Meluruskan #Sharingeconomy yang Tidak Berbagi

Tulisan ini hanya sekedar meluruskan makna #sharingeconomy yang melenceng dari makna asalnya. Saya menggunakan taggar #sharingeconomy utk menggambarkan makna sharing economy yang kurang tepat yang terlanjur dipahami saat ini. Seperti Teh dan Kopi punya definisi sendiri walaupun sama sama minuman, tidak bisa teh kita katakan kopi dan sebaliknya…

Secara teori, sharing economy adalah tentang bagaimana anggota masyarakat yang biasanya sudah saling mengenal—atau diperkenalkan oleh teknologi informasi—berbagi sumberdaya tanpa motif keuntungan, walau transaksi finansial tak haram sepenuhnya.

Lebih jauh dari itu, penulis teknologi Tom Slee dalam buku What’s Yours is Mine: Against Sharing Economy (2016) mengingatkan kita semua terhadap penyelewengan makna “sharing economy” yang kini tampak diterima tanpa kritisisme sama sekali. Siapa yang tak senang dengan semakin murah dan mudahnya kita mengakses berbagai jenis jasa lewat perantaraan teknologi informasi? Tapi, murah tidak selalu baik bagi keberlanjutan.

Pernyataan terpenting tentang #sharingeconomy yang sekarang adalah: tidak adanya makna “sharing” dalam #sharingeconomy. Istilah itu menyesatkan. Istilah “sharing economy” yang sesungguhnya secara teori mengandung makna “kerelaan berbagi”. Sementara #sharingeconomy adalah aktivitas berbayar atau transaksional. Orang bisa berkilah bahwa dalam #sharingeconomy orang berbagi data atau alat produksi. Tapi ini juga ilusi. Ambillah Gojek, Uber atau Grab. Apa yang mereka share, di antara driver, antar konsumen, atau driver-konsumen? Coba telisik lagi: apa yang kita lakukan ketika engage dengan aplikasi #sharingeconomy macam Gojek? Kita cuma akses aplikasi, cari pengemudi yang tersedia, lalu transaksi (ada servis, ada bayaran)? Dimana sharing-nya?.

Kalau kita berani keluar dari hegemoni iklan #sharingeconomy yang sedang heboh, kita akan lihat kalau metode ini hanya ekstensi dari metode bisnis biasa. Saya akan perlihatkan bahwa #sharingeconomy adalah metode neoliberalisme bukan berbagi.

1. Pernahkah kita berpikir : kenapa ada ojek online dengan tarif Rp 10.000,- kemana-mana?. Sebagian jawabannya ada pada STRUKTUR BIAYA dari perusahaan aplikasi. Pertama, mereka tidak keluar biaya beli mesin, membebankan biaya pembelian dan pemeliharaan mesin pada pekerjanya. Ini satu kunci tekan biaya, dan pemerasan pertama. Seandainya kita menjadi pengusaha ojek online, mampukah kita memberi tarif Rp 10.000 utk semua jurusan?

BACA:  Tentang Wanita dan Lekatnya Stereotip “Makhluk Sejuta Kode”

Coba kita bayangkan usaha konvensional, kalau kita nyumbang untuk beli mesin pabrik, kita dapat apa seharusnya? Dapat saham kan?. Tapi #sharingeconomy bisa paksa pekerja keluar biaya utk mesin, tanpa dapat saham, bahkan tanpa suara dalam putusan bisnis perusahaan. Tentu usaha transportasi konvensional tidak akan bisa bersaing  #sharingeconomy karena harus beli dan rawat kendaraan plus memberi benefit pekerjanya. Dan, kalo bicara benefit buat pekerja, di sini adanya pemerasan kedua oleh #sharingeconomy dalam bentuk informalisasi ketenagakerjaan. Usaha konvensional terikat UU, harus sediakan UMP/K dan tunjangan-tunjangan. Sementara #sharingeconomy melipir dengan alasan: itu partner/mitra bukan pekerja. Dan dengan menyebut pekerja sebagai “partner”, #sharingeconomy tidak lagi keluar dana untuk K3, peningkatan mutu, THR, asuransi, dan lain-lain. Denngan begitu, #sharingeconomy adalah bentuk ekstrem dari informalisasi ketenagakerjaan.

Pekerja #sharingeconomy tidak sadar kalo mereka sakit, kudu keluar biaya sendiri, tidak sadar kalo biaya perawatan kendaraan yang dipakai terus-terusan itu mahalnya minta amplop, tidak ada THR apalagi asuransi. Dan itu dari kantong sendiri. Yang terpenting: pekerja #sharingeconomy tidak sadar kalo penghasilan besar mereka harus dibayar dengan jam kerja yang ekstra panjang. #sharingeconomy bisa kasih tarif rendah karena mesin dibayarin pekerja, tidak perlu memberi tunjangan-tunjangan, dan jam kerja ekstra panjang.

Di sisi lain #sharingeconomy terima suntikan modal besar banget. Gojek, misalnya, sudah dapat IDR 1,4 trilyun dari berbagai investor, termasuk Northstar. Di belakang Uber, contoh lain, ada Google, Amazon, Goldman-Sach. Multi million dollar investment ini!

Dipakai buat apa pasokan modal yang begitu besar oleh #sharingeconomy? Jawabnya, buat modal BLEEDING! Perusahaan siap rugi asal bisa kasih tarif murah. Uber, misalnya, merugi USD 1,7 miliar di tahun 2015. Tapi mereka tetap optimistis di masa depan bisa raih profit? Bagaimana caranya? Dengan model bisnis yang merugi begitu besar, bagaimana Uber bisa tetap optimis untung? BISA, kalau pesaingnya sudah hancur keok.

Tingkat harga yang ditawarkan #sharingeconomy seperti Gojek dan Uber jauh di bawah harga keekonomisan. Biasanya pengusaha ngotot kudu di atas. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal kenapa mereka melakukan bleeding adalah: #sharingeconomy sedang berupaya hancurkan pesaing dengan memainkan tarif sangat murah, agar bisa melakukan monopoli moda produksi. Setelah pegang monopoli, #sharingeconomy akan memiliki kuasa atas konsumen… dan bisa tetapkan harga seenak perut.

BACA:  Monster Spageti Terbang dan Penghayat Kepercayaan

Coba saja lihat Gojek, usaha #sharingeconomy lokal yang modalnya “tidak berapa besar” itu. Tarifnya sudah naik kan? Kenapa? Karena tidak kuat bleeding! Dan di beberapa negara, Uber juga sudah menaikkan tarif lewat skema “tariff surge“… tarif jam sibuk tinggi. #sharingeconomy

Jadi konsep #sharingeconomy adalah ilusi, kenapa? Karena business modelnya bersandar pada pengalihan beban biaya, informalisasi tenaga kerja dan kemampuan bleeding.

Kalo #sharingeconomy dipaksa keluar uang untuk perawatan alat, peningkatan kualitas driver, dll, ia akan runtuh. Kalo #sharingeconomy dipaksa kasih tunjangan kesehatan dan K3, asuransi dan THR buat pekerjanya, ia akan runtuh. Kalo #sharingeconomy tidak bisa dengan cepat rebut monopoli pasar, bleeding-nya akan parah, ia akan runtuh. Jadi, #sharingeconomy hanya ilusi. Tidak ada sharing di dalamnya. Yang ada adalah pemerasan pekerja tingkat dewa

2. Ilusi lain #sharingeconomy adalah tampilan kosmetik bahwa ia adalah “progress”, “kemajuan teknologi tak bisa ditolak”. Ayo dipikir baik-baik. Kemajuan teknologi apa yang dihasilkan, atau dipengaruhi oleh adanya #sharingeconomy? Ada? Tidak Ada! Transportasi: apa ada alat transportasi yang lebih canggih bisa dihasilkan oleh #sharingeconomy? Apa AirBnB menghasilkan layanan yang kian canggih dan nyaman? Mana ada? Malah turun kualitasnya dibanding hotel konvensional. Business model #sharingeconomy tidak punya insentif untuk pengembangan teknologi, justru karena biaya alat ditangung pekerja. Inovasi teknologi seperti mobil yang bisa terbang, atau kereta super cepat, hanya bisa dihasilkan industri konvensional, bukan #sharingeconomy. Sebaliknya, investasi untuk teknologi sebesar itu hanya bisa di-recoup kalo bisa dipasarkan massal. Tidak ada dalam business model #sharingeconomy. Paling-paling, #sharingeconomy cuma bikin aplikasi, yang juga hanya andalkan big data dari bisnis konvensional macam Google.

BACA:  Raja dan Pastor

Pertanyaan: “Kalau cost ditanggung driver ya wajarlah. Ada profit yang dinikmati juga kok. Fair, dan Uber cs dapat dari “haknya”….

Jawab: “Haknya” Uber sebagai apa? Sebagai calo…

Jadi, memang ada inovasi dlm #sharingeconomy, tapi bukan invention (penemuan). Hanya kreativitas dengan yang sudah ada, bukan progress.

Pertanyaan: ”Bikin aplikasi dan sistem kan juga mikir, ya harus dihargailah”.

Jawab: Ya tetap dihargai. Tapi, sebagaimana tengkulak besar potong dari keringat tani, begitu pula Uber cs dari keringat driver. #sharingeconomy tidaklah lebih dari kemasan baru untuk pertengkulakan. Berteknologi, tapi tetep aja calo.

Sumbangan terpenting (juga satu-satunya) dari #sharingeconomy adalah cara mempertemukan supply dan demand. Tapi, apa tidak ada yang bagus dari #sharingeconomy? Apa kudu dihancurkan? Tidak, bagaimana pun masyarakat sudah menikmatinya. Uber cs dan Gojek tetap bisa beroperasi seperti biasa selama tidak melanggar peraturan. Hanya bila kita dasarkan pada konsep Sharing Economy yang sesungguhnya maka Uber, Gojek Cs bukanlah pelaku sharing economy seperti yang selama ini dipahami.

Dengan aplikasi berbasis real-time data, konsumen dapat dipertemukan dengan penyedia komoditi/jasa tanpa perlu perantara. Tugas pemerintah ini.

Sektor pertanian, misal, akan sangat diuntungkan kalo petani bisa langsung ketemu konsumen lewat aplikasi online. Tugas pemerintah ini.

Tinggal apa pemerintah mau buatkan jembatan supply-demand ini. Bukannya menyerahkan pada #sharingeconomy.

Ditya Sibarani
Latest posts by Ditya Sibarani (see all)

2 Comments

  • Anda betul sekali, Ditya. Pernah membaca artikel yang senda dengan ini ketika di Berkeley tahun lalu. Dan tentu saja setelah mendapat investasi yang maha akbar dari Arab Saudi, Uber siap membasmi para pesaingnya, termasuk GOJEK tentunya. Ya alam, jauhkanlah kami dari malaikat yang bersayap setan:)

  • Luar biasa.. hanya dengan menggeser sedikit sudut pandang, Anda dapat mengubah makna sharing menjadi pemerasan, eksploitasi, informalisasi, dll.. Dengan sangat menyesal saya sampaikan bahwa saya masih melihat itu semua sebagai wujud berbagi. Terima kasih

Leave a Reply

Silakan dibaca juga