Membawa Holi ke Jakarta

Pagi masih belum terlalu tua ketika saya keluar dari Hotel Om Sai untuk sarapan. Tidak seperti beberapa pagi kemarin, kali ini jalanan sudah mulai ramai sejak hari terang tanah. Anak-anak lebih dulu keluar rumah bergerombol dengan sebayanya. Bukan untuk berangkat sekolah, namun untuk merayakan libur dengan berpesta. Di tangan mereka tergenggam pistol air dan bubuk yang warnanya diberbagaikan. Mereka berkejaran menyerang satu sama lain, melempar bubuk ke tubuh dan wajah, menembakkan air dengan penuh suka cita dan penuh tawa. Mereka berteriak, serupa kesurupan.

Hari ini merupakan puncak perayaan Festival Holi, yang dimulai sejak tanggal 12 hingga 13 Maret. Kemarin sore, seorang kawan datang membawa bubuk berwarna hijau dan menorehkannya ke wajah orang-orang di kantor. Tiga kawan yang lain telah terlebih dahulu dibedaki. Saya tak bisa menolak ketika ia mendekat, langsung saja saya mendorong mouse dan keyboard menjauh sembari berdiri dan menyodorkan wajah dengan pasrah. Ia mencelupkan jarinya ke dalam bubuk yang terbungkus potongan koran, menarik garis dari atas hidung dan menyapunya ke hampir seluruh jidat, hingga ke samping mata kiriku. “Let’s take a picture!”

Tempat yang saya tuju untuk sarapan adalah sebuah rumah sempit yang kami sewa untuk disulap sebagai dapur. Setiap tiga kali sehari, saya dan kawan-kawan bolak-balik kemari. Sepanjang jalan sejak dari hotel, berkelompok-kelompok orang terlihat memulai pesta. Anak-anak muda berkeliling mengendarai motor bertiga bahkan berempat di atas saddle tanpa baju, dengan wajah berbagai warna, menerikkan sebaris kalimat bermakna ‘Selamat Merayakan Holi’ dan diakhiri dengan koor panjang ‘uwouwouwo…’ oleh kawan-kawanya, sambil menutup-buka mulut mereka dengan telapak tangan. Seperti uwouwo-nya Tarzan. Kadang mereka berhenti untuk saling berjabat tangan dan kemudian lanjut berkeliling.

Saya sebenarnya agak khawatir jika dihampiri orang asing. Bukan perkara bubuk atau tepung warna-warni itu. Perayaan ini juga dimeriahkan dengan minum Bhang, yang terbuat dari campuran susu dan bunga serta daun ganja. Beberapa dari mereka bahkan menyebut mabuk sebagai salah satu syarat wajib dalam acara Holi. Selain tepung warna, mereka juga saling melempar tomat atau telur. Berjarak satu meter dari tempatku berdiri, seorang pemuda berlari menerjang kemudian menghantamkan telur ke kepala kawannya. Setelah itu mereka tertawa, lalu berpelukan dan berkata, “Happy Holi!” Nah, dihantam telur itu yang saya hindari. Apalagi kalau dapat paket combo, dihantam telur oleh orang asing yang mabuk.

BACA:  BRI Luncurkan Satelit BRIsat, Apa Manfaatnya untuk Rakyat Indonesia?

 

Image: holifestival.org

 

Saya tiba di dapur lebih dulu ketimbang sejawat yang lain. Usai menyantap roti bakar plus omelet dan dipungkasi secangkir kopi, lamat-lamat saya mendengar suara ribut-ribut di bawah. Saya melongok keluar jendela. Di sana ada Varun dan Avinash tertawa sambil menenteng sebuah kantong plastik. Wajah mereka berwarna ungu, dan bajunya yang semula putih telah menjadi merah muda. Keduanya adalah rekan kerja, asli anak sini. Saya bersiap untuk segera kembali ke kantor. Dan dimulailah kehebohan itu. Berpapasan dengan mereka di tangga yang sempit membuat saya tidak punya cukup ruang untuk menghindar. Mereka langsung tertawa dan, “Ahaa, Ashaan, come… come…come!” Avinash menjaga agar saya tidak kabur, sementara Varun membuka bungkus pertama, bubuk berwarna ungu, dan mengambil sejumput untuk diusap ke pipi saya. Selanjutnya ia merogoh kantong plastik, mengeluarkan yang merah, hijau, kuning, dan semua yang ada di dalam situ. Mereka berdua bergantian memoles wajah saya sambil tertawa. Mahesh, koki kami segera bergabung. Wajahnya juga langsung menjadi sasaran. “Ayo, brother, kamu boleh membalas,” kata Varun kepada saya. “Ooo, pasti, tentu saja, kalian ngga bakal lolos!”

Bubuk-bubuk yang digunakan itu secara tradisional terbuat dari bunga serta daun tanaman seperti kunyit, kuma-kuma atau safron. Namun sekarang lebih banyak terbuat dari zat kimia. Perayaan ini sendiri telah berumur lebih dari 700 tahun. Sebagai salah satu festival tertua dan terbesar di India, kebanyakan turis asing memang sengaja mengatur waktu untuk berlibur pada hari yang bertepatan dengan perayaan Holi. Kota-kota di utara India biasanya menjadi tujuan mereka, sebab di sana, konon acaranya jauh lebih meriah. Kendati, setiap kota mempunyai caranya sendiri dalam merayakan Holi. Dua yang terkenal adalah Mathura dan Vrindavan yang penuh bunga. Saya kebetulan sedang berada di sisi selatan ketika Holi dirayakan di seantero India, di sebuah kota kecil bernama Mukhed.

BACA:  Tiga Mahasiswa Asal Indonesia Melaju ke Babak Final Kompetisi Global Airbus

Setelah adu coret di tangga, saya memutuskan untuk menunda kembali ke Hotel. Saya menemani mereka sarapan, mengepung meja makan sambil bekerja sama memenuhi udara dengan aroma kegembiraan. Saya seperti merayakan Lebaran dalam ‘bungkus’ yang lain. Sebab, perasaan ini tidak asing. Holi adalah perayaan menyambut musim semi, itulah kenapa kemudian penanda utama festival ini adalah warna. Merayakan tumbuhnya kembali daun, bunga, dan tanaman yang penuh warna. Mereka yang merayakannya meyakini bahwa, segala kebencian yang menyelubungi hati harus segera enyah. Seperti musim yang malih rupa. Maka setelah adegan saling lempar, pasti dilanjutkan dengan berpelukan. Termasuk kedua teman tadi, mereka memeluk saya dengan bajunya yang basah sambil berucap, “Happy Holi!” Perasaan saya autoswitch ke mode ‘haru.’

 

Image: Ahsan Azhar

 

Ketika sedang larut dalam kegembiraan, saya mengingat Jakarta, tempat di mana sekarang-sekarang ini seluruh kebencian seperti Chelsea di puncak klasemen Liga, susah untuk digeser. Saya melihat sebuah masyarakat yang dilanda sakit jiwa taraf akut, yang memerlukan Holi sebagai alternatif penyembuhan. Idul Fitri masih jauh, sementara hati sudah sangat tercemar. Saya membatin, bagaimana kalau sehari setelah tanggal pencoblosan babak kedua, kita merayakan Holi, untuk memadamkan api pilkada yang panasnya naudzubillah itu. Berpelukan satu sama lain, tertawa bersama, berhenti untuk saling menyebar kebohongan dan kebencian. Dan, ini yang tak kalah penting, berhenti untuk pilih-pilih jenazah. Tidak perlu datang melancong ke India, sebab Holi kini sama seperti cita-cita luhur Agnes Monica, jauh-jauh hari sudah gow internesyienel. Muenchen adalah salah satu kota yang merayakannya. Di Indonesia juga ada, di Medan tepatnya.

BACA:  Pertanyaan Jahat untuk Dian Sastro

 

Image: holifestival.org

 

Sebagaimana peristiwa budaya atau keagamaan yang lain, Festival Holi pun memiliki makna hakikinya sendiri. Dalam sejarah, perayaan ini untuk mengenang lolosnya Prahlada ketika ingin dibakar oleh Holika. Namun, Prahlada yang merupakan penganut setia Dewa Wisnu bisa selamat tanpa luka, dan Holida tewas dan terbakar. Dalam taraf perenungan, orang-orang Hindu memperingati Holi sebagai perayaan kemenangan atas kejahatan melawan keburukan.

 

Image: holifestival.org

 

Silakan melekatkannya dengan sistem nilai yang Anda anut, sebab bagaimanapun, kebenaran dan kebaikan itu adalah nilai-nilai yang sudah default terpatri dalam jiwa manusia. Jangan terlalu jauh melekatkannya keluar menuju kemenangan kelompok yang satu atas kelompok yang lain. Jangan. Tapi, tengok saja siapa pemenang pertarungan itu: jauh ke dalam hatimu yang paling relung, yang paling renung.

Namaste. ?

Ahsan Azhar

Leave a Reply

Silakan dibaca juga