Ketika Presiden Joko Widodo dan menteri kesehatan kala itu, dr. Terawan, mengumumkan bahwa Covid-19 resmi menjangkiti Indonesia pada Maret 2020, dua grup WA keluarga besar saya (baik dari pihak bapak maupun ibu) sontak mulai sering membahas Corona.
Saya jelas dihinggapi perasaan khawatir khusus. Saya bukan dokter, tapi dari kedua belah pihak orangtua saya, hampir semua kerabat dekat kami berprofesi sebagai dokter. Ada dokter umum, spesialis penyakit dalam, spesialis THT, spesialis kebidanan dan kandungan, spesialis mata, spesialis kulit dan kelamin, patologi klinis, dan lain sebagainya. Sebagai dokter, munculnya virus baru ini menjadikan rumah sakit dan klinik tempat mereka bekerja berubah menjadi medan perang tak terelakkan.
Salah satu sepupu saya, RA Adaninggar, dokter spesialis penyakit dalam di Surabaya, pada Juli 2020 positif Covid. Alhamdulillah, nyawanya masih tertolong. Setelah sembuh, ia makin giat mengedukasi masyarakat tentang Covid-19. Baik lewat wawancara di media massa atau lewat media sosial Instagram-nya @drningz. Ada yang merespons positif, namun ada juga yang merespon negatif.
Terlepas dari sudah begitu banyaknya korban virus ini, dan penuhnya pemakaman, masih saja ada orang yang menganggap ini virus biasa saja. Hujatan dan cacian netizen di medsos ia hadapi dengan tenang. Ia tetap berpegang teguh bahwa apa yang ia lakukan semata untuk membantu orang lain agar lebih paham tentang virus ini.
Di masa awal pandemi, kekhawatiran akan keselamatan kerabat-kerabat saya yang bekerja setiap hari mempertaruhkan nyawa di kala pandemi ini juga diperparah dengan ketidaksiapan alat pelindung diri (APD) di rumah sakit masing-masing tempat mereka bekerja.
Kerabat saya dan rekan-rekan dokter lainnya harus putar otak sendiri bagaimana melindungi diri mereka ketika bekerja menyelamatkan nyawa orang dengan tidak melupakan keselamatan nyawa sendiri.
Salah satu doa saya yang paling kencang saya panjatkan untuk kakak kandung saya, Dyah Ayu Kartika Dewanti. Mbakyu saya ini adalah dokter spesialis THT yang juga menjadi petugas uji swab bagi pasien dan karyawan rumah sakit tempat dia bekerja di Yogyakarta. Dengan tanggung jawab itu, risikonya terpapar virus Covid-19 sangat tinggi.
Ada masanya dulu kami rasanya tak berhenti berduka. Di grup Whatsapp (WA) keluarga besar saya, sudah tidak terhitung banyaknya berita lelayu yang berseliweran. Setiap hari, ketika membuka pesan WA, saya harus mempersiapkan diri untuk bersedih. Satu persatu rekan-rekan sejawat kerabat saya gugur melawan covid-19. Data dari Koalisi Warga Lapor Covid-19, sampai 9 Juli saja, sudah 1141 tenaga kesehatan yang meninggal dunia selama 16 bulan pandemi.
Dan bagi keluarga besar kami sendiri, kesedihan itu makin memuncak pada akhir bulan Juli lalu. Tepat tanggal 30 Juli 2021, pukul 21.25 WIB di RS Moewardi Surakarta, saya harus merelakan kepergian Pakdhe (paman, kakak bapak saya), Prof. Dr. dr. KRMT. Tedjo Danudjo Oepomo, SpOG-KFER atau yang akrab saya panggil om Danu. Beliau terpapar covid-19 dan sempat dirawat beberapa hari sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
Kepergian Om Danu bukan hanya kesedihan bagi keluarga besar kami, namun juga bagi murid dan pasien-pasien yang pernah beliau tolong. Menurut cerita bapak saya, Om saya ini termasuk dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang pasiennya berdatangan dari luar negeri. Beliau membantu banyak pasangan suami istri yang mengalami kesulitan hamil sehingga berhasil mempunyai anak.
Kini pandemi memang belum berakhir.
Namun paling tidak, saya mengucap syukur keluarga saya yang berprofesi sebagai dokter sudah mendapat suntikan vaksin tiga kali. Saya terutama lega ketika melihat foto kedua orang tua saya yang sudah berusia kepala tujuh mendapat booster vaksin tersebut. Karena paling tidak saya tahu, satu lagi usaha keluarga saya untuk melawan virus ini sudah dilaksanakan.
Karena begitulah manusia. Hanya bisa berusaha dan berdoa. Hasil akhir tetap di tangan Yang Maha Kuasa.
Semoga kita semua bisa melewati pandemi ini dengan tidak kurang suatu apa pun.
Latest posts by Nurina Malinda (see all)