Mengapa Hanya 24 Judul Film Indonesia Yang Ditonton Jutaan Orang?

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia tumbuh menjadi kekuatan baru di Asia. Jumlah penduduk yang terus bertambah menjadi salah satu penyebab kekuatan itu. Dengan jumlah penduduk sebesar 254,9 juta jiwa [dilansir oleh Badan Pusat Statistik pada 2015], maka Indonesia menjadi pasar maha luas bagi produk apapun. Tapi apakah produk lokal juga direspon dengan baik oleh penduduk dari negerinya sendiri?

Mari kita lihat pada sektor film. Sejak mati suri di periode 1990-an, film Indonesia perlahan tapi pasti bangkit. Sejumlah momentumnya diperlihatkan dengan respon sangat baik dari penonton atas sejumlah film ketika diluncurkan di bioskop. “Petualangan Sherina” [disutradarai Riri Riza] yang dirilis pada tahun 2000 disambut oleh 1,4 juta orang. Lantas setahun setelahnya perbioskopan Indonesia kembali menjadi pembicaraan setelah “Jelangkung” [disutradarai Rizal Mantovani dan Jose Poernomo] menjadi surprise hit. Film yang awalnya hanya diputar di 2 bioskop di Jakarta dengan menggunakan materi digital itu ternyata meledak dan ditonton 1,3 juta orang. Dan tentu saja dipuncaki oleh “Ada Apa dengan Cinta” [disutradarai Rudi Soedjarwo] yang membuat 2,7 juta orang berduyun-duyun memenuhi bioskop di tahun 2002.

Tahun berganti, waktu terus berlalu. Perlahan tapi pasti, produksi film Indonesia terus meningkat. Tahun 2007 tercatat film Indonesia diproduksi sebanyak 54 judul. Dan 8 tahun setelahnya tercatat sebanyak 117 judul. Hanya dalam tempo kurang dari 10 tahun, produksi film Indonesia bertumbuh lebih dari 100 persen. Dengan demikian dalam tempo 8 tahun telah beredar tak kurang dari 400 judul film Indonesia di bioskop. Yang menarik adalah dari sekian banyak jumlah film Indonesia yang diproduksi, mengapa hanya 24 judul selama periode 2008 – 2016 atau kurang dari 10% film yang mengundang perhatian jutaan penonton? Dengan jumlah penduduk yang sebesar lebih dari 250 juta orang itu, maka data ini menjadi menarik untuk ditelaah.

Berikut 24 judul film Indonesia dengan jutaan penonton:

  1. Laskar Pelangi [2008] – 4,63 juta penonton
  2. Habibie & Ainun [2012] – 4,48 juta penonton
  3. Ayat-Ayat Cinta [2008] – 3,58 juta penonton
  4. Ada Apa dengan Cinta 2? [2016] – 3,26 juta penonton (per 16 Mei 2016).
  5. Ketika Cinta Bertasbih [2009] – 3,1 juta penonton
  6. 5 CM [2012] – 2,39 juta penonton
  7. Ketika Cinta Bertasbih 2 – 2 juta penonton
  8. The Raid [2012] – 1,84 juta penonton
  9. Comic 8: Casino Kings Part 2 [2016] – 1,83 juta penonton
  10. Sang Pemimpi [2009] – 1,74 juta penonton
  11. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck [2013] – 1,72 juta penonton
  12. Comic 8 [2014] – 1,62 juta penonton
  13. Surga Yang Tak Dirindukan [2015] – 1,52 juta penonton
  14. The Raid 2: Berandal [2014] – 1,43 juta penonton
  15. Garuda Di Dadaku [2009] – 1,37 juta penonton
  16. Single [2015] – 1,35 juta penonton
  17. Comic 8: Casino Kings Part 1 [2015] – 1,21 juta penonton
  18. Sang Pencerah [2010] – 1,2 juta penonton
  19. Get Married 2 [2009] – 1,19 juta penonton
  20. 99 Cahaya di Langit Eropa [2013] – 1,18 juta penonton
  21. London Love Story [2016] – 1,12 juta penonton
  22. Tali Pocong Perawan [2008] – 1,08 juta penonton
  23. Air Terjun Pengantin [2009] – 1,06 juta penonton
  24. XL: Extra Large [2008] – 1,03 juta penonton

Di periode 2000 – 2007, beroleh 300 ribu penonton untuk sebuah judul film tak sulit. Saya sendiri mengalaminya karena saat itu masih bergelut sebagai film promoter maupun publicist. Film seperti “Catatan Akhir Sekolah” [2004, disutradarai Hanung Bramantyo] yang saya tangani promosinya di Makassar digolongkan oleh produsernya bukan sebagai film laris meski beroleh penonton sekitar 300 ribuan. Di tahun 2006, saya menangani roadshow film “Heart” [sutradara Hanny Saputra] di 5 kota yang akhirnya beroleh sekitar 1,5 juta penonton.

Setelah meledaknya “Laskar Pelangi” [sutradara Riri Riza] di tahun 2008 dengan 4,7 juta penonton, kecenderungan penurunan jumlah penonton yang memilih film Indonesia untuk disaksikannya di bioskop mulai terasa. Dari data yang dipaparkan oleh Nurwan Hadiyono selaku Kepala Sub Direktorat Produksi Film pada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tersimak bahwa pada tahun 2012 hanya ada sekitar 18 juta orang menonton film Indonesia di bioskop. Setahun setelahnya jumlahnya kembali berkurang menjadi sekitar 15,5 juta orang saja. Apa yang terjadi? Kemana penonton film Indonesia?

BACA:  AADC2 dan Formula Film Laris

Apakah penyebabnya adalah persaingan dengan film impor? Apakah penonton kita lebih memilih menghabiskan uangnya untuk menonton film asing dibanding menonton film dari negerinya sendiri? Tak ada yang bisa memastikan ini, namun jika melihat data jumlah distribusi film impor dan lokal di bioskop tanah air memang cenderung jomplang. Pada tahun 2007 di saat Indonesia mendistribusikan filmnya sebanyak 54 judul, di saat yang sama bioskop mengedarkan jumlah film impor lebih dari 4 kali lipatnya sebanyak 205 judul. Setahun berselang ketika film Indonesia diproduksi sebanyak 91 judul, film yang diimpor masuk ke Indonesia sejumlah 144 judul. Dan di tahun 2010 ketika diproduksi 70 judul film Indonesia, film impor yang beredar di bioskop mencapai 3 kali lipatnya sebanyak 249 judul.

Negeri kita bisa jadi memang negeri yang sangat ramah dengan produk luar. Jarang sekali kita dengar ada kuota impor, di film pun demikian. Saya tak terlalu paham dengan strategi pemerintah menangani hal ini, namun sesungguhnya kita bisa belajar dari bagaimana Korea Selatan membangun industri budaya populernya, termasuk film.

Di buku yang ditulis secara menarik oleh jurnalis Euny Hong berjudul Korean Cool tergambar bagaimana Korea Selatan sangat serius dalam ambisinya mengekspor budaya populernya. Informasi berikut saya cuplik dari buku tersebut. “Di tahun 1994, sebuah artikel yang diterbitkan koran Korea Selatan, JoongAng Daily melaporkan, pendapatan dari tiket untuk film non-Korea meningkat tajam dari 53% pada 1987 menjadi 87% pada 1994. Pada Mei 1994, Dewan Pertimbangan Presiden di bidang Sains dan Teknologi menerbitkan laporan yang menyatakan, dalam setahun Jurassic Park bisa menghasilkan uang setara dengan penjualan 1,5 juta mobil Hyundai. Karenanya selain berambisi membuat film yang bisa meledak di pasaran, pemerintah juga bertindak cepat dengan memberi insentif pajak bagi perusahaan-perusahaan yang berinvestasi pada para pembuat film. Dan pada 1995, Kim Young-sam menerbitkan dekrit presiden untuk membuat Undang-Undang Industri Perfilman yang menyatakan bahwa gedung bioskop yang tak menayangkan film Korea setidaknya 146 hari dalam setahun akan dicabut izin usahanya.”

Mungkin perbandingan jumlah film lokal dan film impor menjadi salah satu penyebab penurunan animo penonton film Indonesia. Selain karena jumlahnya, juga karena film Indonesia akhirnya dibandingkan dengan film impor, terutama film Hollywood, karena penonton membayar tiket dengan harga yang sama. Meskipun memang tak adil pula membandingkan film Indonesia yang diproduksi dengan biaya rata – rata 2 hingga 3 milyar dengan film yang diproduksi hingga trilyunan rupiah. Tapi sekiranya film impor bukan menjadi penyebabnya, adakah faktor lainnya?

Faktor jumlah dan persebaran bioskop dituding menjadi penyebab berikutnya. Padahal di tahun 90-an, kita pernah memiliki cukup banyak bioskop yang cukup sebanding dengan rasio jumlah penduduk. Di era itu, bioskop memang bertumbuh hingga ke kota-kota kecil dan menjadi hiburan rakyat. Yang lahir di akhir 1970-an dan awal 1980-an bisa jadi mengalaminya. Ketika bioskop dengan mudah ditemukan di kota kecil sekalipun. Saya yang besar di kota Polewali [kini masuk sebagai propinsi Sulawesi Barat] tahu betul bahwa di kota saya setidaknya memiliki tak kurang dari 3 bioskop. Saya menonton “Saur Sepuh” hingga “Ratapan Anak Tiri 3” ditemani orang dewasa di bioskop. Tercatat setidaknya ada 2600 bioskop dengan 2853 layar pada masa itu. Tak heran jika film seperti “Catatan Si Boy IV” [1990, disutradarai Nasri Cheppy] beroleh 335 ribu penonton hanya dari wilayah Jakarta saja. Setahun setelahnya, “Lenong Rumpi” [1991, Yazman Yazid] juga disaksikan tak kurang dari 243 ribu penonton di Jakarta.

Dari 2600 bioskop di tahun 90-an berkurang hingga 90% satu dekade berikutnya. Tercatat hanya ada 264 bioskop tersisa dengan 676 layar di tahun 2002. Inilah era baru bioskop yang mengenal sistem sinepleks. Jika tadinya kompleks bioskop hanya dihuni 2 – 3 layar, maka kini bioskop bisa menggabungkan 5 layar bahkan lebih. Dan bioskop yang tadinya menjadi hiburan rakyat beralih fungsi menjadi hiburan kelas menengah karena kini bioskop praktis hanya dibangun di mal.

BACA:  Seratus Tahun Kegelapan: Kisah Terjemahan Alquran Dalam Bahasa Inggris

Selain kondisi bioskop yang kini lebih banyak dibangun di mal di kota besar [kebanyakan ibukota propinsi], persebarannya juga dinilai masih tak merata. Dari data yang dipublikasikan oleh cnnindonesia.com, hingga Agustus 2015 tak kurang ada 196 bioskop di seluruh Indonesia dimana sekitar 25% atau 51 bioskop berada di Jakarta. Selanjutnya Bogor dan  Depok dengan 11 bioskop, Bekasi dan Cikarang dengan 12 bioskop dan Tangerang dengan 13 bioskop. Bioskop masih terkonsentrasi di pulau Jawa sebanyak 125 bioskop atau sekitar 63%. Ketika jaringan 21/XXI masih mendominasi perbioskopan tanah air, penyuka film di Indonesia Timur misalnya akan gigit jari karena bioskop belum dibangun disana. Meski mereka punya daya beli, namun mereka tak punya akses ke bioskop. Barulah setelah masuknya jaringan Blitz, Cinemaxx dan Platinum, bioskop juga bisa dinikmati dari Magelang hingga Lombok.

Setelah melihat faktor eksternal, mari kita melihat faktor dari filmnya sendiri. Mengapa 24 judul ini beroleh kehormatan ditonton jutaan penonton? Untuk sejumlah film dipicu antara lain oleh faktor sukses materi asalnya. Disini saya membicarakan soal film adaptasi. “Laskar Pelangi” berangkat dari novel laris Andrea Hirata. Keputusan Andrea untuk memberi hak adaptasi pada Miles Films [diawaki Mira Lesmana dan Riri Riza] dan Mizan Productions adalah keputusan yang tepat, jika tak bisa dibilang sempurna. Riri sebagai sutradara punya reputasi tertentu sebagai sutradara dengan film yang memiliki pencapaian artistik yang baik. Meski tak semua film Riri sukses secara komersial, namun publik tak pernah meragukan kualitas film yang disutradarainya. Ditunjang oleh promosi besar-besaran, maka “Laskar Pelangi” masih menjadi landmark box office film Indonesia hingga saat ini.

Lantas bagaimana dengan “Habibie & Ainun” [2012, disutradarai Faozan Rizal] misalnya? Film ini adalah buah kecerdikan dari tim produksi yang begitu telaten memunculkan sosok Habibie ke muka publik, menggiringnya dalam sejumlah isu hingga akhirnya membuka tabir seputar akan difilmkannya kisah cinta Habibie dan istrinya yang tak banyak diketahui orang. Dan jangan lupa, “Habibie & Ainun” diproduksi oleh MD Entertainment yang sebelumnya sudah mencetak hit “Ayat-Ayat Cinta” di tahun 2008. Formula sukses yang sudah digenggam di film sebelumnya disempurnakan, terutama terkait promosinya, dan membuat lebih dari 4 juta penduduk Indonesia, termasuk mereka yang sama sekali tak pernah menyentuh bioskop selama bertahun-tahun, menyaksikannya di layar lebar.

Ada pula film seperti “The Raid” [2012, disutradarai Gareth Evans] yang dengan cerdik memulai debut-nya di salah satu festival internasional. Berkat tepuk tangan meriah dari mereka yang menyaksikan pemutaran perdananya di Toronto International Film Festival, film yang menaikkan nama Iko Uwais dan Joe Taslim itu menjadi film yang paling ditunggu di tanah air. Ulasan positif dari kritikus luar negeri juga menjadi salah satu pemicunya.

Sementara film seperti “Single” [2015, disutradarai Raditya Dika] menjadi film pertamanya yang menembus perolehan sejuta penonton. Selain karena fanbase-nya yang cukup kuat dan kisah yang dijual Dika selalu dekat dengan keseharian anak muda masakini, “Single” juga menarik perhatian karena terlihat digarap lebih mewah dari sisi production value-nya. Film ini dengan mudah bisa menarik penonton seperti saya yang jelas bukan target dari film-film karya Raditya Dika untuk menikmatinya di bioskop. Bagi sejumlah orang, production value yang terlihat dari gambar yang memanjakan mata hingga tata artistik yang enak dipandang sebanding dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli tiket.

Dengan demikian, diluar faktor eksternal yang masih menjadi PR sejumlah pihak terkait seperti penurunan jumlah penonton film Indonesia secara global dan jumlah/persebaran bioskop, faktor kualitas maupun promosi film menjadi magnet bagi calon penonton film Indonesia. Jika pembuat film terus mengupayakan untuk memperbaiki kualitas film produksinya, maka pemerintah berikut stakeholder terkait hendaknya juga terus memperbaiki ekosistem demi tumbuh kembangnya perfilman Indonesia. Jika kita tak bisa tegas menerapkan peraturan terkait screen quota atau pembatasan jumlah impor, maka pemerintah perlu menempuh cara lain. Tak perlu jauh-jauh hingga ke Korea Selatan. Kita cukup belajar ke negeri tetangga, Malaysia. Melalui Perbadanan Kemajuan Filem Nasional Malaysia [FINAS] diberlakukan aturan bahwa 2 judul film wajib diputar selama 14 hari berturut-turut di studio dengan jumlah kursi paling banyak di tiap bioskop. Malaysia yang hanya memproduksi kurang dari 100 judul pertahun itu punya aturan yang lebih menarik yang dinamakan Film Returns Incentive Scheme. Dalam skema ini pembuat film bisa mendapatkan kembali potongan pajak sebesar 20 persen (di sini dikenal sebagai pajak tontonan) jika penjualan tiket mencapai 2-4 juta RM [Ringgit Malaysia], 10 persen jika penjualan tiket melebihi 4 juta RM, dan 5% jika penjualan tiket mencapai 6 juta RM. Untuk film yang penjualan tiket mencapai lebih dari 6 juta RM, tidak mendapat potongan pajak karena dianggap sudah mendapat keuntungan.

BACA:  Jika Reza Bisa Jadi Habibie, Kenapa DiCaprio Tak Bisa Jadi Rumi?

Skema pengembalian pajak ala FINAS Malaysia bisa dicontoh oleh pemerintah menjadi skema pengembalian pajak untuk mendukung promosi film-film berkualitas. Jenis film yang diproduksi dengan baik namun tak punya cukup uang untuk membiayai promosinya dengan baik. Jenis film yang biasanya berjaya di festival namun melempem ketika beredar secara luas di bioskop. Jenis film yang perlu diperlihatkan ke sebanyak mungkin penonton bahwa kita pun bisa memproduksi film berkualitas yang diterima festival prestisius di luar negeri.

Banyak hal yang sesungguhnya bisa dilakukan pemerintah jika memang bersungguh-sungguh mendukung tumbuh kembang film nasional. Pemerintah juga bisa “memaksa” pihak swasta untuk lebih mendukung film Indonesia. Daripada membuat program nonton bareng sebagai sarana promosi produknya dengan film Hollywood [yang sesungguhnya tak butuh dukungan seperti itu], pihak swasta bisa mengalihkan alokasi dananya untuk membuat program yang sama dengan menonton film Indonesia terpilih. Selain itu, pemerintah juga bisa “memaksa” stasiun televisi swasta untuk membeli hak tayang film Indonesia berkualitas dalam jumlah tertentu [misalnya tiap stasiun televisi diwajibkan membeli hak tayang 5 – 10 judul film Indonesia berkualitas setiap tahunnya] dimana pembeliannya selain berupa uang, juga bisa berupa barter promosi film Indonesia secara luas di stasiun televisi bersangkutan.

Kicauan Presiden Jokowi via Twitter pada Hari Film Nasional 30 Maret lalu hendaknya dijadikan momentum bagi setiap pihak, terutama pemerintah, untuk berbenah. Selama ini film Indonesia tumbuh tanpa campur tangan yang kuat dari pemerintah. Semoga “ayo majukan film nasional sebagai wajah kepribadian bangsa, wadah industri kreatif dan penggerak ekonomi” tak sekedar semata slogan yang dilontarkan pemerintah, namun ada upaya terintegrasi dan berkelanjutan untuk benar-benar mewujudkan film Indonesia sebagai tuan rumah di negerinya sendiri.

Ichwan Persada

2 Comments

Leave a Reply

Silakan dibaca juga