Martin Aleida dan Para Korban Ketidakadilan

MATI BAIK-BAIK, KAWAN

Kumpulan Cerita Pendek oleh Martin Aleida

Mati Baik-Baik, Kawan adalah tempat bertemunya para korban ketidakadilan. Bukan sekedar untuk menuntut keadilan jika memang masih ada yang tersisa, tetapi juga untuk menghidupkan kembali kenangan kolektif di sebuah bangsa yang sedang mengalami amnesia sukarela terhadap sejarah yang berdarah darah.

Berapa banyak buku sejarah yang menyebutkan bahwa pergolakan politik di tahun 1965 di Indonesia memakan ratusan ribu hingga jutaan korban. Tapi korban yang mana? Apa yang terjadi sebetulnya dengan mereka? Siapa yang bertanggung jawab? Dan sejumlah pertanyaan lainnya hadir di benak mereka yang tidak terkena imbas langsung dari tragedy tersebut. Namun, semua pertanyaan itu dikikis oleh propaganda politik yang berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya tanpa pertentangan. Versi resmi pemerintah menjadi fakta absolut, kebenaran yang tak diragukan dan tak perlu dipertanyakan lagi.

Catatan sejarah dari para sejarawan yang berusaha memahami apa yang sebetulnya terjadi pada masa itu akhirnya hanya berupa abstraksi yang dingin,  dilengkapi dengan daftar fakta di mana para aktor dan korban di dalamnya hanya dikenali sebagai bagian dari angka statistik. Catatan sejarah akhirnya hanya jadi kisah yang kering emosi. Aktor-aktor yang dianggap pahlawan dan korban-korban tak berwajah menunjukkan amnesia kolektif yang akut.

BACA:  Pertemuan dua anak

Tapi zaman sudah berubah. Terjadi pergeseran politik yang memungkinkan untuk membuka lagi kenangan lama yang tersimpan di ruang-ruang rahasia dari mereka yang pernah menjadi korban langsung maupun tidak langsung. Maka di sinilah peran sastra menjadi sangat relevan. Ketika realitas membunuh, fiksi bisa menjadi penyelamat, begitu kira-kira Seno Gumira Ajidarma pernah menulis. Seperti juga para penulis lain yang mengangkat tema Tragedi 65, Martin Aleida dalam buku kumpulan cerita pendek Mati Baik-Baik, Kawan sedang berusaha menyelamatkan sebuah periode sejarah yang nyaris dihapus oleh penguasa. Lewat karya-karyanya, Martin memberi sentuhan kemanusian sehingga korban-korban yang dulunya hanya berupa angka, akhirnya punya wajah.

Maka ia mempertemukan pembaca bukunya dengan seorang petani tak bertanah yang mendapat berkah sebidang tanah dan harus menahan malu ketika tanah itu dirampas kembali (Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh). Atau seorang ibu yang menggunakan segala cara agar punya KTP “normal” (Ode Untuk Selembar KTP), dan seorang sahabat yang membawa pulang abu sahabatnya yang baru saja meninggal untuk dibuang ke sebuah sungai impian ( Melarung Bro di Nantalu), atau seorang mantan tahanan politik yang menawarkan jasa batu asah (Batu Asah dari Benua Australia). Martin juga memaparkan nasib seorang pemuda yang hendak menjemput sang kekasih di desa asalnya (Malam Kelabu). Seorang mantan aktor yang berusaha membuka masa lalunya di depan sang istri yang sekarat (Leontin Dewangga). Seorang ibu tua yang akhirnya harus menyerah pada jaman yang bukan lagi miliknya (Bertungkus Lumus).

BACA:  Mengapa Hanya 24 Judul Film Indonesia Yang Ditonton Jutaan Orang?

Tapi Martin tidak jadi tutup mata memihak para korban langsung tersebut. Ia juga berusaha adil memetakan “korban”. Martin sadar bahwa “korban” tidak hanya sebutan bagi mereka yang tertindas, tapi juga kadang dari golongan mereka yang menindas. Dalam cerita pendeknya, Tanpa Pelayat dan Mawar Duka, Martin mempertemukan pembacanya dengan seorang penjilat, yang dulu, atas nama hukum yang berlaku saat itu, bertugas merampas tanah dan membagi-baginya kepada mereka yang dianggap berhak oleh aturan politik pada masa itu. Atau ia juga bercerita tentang anak seorang pemilik tanah yang tanahnya pernah dirampas secara tak adil oleh pamannya sendiri (Dendang Perempuan Pendendam).

Di satu sisi, buku ini berusaha memberi pemahaman bahwa semua orang yang bertemu dalam buku ini punya satu kesamaaan, yaitu korban pergolakan dan perebutan kekuasan politik. Di sisi lain, lewat karyanya, Martin berusaha memetakan sedikit demi sedikit kisah-kisah yang bisa memberi andil terhadap pencatatan sejarah Indonesia yang hingga saat ini masih compang-camping. Dalam setiap cerita pendek yang ditulis Martin Aleida dalam buku ini, terjadi proses transmisi sejarah lengkap dengan segala nuansa, detail, sentimen, emosi, perasaan yang mewarnai setiap peristiwa, hal-hal yang tidak mungkin kita dapatkan dalam teks-teks akademis atau buku-buku sejarah resmi lainnya.

BACA:  Anak, Bahasa Asing, dan Kecemasan-kecemasan Itu...
Asmayani Kusrini

Leave a Reply

Silakan dibaca juga