Menemani Bapakku Berjalan Kaki

Maafkan karena harus melewatkan waktu bermain denganmu malam ini, Nak.

Aku harus menulis ini dulu sebelum pulang. Khawatir besok pagi sudah tidak menarik lagi.
Lagipula gerimis masih turun di luar. Biarlah aku tunggu sejenak. Karena memaksa pulang bisa basah aku sampai di rumah. Bisa pilek dan libur jadi mubazir besok.

Aku dan teman-teman baru beres bekerja. Beresin naskah, capture gambar, dan upload sana-sini. Tadi ada sidang di Pengadilan Tipikor. Bikin lelah. Marathon dari pagi sampai malam. Aku menyusul teman-teman yang sudah dari pagi di sana. Aku cuma dapat Pak Fathanah dan Pak Luthfi. Pak Fathanah sempat aku cegat saat keluar dari ruang terdakwa. tapi dia tidak mau ngomong, padahal aku sudah pakai bahasa Bugis. Maharani yang katanya cantik itu, sudah pulang pas aku datang. Padahal pengen lihat juga, seperti apa sih aslinya dia sampai Pak Fathanah mau keluar duit 10 juta buat kenalan doang.

Pak Luthfi aku tungguin dari masuk ke ruang sidang. Seperti biasa pasti rusuh. Aku sempat nyangkut di pintu karena terdorong teman-teman wartawan lain. Untungnya bobotku yang berat membuatku cukup stabil bila kena hantam.

BACA:  Lagu yang Pertama Kali Dijadikan Format MP3
Suasana Sidang Luthfi Hasan. Foto: Fauzan Mukrim
Suasana Sidang Luthfi Hasan. Foto: Fauzan Mukrim

Pak Luthfi itu mantan presiden PKS yang sedang tersangkut kasus suap kuota impor daging. Dan PKS itu, Nak, itulah partai berazazkan Islam terbesar saat ini. Partainya solid dengan kader-kader yang militan. Barangkali, selain PKI dan PRD, tak ada lagi partai dengan kader yang solid yang bisa mengalahkan PKS. Aku bukan kader. Hanya simpatisan. Keluarga besar kita juga pendukung PKS dari dulu. Adikku malah dulu kerjanya masang-masang spanduk PKS. Dia kader akar rumput. Pernah ditawari jadi legislator, tapi dia menolak. Dia lebih senang jadi penggembira. Kerja profesional sambil menjaga ibuku di kampung. Makanya aku jadi sedih, partai yang disayanginya ini kok bisa jadi begini…

Ya Allah, kenapa bisa seperti ini?

Pak Luthfi itu sekilas mirip bapakku. Profil wajahnya sama. Kulitnya agak kehitaman dengan sedikit bekas sujud di jidatnya. Bedanya bapakku almarhum sedikit lebih gempal dan tinggi.

Sidang Luthfi Hasan
Sidang Luthfi Hasan

Tapi melihat dia duduk di kursi pengadilan itu, meskipun masih sebagai saksi, pedih juga hati rasanya, Nak. Aku membayangkan bagaimana rasanya kalau bapakku yang duduk di situ. Menjawab pertanyaan hakim dan jaksa dengan terbata-bata, berputar-putar, dan nyaris putus asa.

BACA:  Gerhana Matahari, Kesalahan Einstein, dan Pentingnya Kritikus

Capek mendengar isi sidang, aku duduk melantai nyender ke tembok. Di depanku berseliweran kabel-kabel kusut. Mungkin seperti itulah kebenaran kini. Dan rasa percaya juga.

Politik, kekuasaan, dan harta itu sungguh jahat, Nak. Dia bisa mengubah seorang ayah yang baik menjadi sebaliknya.

Menjelang pensiun, aku pernah menemani ayahku mengembalikan motor dinas ke kantornya. Dan aku ingat setelah itu kami berjalan kaki pulang karena tak punya kendaraan lagi. Aku sempat melihat wajah bapakku, mencari kesedihan di situ. Tapi tidak aku temukan.

Dia orang yang tak henti dihantam beban hidup. Tapi entah kenapa selalu bisa tersenyum.

Aku tak tahu banyak bagaimana bapakku melewatkan masa mudanya. Bisa jadi hidupnya juga tidak benar-benar bersih. Tapi aku bersyukur pernah menemaninya berjalan kaki dan dengan begitu
aku belajar tidak terikat kepada benda. Pun caranya berusaha menjaga aliran darah kami agar selalu terhindar dari barang-barang haram, membuatku percaya bahwa tanda hitam di jidatnya itu benar-benar bekas sujud.

Semoga aku pun nanti begitu kepadamu, Nak. Menulis ini pun adalah bagian usahaku untuk selalu menjagamu, menjaga ibumu. Bahkan sekiranya bila seumur hidup aku harus menenteng-nenteng tripod dan menjadikan tanganku berdebu. Tak apa-apa bagiku, Nak.

BACA:  Guru Fisika-mu Mungkin Keliru, Apel Tidak Jatuh di Kepala Newton
Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

6 Comments

Leave a Reply

Silakan dibaca juga