Banyak yang mengira kuliah di luar negeri itu asik: punya teman bule, bisa jalan-jalan, dan balik ke Indonesia bisa ‘kibas rambut’ alias bangga. Kalau hanya menilai dari Facebook atau Instagram para mahasiswa yang kuliah di Eropa, jelaslah yang terbayang yang enaknya saja. Padahal di balik itu, ada wajah lusuh akibat begadang di perpustakaan, gumaman saat teman sekelompok tidak kooperatif, bahkan tangisan saat dapat nilai jelek. Jika ekspresi atas tiap kesusahan kami unggah, takutnya malah menciutkan niat teman-teman untuk bersekolah ke luar negeri.
Tapi untuk satu hal ini, saya rela buka-bukaan!
Terbiasa ‘disuapi’ oleh dosen saat S1, terbiasa ‘Sistem Kebut Semalam’ mengerjakan tugas atau ujian, tapi tetap langganan mendapat nilai A, membuat saya menjadi orang yang sangat amat optimistis. Tidak ada yang salah dengan keoptimisan, tapi segala sesuatu yang berlebihan tetaplah tidak baik. Saya pikir selama saya selalu hadir perkuliahan, menyimak dosen dengan seksama, aktif dalam kelas, dan memilih topik tugas yang menarik, nilai distinction (70 ke atas) sudah di tangan. Saya tidak terlalu hirau dengan opini teman-teman alumni yang mengatakan bahwa ‘pass (50-60) syukur, bisa merit (60-70) senang!’. Saya punya prinsip ‘harus distinction!’.
Saat perkuliahan dimulai, saya merasakan langsung perbedaan sistem perkuliahan di Inggris dan Indonesia. Sebelum perkuliahan, mahasiswa diwajibkan ‘melahap’ daftar jurnal yang diberitahukan dosen via platform akademik online kampus. Jangan coba-coba ‘mangkir’ kalau tidak mau ‘mati kutu’ di kelas. Jumlah mahasiswa yang sedikit di kelas, membuat kami leluasa bertanya apa pun, bahkan menyela saat dosen tengah menjelaskan materi. Pembelajaran yang interaktif seperti ini yang saya suka! Bedanya, kalau di Indonesia terkadang kehadiran dan keaktifan mahasiswa di kelas masuk sebagai indikator penilaian, di sini penilaian murni berdasarkan tugas dan ujian. Bahkan sistem penilaiannya pun ‘anonymous’. Namun, dosen tak hanya berkewajiban memberikan nilai, tapi juga feedback atas kinerja mahasiswanya. Hal ini cukup adil sehingga kita bisa tahu alasan di balik nilai kita.
Saat nilai pertama saya keluar, saya sempat shock karena saya pikir nilai itu rendah. Ternyata mindset saya masih nilai Indonesia dengan skala 100, padahal teman-teman saya menganggap nilai itu lumayan bagus. Untuk penilaian modul-modul berikutnya, mindset saya berubah menjadi ‘dapat nilai merit tidak apa-apa asalkan rata-rata kelasnya memang demikian’. Meskipun berubah demikian, sadar atau tidak, saya tetap saja berpatokan pada nilai. Hingga di semester dua, saya mendapat ujian mental akibat mendapat nilai jauh di luar ekspektasi saya. Sempat merasakan bangganya dapat distinction, senangnya dapat merit, wajar saat berhadapan dengan nilai 55 mata saya langsung berkaca-kaca.
“My classmates asked me many times assuming that I am clever; even, my lecturer wrote this below my assignment mark:
‘I marked this anonymously, and have just now seen your name, Marthella. I have to confess I am surprised – I would have expected you to get a higher mark. I’m afraid I didn’t see evidence in this essay of the skills you displayed in the further reading group. I’m sorry to have to give you a lower mark than I would have hoped…’
How come I only got that stupid number? Shame on me!” celotehku pada temanku.
Dia menimpali, “Nilai yang kau dapat tidak menentukan ilmu yang kau punya. Kau berjuang dapat beasiswa S2 ke Inggris bukan untuk mengejar nilai tapi mencari ilmu yang bisa kau bawa pulang. Nilai dirimu jauh lebih tinggi dari nilai di atas kertas, Thella.”
Perkataan yang cukup menyentil tapi sayangnya masih saja kurespon dengan keras kepala, “Iya, tapi aku malu. Bayangkan, teman-temanku banyak yang mengajakku diskusi, mereka pikir aku sepintar itu. Dosenku juga percaya pada kemampuanku. Mungkin aku hanya pandai bicara, bodoh menulis.”
Temanku sempat diam sejenak, rasanya dia mungkin kehabisan kata untuk menyadarkanku. Hingga akhirnya keheningan kami terpecah, “Aku dulu punya teman, pintar sekali, semua nilainya cemerlang. Sayangnya kehidupan sosialnya kurang baik sehingga dia hanya bisa hidup di zona nyamannya. Setelah beruntung bisa masuk ITB, dia justru depresi dan akhirnya berhenti di tengah jalan. Life is not only about mark, but how to make it balance!”
Kali ini aku tertegun. Kurenungkan kembali apa yang kudapat selama 9 bulan di Inggris. Lebih dari sekedar nilai, banyak knowledge dan soft skill yang berkembang dalam diriku. Kurenungkan pula saat nanti aku pulang ke Indonesia, apakah nilai menjadi pertimbangan utama di dunia kerja? Hematku, tidak. So, why are we much worrying about mark? Belajarlah sebaik mungkin, serap ilmu sebanyak mungkin, soal nilai, setidaknya kita tidak sampai mengulang.
- Menjahit Robekan Tenun: Bacaan Sebelum Pemilihan - 23/01/2017
- Mark vs. Value - 26/06/2016
- Refleksi Anak Rantau: Indonesia vs Inggris? - 13/05/2016