Mantra Maher

Masisondele kuy’uAllah
ngokukhulu ukuzithoba

*

Memilih moda transportasi kereta untuk menghindari macet memberikan bonus waktu bagi kebanyakan orang. Di dalam gerbong yang padat, penumpang satu sama lain tak bertegur sapa dan sibuk dengan diri masing-masing. Menemukan keadaan, waktu dan tempat seperti ini, saya biasanya habiskan—sebelum sampai ke tujuan—dengan membaca buku atau menambah referensi musik. Kata pakar, musik adalah mesin waktu, ketika kau mendengar satu buah lagu (lama), itu bisa menarikmu ke masa lalu. Nikmat, tapi, awas, jangan baper!

Mesin waktu itu bisa kau nyalakan sendiri.

Saya, entah kenapa, di dalam kereta yang menuju Jakarta Kota ini, jadi ingin sekali mendengar Maher Zain. Ada satu masa sekira enam tahun lalu ketika album Thank You Allah baru saja meledak di pasaran. Kala itu, bertepatan dengan bulan Ramadhan, saya menjalankan puasa dalam keadaan sakit dan berada jauh di rantau. Sendiri. Maka, ketika ketukan-ketukan Hold My Hand atau Always be There yang menghentak menggema di sembarang tempat, misalnya, praktis saya akan ditarik ke masa enam tahun lalu itu. Juga tentu terhadap lagu-lagu lainnya, Allahi Kiya Karo, dan atau Barakallahu Lakuma, lagu yang bagi banyak orang dijadikan sebagai wedding soundtrack, khususnya akhi-ukhti nanggung yang kerap ragu ingin menjatuhkan hukum haram terhadap musik sementara telapak kakinya naik turun memukul-mukul lantai ketika mendengar lagu enak.

Saya membuka Spotify dan mengetikkan nama Maher Zain, menyalakan mode shuffle dan menikmati apa yang tersaji. Telinga saya tidak familiar dengan lagu-lagu yang terputar, sama sekali tidak ada yang saya kenali dari dua album sebelumnya. Setelah saya perhatikan saksama, ternyata ini adalah album baru, bahkan, baru rilis beberapa hari lalu.

BACA:  Pagi Satu Syawal yang Asing

Blues, soul, funk, rhytm, pop, hip-hop dan dance adalah genre musik yang punya daya hipnotis, ketika mendengarkannya bisa membuat kepala manggut-manggut otomatis. Kombinasi dari kesemua jenis itu jika digabungkan akan melahirkan genre yang kita kenal sebagai R&B. Inilah genre yang dipilih Maher Zain dalam bermusik. Maka, ketika mendengarkan karya-karyanya, dengan mudah kita temukan unsur-unsur drum-machine sebagai backed rhytims, hasil olahan synthesizer, serta efek-efek autotune dan electronic. Maher Zain menggabungkan unsur R&B dengan unsur musik islami, demi membangun kesan yang ‘ramai’. Bahan-bahan penyusun musik diramu dengan proses computerized dipadukan dengan oud dan violin, atau dalam beberapa lagu disisipkan bebunyian tabla, bansuri dan tanpura, tiga instrumen tradisional India yang kita kenali serupa gendang, suling dan gitar.

Album baru Maher Zain bertajuk One, rilis di bawah bendera Awakening Records, label yang berasal dari Inggris yang khusus memproduksi nasyid dan musik-musik Islami. Di album ketiga ini, Maher Zain bekerja sama dengan beberapa musisi seperti Issam Kamal dari Maroko, Atif Aslam dari Pakistan, musisi kelahiran Turki Mustafa Ceceli, serta kelompok Amakhono We Sintu dari Afrika Selatan.

Sevisi dengan label rekamannya yang fokus pada karya-karya yang menginspirasi dan mengedepankan nilai-nilai, lirik-lirik dalam lagu Maher Zain begitu kuat. Sisi musikalitasnya pun tidak perlu diragukan lagi. Jika kau ingin berdansa sembari memuja-muji nama Tuhan, mendengarkan lagu-lagu Maher Zain adalah pilihan yang tepat. Dari lima belas lagu di album ini, ada dua nomor yang saya coreti stabilo, yaitu The Power dan I’m Alive. Highlight itu lebih disebabkan karena, selain liriknya yang seperti mantra, keduanya diaransemen dari perpaduan musik tradisional dan modern.

BACA:  Resep Sup Wonton ala #Bekalochan Lagi

I’m Alive dinyanyikan bersama Atif Aslam dalam nuansa musik India dengan outro irama hip-hop. Ditulis dalam bahasa Inggris dan Urdu, bait-baitnya berisi ‘pengakuan’ dari seorang hamba kepada Tuhannya.

Khana’badosh hon, Mein madhosh hon
Tere ishq mein, Mein sharaboor hon

I’m a nomad traveller, I’m lost in a trance
In Your supreme love, I’m deeply submerged

Mendengar dua lagu fusion tersebut mengingatkan saya pada project Coke Studio yang dibuat Coca Cola Company. Project ini adalah serial TV milik Middle East Broadcasting Center yang menggabungkan dua budaya berbeda, dalam hal ini kolaborasi musik-musik Timur Tengah dengan artis-artis internasional. Hasilnya, musik unik perpaduan antara Oriental Music bertemu Yugoslavian Gypsi, atau Oriental Music plus Flamenco, atau Reggae, atau Tango, Hip-hop dan R&B. Kata penggagasnya, modernitas dan tradisi bukanlah hal yang kontradiksi. Justru penggabungan keduanya mampu melahirkan entitas baru yang indah. Karya-karya dalam project ini bisa didengarkan di kanal Coke Studio di Youtube.

Review ini saya tulis dipicu oleh sebuah kekaguman terhadap bentuk aransemen baru yang ditawarkan Maher Zain dalam The Power, single pertama dan yang menjadi hits di album One. Kemahiran Maher menyusun komposisi The Power adalah hal yang pantas diacungi jempol. Bersama Moh Denebi dan Linda Gcwensa, Maher Zain mencampur African Music dan mantra-mantra Islam ke dalam satu karya lagu. Mengajak Amakhono We Sintu (AWS) berkolaborasi sebagai choir dalam lagu ini adalah pilihan jenius. Nama kelompok ini cukup masyhur di industri entertainment Afrika Selatan. AWS menggunakan media seni sebagai alat transformatif untuk memberdayakan dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi pemuda-pemuda yang kurang beruntung. Mereka sadar betapa kehidupan masa muda adalah perkara rentan, maka dari itu, pendidikan adalah salah satu misi mereka, termasuk penyadaran terhadap bahaya HIV/AIDS. Terdiri dari dua puluh seniman muda, AWS tampil di berbagai panggung dan berkarya dengan banyak musisi. Salah satu yang paling baru adalah keterlibatan mereka mengisi part choir dengan style bernyanyi ala Isicathamiya dalam lagu The Power.

Dalam suasana kudus Ramadhan, mendengarkan bait-bait berdaya magis yang dilantunkan pemuda-pemuda Zulu itu sungguhlah nikmat, mereka memanggilmu mendekat menuju kedamaian yang sempurna di dalam hidup:

Masisondele, masisondele haha phila nocolo yelele…

Ahsan Azhar

Leave a Reply

Silakan dibaca juga