Nak, semoga cerita berikut ini tidak akan membuat kupingmu mengalami iritasi. Ini tentang sikap politik. Atau sikap apolitik. Terserah kau mau sebut apa.
Pagi itu, di tahun 2004 yang aku lupa harinya, aku ditugaskan mewawancarai Jusuf Kalla. Aku menemui dia di kantornya, di hari terakhirnya sebagai Menko Kesra.
Selepas wawancara, kami ngobrol santai. Aku bilang aku orang Bone, dan besar di Bukaka, di kampung yang sama dengannya. Rumahku hanya berjarak beberapa rumah dari rumah masa kecilnya yang kini jadi pesantren.
Jusuf Kalla, yang akrab disapa JK, tanya kapan aku terakhir pulang, dan aku juga bertanya sebaliknya. “Kita, Puang, kapanki terakhir ke Bone?” tanyaku. Aku memangggilnya Puang, sebagai bentuk penghormatan untuk orang tua dalam kultur kami.
Dia lalu cerita tentang safari politiknya ke kampung halaman kami itu. Aku pernah dengar cerita yang sama dari temanku yang ikut dalam rombongan dia. “Gue lewat depan rumahmu, Chan,” kata temanku itu.
Aku jamin, Pak JK pasti lupa pada pertemuan kami itu. Dia bertemu dengan ribuan orang penting setiap hari, kenapa pula dia harus ingat pada seorang wartawan culun seperti aku? Tapi biar begitu, aku merasa gembira. Kau akan tahu apa yang aku rasakan jika seandainya kau berasal dari Pacitan dan bertemu dengan SBY.
Setelah itu, aku menyimpan niat dalam hati, akan memilih JK jika dia maju sebagai calon presiden. Alasannya sederhana, proksimitas geografis dan kultural. Terdengar primordial dan chauvin? Jangan salahkan aku. Itulah kenyataannya.
Dan dia memang maju bertarung, meski hanya sebagai cawapres, bersanding dengan SBY. Aku kecewa, tapi kemudian sedikit terhibur mendengar kabar bahwa dia punya nilai tawar yang tinggi terhadap SBY. Di kemudian hari, JK memang membuktikan itu. Pada malam pengumuman kabinet setelah mereka terpilih, kami menunggu cukup lama dari jadwal yang direncanakan. Belakangan, seorang kawan yang baru balik dari istana bilang, pengumuman kabinet molor karena JK “memaksakan” orang-orangnya untuk jadi menteri di pos tertentu, yang kabarnya membuat SBY terpaksa mengalah. Hebat!
Jadi begitulah, Nak, meski dalam hati aku mendukung JK pada pilpres 2004 itu, tapi aku tidak mencoblos sama sekali. Aku hampir selalu ketiduran pada hari pencoblosan.
Pertama dan terakhir aku bisa mencoblos, waktu partai masih 3 biji. Itupun aku coblos semua. Biar adil. |
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023