Membaca Kartini

Kartini adalah monumen sejarah yang dirawat secara bersama dan berkelanjutan oleh rangkaian penguasa negeri ini. Sosok perempuan asal Rembang ini dipuja-puji tidak saja oleh penjajah asing, tapi juga pemerintah pasca-penjajahan. Sejak sosoknya dipopulerkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan politik etisnya, pemerintah Jepang turut pula mengharumkan namanya dengan memulai tradisi perayaan hari lahirnya sebagai hari Kartini sejak tahun 1944.  Upaya ini semakin dilestarikan oleh pemerintah Indonesia di masa Soekarno, Orde Baru hingga Orde Reformasi kini.

Namanya makin harum dengan lagu, buku dan dihelatnya perayaan untuk mengingat “perjuangan” putri kelahiran Jepara ini. Melalui hari Kartini, bangsa negeri ini mengenal tradisi anak-anak putri yang berkebaya dan berkonde – sesuai dengan busana Kartini yang dikenal luas dalam semua potretnya, dan mengheningkan cipta untuk sang pejuang emansipasi. Meski telah ditahbiskan sebagai pahlawan, namun kontribusi nyatanya ke perjuangan kemerdekaan Indonesia masih dipertanyakan hingga kini. Ada banyak pejuang perempuan Indonesia yang se-zaman bahkan lebih dahulu dan lebih tangguh dari Kartini namun terkesan senyap di lintas sejarah Indonesia dan tak diistimewakan seperti laiknya Kartini.

Mengapa Kartini?

Kartini muncul di saat yang tepat, ketika pemerintah penjajah Belanda sedang menggiatkan politik etis. Ideologi politik yang juga dikenal sebagai politik Balas Budi ini dicetuskan pertama kali oleh Van Deventer (w. 1915) dan lantas dikukuhkan oleh Ratu Belanda Wilhelmina yang naik tahta tahun 1901, dengan maksud untuk lebih memerhatikan kondisi penduduk negeri jajahan termasuk Hindia Belanda, cikal bakal Indonesia saat itu.

JH Abendanon yang menjabat Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan pada pemerintahan Hindia Belanda periode 1900-1905 menemukan sosok perempuan Rembang, RA Kartini yang layak dimonumenkan sebagai citra keberhasilan Politik Etis yang dianut pemerintahannya. Oleh JH Abendanon, surat-surat Kartini yang dikirimkan ke beberapa sahabat penanya di Eropa dikumpulkan dan diterbitkan di Belanda pada tahun 1911 dengan tajuk “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kalangan akademisi Eropa kemudian sumringah dan berdecak kagum atas keberhasilan Belanda mendidik perempuan di tanah jajahannya. Buku ini kemudian menjadi monumen abadi bagi buah pikiran Kartini yang dianggap memperjuangkan semangat kesetaraan kaum perempuan di masanya.

Sayangnya, surat-surat asli Kartini tak pernah ditemukan. Verifikasi kebenaran buah pikiran RA Kartini ini menghadang tembok gelap bersama sosok Abendanon – yang semasa menjadi pejabat Hindia Belanda menjalin keakraban dengan Snouck Hurgronje, orientalis Belanda yang merancang penaklukan Aceh 1902-1904. Tak ada satupun ahli waris Abendanon yang berhasil menemukan transkrip surat aslinya. Buku yang memuat “tulisan” Kartini hanyalah merupakan transliterasi yang dilakukan oleh Abendanon sendiri. RA Kartini pun tak bisa memvalidasi karena wafat sebelum buku itu terbit. Sejarah Indonesia kehilangan bukti otentik untuk satu titik sejarah yang teramat penting.

BACA:  Perpustakaan Paling Hening di Dunia

Kartini yang membuka kursus keterampilan bagi perempuan ningrat Rembang tahun 1904, juga tak bisa dianggap sebagai pelopor pendidikan perempuan. Ada sosok lain yang jauh lebih mula dengan cakupan yang lebih luas. Dewi Sartika, tokoh perempuan asal Bandung, merintis sekolah perempuan bernama Sakola Istri lebih dulu di Bandung pada 1902. Juga ada sosok ratu cendekia asal Tanete, We Tenri Olle, yang mendirikan sekolah di Tanete tahun 1890an. Sekolah yang dihelat ratu Bugis yang memerintah selama 55-tahun ini bahkan memiliki cakupan lebih luas karena mendidik anak-anak lelaki dan perempuan dari berbagai kalangan, bangsawan ataupun jelata tanpa pembedaan. Sedang Kartini, sekolah yang dibentuknya hanya untuk kalangan perempuan ningrat di kraton adipati Rembang.

Bagaimana sikap Kartini terhadap penjajahan? Hal ini juga menjadi sebuah anakronisme dalam pendefinisian pahlawan. Pahlawan kemerdekaan mestinya adalah sosok yang berjuang melawan pihak yang mengangkangi kedaulatan negeri, namun hal ini tak ditemukan pada sosok Kartini. Alih-alih menunjukkan permusuhannya kepada Belanda, Kartini bahkan menjalin keakraban dengan tokoh-tokoh Belanda yang turut melestarikan cengkeraman penjajahan atas negerinya. Beberapa sejarahwan bahkan menganggap bahwa Kartini lebih Belanda ketimbang sebagai putri Jawa pribumi. Buku-buku yang dilahap Kartini semasa muda, dan perkawanannya yang erat dengan teman-temannya di Eropa mengindikasikan hal ini. Padahal, banyak juga perempuan Indonesia sezamannya yang bisa menjadi rujukan bagi RA Kartini sekira mau.

Juga menjadi kenyataan yang menarik bahwa Kartini, ternyata berkenan menjadi istri keempat Bupati Rembang Adipati Djojo Adhiningrat, yang belakangan memfasilitasi kegiatan Kartini menggelar kursus keterampilan. Para pendukung emansipasi dan feminisme mesti menemukan bahasan menarik antara dua hal yang berbeda kutub ini; kesetaraan hak perempuan dan ihwal penerimaan atas praktek poligami.

Membaca Kartini “Lain”

Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia disematkan pada RA Kartini melalui Keppres Nomor 108 Tahun 1964 oleh pemerintahan Soekarno. Perayaan kelahirannya sebagai Hari Kartini juga dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia secara seragam dan menyeluruh ke seantero republik.

Kartini memang sangat populer di Jawa saat itu, namun tidak demikian di negeri lain di nusantara. Di masing-masing daerah, mereka menyimpan kenangan tersendiri tentang sosok pejuang perempuan yang layak dikagumi. Kronik sejarah negeri permai ini sudah lama dihiasi tangan lembut-tegas para pejuang perempuannya. Dengan meminjam parameter pahlawan yang disepakati bersama; anti-penjajahan berikut perjuangan melawan penjajah, serta warisan karya dan buah pikiran bermanfaat yang berpengaruh hingga ke generasi kini, Kartini bukanlah sosok yang paling layak dikedepankan sebagai pahlawan.

BACA:  Tentang Purna Tugas

Sebelum masa Kartini, Aceh sudah memiliki pejuang perempuan tangguh bernama Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, dan Cut Meutia. Maluku juga punya Maria Kristina Tiahahu, sedang Minangkabau punya Siti Manggopoh. Deretan nama itu hanya beberapa dari sekian banyak sosok pejuang perempuan di daerah. Kesemuanya adalah pejuang perempuan yang tak hanya bertempur bersama alam pikirnya, tapi juga ikut mengorbankan harta dan bahkan raganya. Mereka punya dimensi hidup sebagai pejuang yang lengkap.

Arung Pancana Toa Ratna Kencana Colliq Pujie

Masyarakat Bugis sendiri punya seorang perempuan pejuang yang layak dikedepankan: Arung Pancana Toa Ratna Kencana Colliq Pujie. Sosok bangsawan Tanete berdarah melayu ini sesungguhnya punya matra perjuangan yang lebih lengkap; menentang Belanda secara diametrikal dengan menjadi pendukung utama pemberontakan rakyat Tanete tahun 1855, dan juga menjadi sastrawan yang produktif menulis dan menyalin jejak budaya Bugis terutama dalam penulisan ulang sureq La Galigo dalam 12 jilid yang memuat hingga 300,000 bait dan dianggap sebagai mahakarya sastra terpanjang di dunia.

Epos La Galigo yang kini bisa dinikmati oleh generasi kita, merupakan buah jerih payah Colliq Pujie dalam mengumpulkan dan menuliskan ulang cerita rakyat Bugis yang sakral ini. Tak mudah meng-akses sureq La Galigo yang oleh sebahagian masyarakat Bugis masih dianggap sebagai tulisan suci yang tak sembarang orang mampu membacanya apalagi memahami maksudnya. Tapi Colliq Pujie tak hanya mampu membumikan makna dari tetulisan sakral itu, tapi juga menuliskan dan mengumpulkan dari ribuan manuskrip yang terserak di istana-istana raja Bugis maupun yang terekam dalam ingatan para tetua.

Selain menulis ulang La Galigo, Colliq Pujie juga menghasilkan karya lain yang masih bisa dibaca hingga kini, semisal Lontarakna Tanete, Syair Sarea Baweng, Sureq Panrita Sulessanae dan menyalin ulang La Toa, naskah kuno berisi petuah bijaksana raja Bone tentang bagaimana menjalankan pemerintahan yang adil. Colliq Pujie juga dengan cerdas menciptakan aksara bilang-bilang, yang merupakan modifikasi dari aksara lontara dan arab. Aksara bilang-bilang ini dijadikan semacam media komunikasi rahasia antara dirinya dengan para pengikutnya, terutama dalam masa persengketaan dengan Belanda dan seteru politiknya.

Akhir hidup Colliq Pujie juga tak sementereng Kartini. Ia wafat dalam keadaan nyaris terasing di Lamuru tahun 1876. Sebelum mangkat, ia menjadi tahanan politik Belanda selama 10 tahun di Makassar. Meski selama menjadi tahanan itu dimanfaatkannya untuk menulis karya-karya sastra Bugis, dengan membantu BF Matthes, seorang penerjemah berkebangsaan Belanda yang kelak memperkenalkan La Galigo ke seantero dunia di tahun 1852. Colliq Pujie mangkat dengan warisan karya sastra yang mendunia, namun namanya senyap di lintas sejarah Indonesia. Beberapa budayawan Sulawesi Selatan pernah mengajukan namanya menjadi pahlawan nasional pada tahun 2004 namun tertolak karena dianggap pernah menjalin kerja sama dengan pihak Belanda (BF Matthes), sebuah penilaian yang prematur dan tidak proporsional adanya.

BACA:  Ketika Rangga Kehilangan Puisi

Emansipasi, Jawa-Sentris dan Penyeragaman

Suku Bugis Makassar dan suku lainnya di nusantara sesungguhnya tak mengenal perjuangan emansipasi atau hak kesetaraan perempuan, karena sejak awal kaum perempuannya dapat berkiprah selaiknya kaum lelaki tanpa ada pembedaan. Bahkan di beberapa kronik, perempuan Bugis, Aceh, Sumatera pernah didapuk memimpin kerajaan-kerajaan besar, dan mengatasi dominasi kaum lelaki zamannya.

Indonesia memang sedari dulu menggemari penyeragaman, termasuk seragam dalam berbusana, sedemikian juga seragam dalam berpikir. Tidak ada yang salah dalam keseragaman, kecuali bahwa potensi untuk berbeda atau setidaknya berimprovisasi menjadi minimal. Orang menjadi malas berpikir untuk melihat dari sisi yang lain, karena sudah terkondisikan dalam situasi yang sedari dulu demikian. Keseragaman kadang identik dengan kedisiplinan, keteraturan dan kepatuhan. Ketidak-seragaman identik dengan pemberontakan, dan perlawanan.

Sudah saatnya pemerintah  Indonesia mengakomodir pucuk-pucuk budaya lokal, termasuk melakukan koreksi atas klaim-klaim yang berbau jawa sentris seperti pengkultusan sosok Kartini ini. Masih banyak sosok lain yang lebih tangguh dan mewakili keluhuran budaya dan perjuangan bangsa. Terkait sosok Colliq Pujie, bahkan peneliti Inggris Dr Ian Caldwell memberikan pengakuan “terlalu kecil sekira tokoh besar seperti Colliq Pujie dikurung dalam tempurung Indonesia. Ia adalah milik dunia, yang perannya tak bisa dilepaskan dari karya La Galigo, kanon sastra dunia yang menjadi inspirasi dalam merekonstruksi sejarah dan kebudayaan Indonesia”

 

Muhammad Ruslailang
Latest posts by Muhammad Ruslailang (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga