“Bapak kebayang nggak, sepuluh tahun lagi Jakarta kayak apa?”
Bapak sopir taksi itu melirikku sekilas dan kemudian menyunggingkan sedikit senyum.
“Jangankan sepuluh tahun lagi, Mas, besok saja nggak kebayang,” katanya.
Kami akhirnya sama-sama tersenyum. Dari arah Blok M menuju Santa, kami berdua sedang terjebak dalam macet parah. Mobil bergerak seperti siput, lampu-lampu temaram, dan suara mesin dan klakson seperti erangan terakhir mahluk purba.
Pikirku, satu dua obrolan mungkin lumayan manjur untuk membunuh bosan, melupakan sejenak kutukan Jakarta yang membuat warganya tua di jalan.
Aku teringat sekitar 9 tahun lalu. Itulah saat pertama kali aku menginjakkan kaki di kota Jakarta. Hanya berbekal ransel dan sebuah nomor handphone milik kawan waktu kuliah. Niatku saat itu hanya ingin mencari pengalaman dengan bekerja apa saja di mana saja. Sungguh, tak pernah aku benar-benar ingin menjadi warganya dan menyerahkan diri untuk berkubang dalam serapah yang panjang.
Toh, sampai jualah aku di sini, kini. Dua periode KTP dan satu kali kehilangan handphone karena dicopet, cukup membuatku untuk sah disebut sebagai warga Jakarta. Aku telah sah untuk menghirup udaranya, meminum airnya, dan berpeluh di bawah teriknya
Dari kampung aku membawa bayangan buruk tentang Jakarta. Kota yang yang sama sekali tak ramah, penuh masalah yang tak bisa selesai hanya dengan menyantap pakan siap saji atau memakai pembersih wajah seperti di iklan-iklan.
Dan sekarang pun, bayangan buruk itu tidak banyak memudar. Warga Jakarta masih harus belajar tabah. Sewaktu-waktu masih bisa dirundung banjir seperti di berita ini:
http://www.tempo.co/read/news/2012/04/04/083394760/Banjir-Jakarta-2430-Jiwa-Mengungsi.
Atau yang paling buruk, nyawa bisa tiba-tiba melayang di ruang publik akibat seorang sopir mabok seperti ini:
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/01/064420711/Dituntut-20-Tahun-Supir-Xenia-Maut-Menangis
Namun, betapa pun hal buruk senantiasa membayangi, tetap saja kami –para pengadu nasib—terus berdatangan. Kami datang dengan ikhlas menenggelamkan diri sembari mencoba berdamai dengan optimisme, mimpi, maupun gombal-gombalnya.
Aku sendiri, syukurlah, pekerjaanku memungkinkan aku untuk bersentuhan dengan lapisan Jakarta yang paling kerak. Aku pernah tertatih-tatih menembus air setinggi pinggang, pernah bertemu bocah kecil yang diberi nama Gusuriyanto karena lahir ketika rumahnya digusur, pernah melihat orang yang berdarah-darah karena hotel tempat kerjanya di-bom, pernah bertemu keluarga yang anaknya tewas dilempar dari atas kereta yang melaju, dan lain-lain mimpi buruk kaum urban.
Inilah Jakarta yang karib dengan kita.
Lalu, selesaikah persoalan dengan sekadar menuliskannya di media sosial seperti ini?
Jakarta pernah mengalami macet parah beberapa bulan yang lalu. Ribuan kendaraan mampet di jalan. Orang-orang memble dan melampiaskan kemarahannya dengan memaki-maki di Twitter atau media sosial lain. Dan kebiasaan ini terus berlanjut sampai sekarang. Apapun yang dianggap mencederai kenyamanan publik, dengan segera menjadi makanan media sosial. Di Twitter, misalnya, betapa mudah kita menemukan orang yang mengumpat gubernur ketika macet atau banjir. Para pengambil keputusan yang sempat melongok Politicawave, mungkin akan segera menyadari bahwa mereka ternyata tidak terlalu disukai. Politicawave adalah sebuah lembaga yang merekam percakapan dan data secara “real time” di berbagai media social di Indonesia termasuk Facebook, Twitter, blog, forum, dan lain-lain.
Persoalannya sekarang, mujarabkah segala omongan dan kicau-kicau di media sosial itu untuk memicu perbaikan?
Donny Budi Utoyo, seorang pengamat media sosial pernah merasa skeptis dengan media sosial sebagai sarana pergerakan. Menurutnya, pengguna media sosial di Indonesia sebagian besar adalah kelas menengah yang kenyang. Mereka yang hidup dari gaji bulanan dan cukup puas (atau berani) hanya dengan berteriak di media sosial tanpa mau bersusah payah untuk membawanya ke dunia nyata. Ibaratnya, apa yang terujar di media sosial, tinggallah dia di media sosial. Tak bisa keluar. Ini berbeda, misalnya, dengan pergerakan di beberapa negara Timur Tengah yang dimulai dari media sosial. Tujuan pergerakan tercapai karena mereka lapar dan tertindas dan tidak ada jalan lain selain membawanya ke lapangan.
Namun tentu saja selalu ada pengecualian. Selalu ada kelompok-kelompok kecil yang memimpikan perbaikan untuk kota ini, yang tidak puas hanya menjadi tukang teriak tanpa solusi. Mereka yang beranggapan untuk hidup di Jakarta tidak melulu harus menunggu uluran tangan pemerintah atau penyelenggara negara. Ide-ide anarkis pun bermunculan. Anarkis dalam arti yang sebenarnya, yaitu melakukan gerakan dengan seminimal mungkin peran negara di dalamnya. Maka muncullah misalnya seorang arsitek ternama yang melalui media sosial mengajak orang untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong di Jakarta untuk berkebun, atau seorang editor buku yang mengajak orang mengumpulkan dana untuk memperbaiki rumah seorang guru mengaji. Ada juga sekelompok anak muda yang, melalui Facebook, membantu menghubungkan mereka yang dermawan dan berkelebihan dengan anak-anak asuh yang butuh biaya sekolah.
Maka, ketika misalnya, saat berada di dalam taksi yang terjebak macet, sang sopir taksi itu balik bertanya kepadaku pertanyaan yang sama.
“Kebayang nggak, sepuluh tahun lagi Jakarta kayak apa?”
Aku pasti akan menjawab seperti dia.
“Jangankan sepuluh tahun lagi, besok saja belum terbayangkan.”
Iya, karena di tengah serapah dan kutuk Jakarta yang seolah tanpa henti, akan selalu ada kelompok-kelompok kecil yang membuat kota ini akan tetap menyenangkan. Setidaknya dalam bayangan kita.
Jakarta, 01 Agustus 2012
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023
saya berharap jakarta akan menjadi lebih baik lagi tentunya..
*jujur belum pernah ke Jakarta
Bang ochan, buka VOA deh, disitu ada lomba nulis dr sumber berita nya mereka, kayak yg bang ochan tulis gini Setiap bulan dipilih 3 pemenang. Hadiahnya kereen #nularinsemangatkompetisi :D. Btw, jkt sepuluh thn lagi?? Yg pasti kembali wrg jkt heboh buat pilkada 😀