Mantra di Punggung Aisha

Artikel ke 3 dari 3 artikel dalam Topik : Cerita LGBT

Diaho a’ tana rambui, dihoi’ a’ tana tikdoi … Selarik mantra penghalau bala dari kampung halaman ini sudah puluhan tahun tak saya dengar. Orang-orang Mambi di pegunungan Sulawesi Barat merapalkannya setiap kali berharap tak tertimpa petaka yang datang dengan terang atau yang muncul dari kegelapan.

(Orang-orang dari Mambi, ada yang bisa mengartikan?)

Saya mengucapkannya dalam hati, sepekan lalu dan setiap hari, setiap kali mengelus-elus punggung Aisha, putriku semata wayang.

Sebuah perdebatan di media sosial soal sexy ini penyebabnya: LGBT.

Dan saya tak perlu menyatakan sikap di sini. Sebagai seorang ayah, berlimpah-limpah kasih sayang dan bergunung-gunung doa untuk keluarga, kerabat, dan kawan-kawan setanah air, cukuplah kiranya …

Saya ingat lebih setahun silam, saat panas-panasnya kampanye pemilihan presiden. Saya datang ke satu rumah mewah di Jl. Jenggala, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sekadar mampir di sore hari, menyambangi kawan-kawan dari Makassar. Ini salah satu posko pemenangan tim kampanye nasional Jokowi-JK.

Di satu ruangan saya membaur dengan kawan-kawan lama dari Makassar yang gerah dengan kampanye hitam yang sungguh di luar akal sehat. Seseorang mencetuskan ide membalas dengan isu yang sensitif ini: putra si anu itu gay.

BACA:  19 Januari, "Wiji Thukul" Hadir di Bioskop

Anak lelaki Jusuf Kalla, Solihin Jusuf, yang biasanya tenang dan kalem langsung menyergah dan marah. “Jangan! Tidak elok. Anak itu berprestasi.” Pembicaraan selesai, tak sedikit pun isu itu menguap dari cerobong rumah markas pemenangan di Jalan Jenggala itu.

Semasa masih bekerja di media, saya menelpon perancang busana Samuel Wattimena, seusai lelaki ini memberi testimoni di Harian KOMPAS bahwa ia pernah menjalani kehidupan sebagai pelaku homoseksual dan kini bertobat.

Saya berbasa-basi pada mulanya. “Saya sudah baca buletin komunitas LGBT itu, bang,” kata saya.

“Oh ya? Menurutmu bagaimana?” ia balik bertanya.

“Isinya bagus. Ada artikel komunitas, cerpen, kontak jodoh. Menarik,” saya menjawab, polos dan sungguh-sungguh.

“Nah, awalnya begitu. Lama-lama Anda mau kenalan dengan orang-orangnya.”

Saya memakinya dalam hati: ka’b*****e …

Di lantai teratas sebuah gedung jangkung di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, ada satu bar dan restoran yang telah menjadi pengetahuan umum sebagai tempat nongkrong para gay dan lesbi di ibukota. Ke sanalah, suatu malam dua kawan saya — dua reporter lugu yang ditugaskan untuk bahan rubrik investigasi — datang dengan kikuk tapi bersikap seolah-olah terbiasa.

Lev dan Rom, sebut saja begitu. Mereka menyaru sebagai pasangan. Datang tanpa perekam dan alat tulis, mereka berbekal mata dan intuisi belaka. Di sana, malam kian larut, kian ramai, kian saru.

BACA:  Sepiring Nasi Goreng dan Arti Pertemanan

Lev dan Rom yang duduk di bangku depan meja bar melihat pria-pria di sekelilingnya bertatapan mesra, berpegangan tangan, ada juga yang berciuman. Hanya mereka yang tak tampak mesra, menahan gelegak, mungkin kegelian, mungkin juga mual. Tapi keduanya tengah menyamar demi bahan reportase.

Agar penyamaran dua reporter ini tak terungkap, Rom memandang Lev. Lekat-lekat. Lev risih dan berbicara pelan: “Gua gampar lo Rom …” katanya, sangar. Ia takut Rom beraksi berlebihan … hahaha.

Begitulah.

Saya tak tahu, dunia bagaimanakah gerangan yang orang-orang tengah ributkan itu. Saya hanya mengetahuinya sedari dulu dari sisi yang kasat mata dan mampir di telinga: para calabai di alun-alun Karebosi di kota saya, Makassar, semasa saya masih bermukim di sana, kisah Ryan di Depok yang membunuh dan memutilasi pasangan-pasangannya, Dede Oetomo yang sudah lama “berjuang” untuk diakui, testimoni Samuel Wattimena, dan lain-lain.

Jika belakangan pembicaraan tentang Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender (LGBT) ini kemudian menjadi ramai di media sosial, saya harus mahfum, dunia kian menua. Tabu-tabu kian menipis, pamali-pamali kian tersisih, segala dalih dan petuah-petuah dimunculkan seperti modul: kau bilang begini, jawabannya pun begini. Sungguh memusingkan.

BACA:  Yang Mau dan yang Malu: Calon Presiden Keturunan Tionghoa

Saya hanya bisa merapal mantra penolak bala dari masa kecil saya di desa nun di punggung pegunungan Sulawesi Barat:

…. diaho a’ tana rambui, dihoi’ a’ tana tikdoi …

Selamat malam orang-orang tersayang.

— Tebet, 17 Februari 2016

Tomi Lebang
Latest posts by Tomi Lebang (see all)
Artikel dalam Topik Ini : << Pelangi Punya Siapa?

Leave a Reply

Silakan dibaca juga