang jadi pedagang asongan. Mereka berjualan di jalanan dengan disupervisi langsung oleh pedagang benerannya.
Akhirnya setelah itu format ospeknya mulai mendidik. Kekerasan berkurang meski nggak langsung hilang.
Kesan ospek yang garang juga pelan-pelan kami kikis. Kalau di fakuktas sebelah tetap doyan pakai gambar tengkorak di baliho ospeknya, kita ganti dengan gambar yang lucu-lucu.
Dulu setiap angkatan punya nama Ospek yang disesuaikan dengan istilah bidang ilmu. Misalnya jurusan HI pakai nama Diplomat, di Hukum pakai nama Rechtsstaat, dll. Di angkatanku, karena kami Komunikasi, namanya Propaganda.
Jadi ketika angkatanku berhak untuk mengusulkan nama ospek bagi angkatan di bawahku, saya kasih nama yang sangat komunikatif. Pornografi.
Itu angkatanmu ya, Tiur Sitorus?
Selamat Dies Natalis ke-65, Kampusku. Kesalahan-kesalahan yang dulu jangan diulang lagi. Kalau dulu Sherly jadi masuk Unhas dan nggak mundur gara-gara Ospek, mungkin sekarang dia sudah jadi dosen yang baik. Atau minimal anggota grup WA angkatanku nambah satu orang.
Semoga Unhas makin moncer.
Rektornya nanti juga nggak usah rangkap jabatan, kalau bisa.
Tidak perlu memaksa jadi yang terbaik, biarlah itu bagiannya UI atau ITB.
Kita cukup jadi yang tersayang saja.
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023