Malaikat yang Terinjak Sayapnya

Di kultur ayahmu ini, Nak, ada yang disebut pattola palallo. Arti kata per katanya aku tidak paham benar, yang pasti kalimat itu sering diucapkan sebagai doa. Ketika orang-orang tua melihat anak kecil, mereka biasanya berucap “tannapodo pattola palallo ko wa, Na’.” Artinya seorang anak diharapkan menjadi pattola palallo, tumbuh dengan menjadi lebih baik daripada orangtuanya. Jika bapaknya doktorandus, sang anak diharapkan akan menjadi doktor, misalnya. Kalau bapaknya dulu ranking 39, sang anak bolehlah ranking 38 atau 37. Intinya, menjadi lebih baik. Maka, bisa jadi orang Bugis yang paling sial adalah yang bapaknya profesor, karena mau jadi apa lagi dia yang lebih hebat dari profesor? Kompresor, mungkin.

Sebagai orang bugis, Nak, dari lubuk hati yang paling dalam aku juga berharap kamu menjadi pattola palallo, menjadi lebih baik daripada kami di segala aspek. Pendidkan, soisal, ekonomi, religi, dan lain-lain. Tapi kamu tak perlu merasa terbebani, toh standar kami juga tidak tinggi-tinggi amat. Kalau tadi aku menyinggung orangtua yang ranking 39, ketahuilah, Nak, bahwa itu adalah aku, ayahmu ini sewaktu berguru di bangku SMA.

Sampai di sini, mari kita coba mendiskusikan sesuatu. Bila Allah SWT memberi umur panjang, mungkin pada saat kamu membaca ini, aku masih ada di ruang tengah membaca buku, atau di teras belakang rumah kita memberi makan ikan koi. Bila kamu tidak sedang sibuk pacaran, hampirilah aku. Insya Allah, aku adalah ayah yang selalu membuka ruang diskusi. Bahkan ruang debat, bila perlu. Open mind for different view. Begitu kata Metallica dalam lagu Nothing Else Matters, Nak.

BACA:  Anjing dalam Diri Kita

Aku ingin mendiskusikan ini. Konsep pattola palallo menurutku adalah konsep yang tidak resiprokal. Artinya hanya berlaku satu arah. Orangtua boleh berbangga karena anaknya pattola palallo, tapi seorang anak sebaiknya tidak boleh merasa dirinya pattola palallo. Seorang anak boleh saja menjadi lebih jago dari orangtuanya, tapi tak sedikit pun dia boleh merasa lebih jago. Karena kadar kejagoan sang orangtua akan terus bertambah, terakumulasi oleh kejagoan sang anak. Kapanpun sang anak mendapat ranking 30, misalnya, sang ayah serta merta tetap lebih hebat karena bisa membesarkan anak sehingga mendapat ranking 30, meskipun dirinya sendiri adalah ranking 39. Pusing kau, Nak? Pusinglah. Aku sengaja pakai contoh yang ada angkanya supaya tampak keren. Maksudku begini, kita anak tak akan pernah bisa melebihi orangtua kita.

Salah satu sebab aku menjadi wartawan, adalah karena ingin menyamai perjalanan bapakku. Bapakku pernah mendatangi banyak tempat, dan aku ingin seperti dia. Setiap tiba di tempat baru, aku pasti mengabari bapakku. Bapak, aku di Miangas! Bapak, aku di Soweto! Seringkali aku tergelincir untuk membangga-banggakan keberhasilanku, tapi pada saat itulah sebenarnya kegagalanku. Sampai pada satu titik, aku menyadari bahwa aku tak akan pernah bisa menyamai perjalanan bapakku. Perjalananannya menemukan ibuku, atau perjalanannya membesarkan kami anak-anaknya.

BACA:  Ambisi Orangtua yang Bisa Membunuh Bahasa

Jadi, Nak, pada saat kami mendoakanmu, sesungguhnya kami mendoakan diri kami sendiri. Kami takkan pernah berhenti mendoakan kebaikanmu, itu pasti. Tapi selalu ada batas pada setiap hal. Sejauh apapun kakimu kelak melangkah, dan sebanyak apapun yang akan kamu lihat, kamu tak kan bisa menyamai apa yang telah kami lihat.

Aku pernah melihat spongebob terbang sampai menyentuh atap. Kamu belum, kan?

Aku pernah melihat malaikat yang terinjak sayapnya.
Begini ceritanya. Sesosok mahluk berwarna putih, disewa oleh sebuah peserta pameran untuk berpose sebagai malaikat cupid, lengkap dengan sayap dan panahnya. Sepanjang pameran berlangsung, dia hanya berdiri diam, dengan sikap seperti siap menembakkan panahnya ke atas. Banyak orang seperti dia, Nak. Dibayar untuk berpura-pura menjadi patung.

Lalu kami bertemu di toilet. Saatnya rehat dan dia rupanya kebelet juga. Malaikat berwarna putih itu berdiri mengantri. Sayap dan panahnya diletakkan di lantai agar tak mengganggu orang lain yang berdiri sejajar dengannya di urinoir. Lalu ada seseorang yang baru selesai pipis, tak sengaja menginjak sayap dan panahnya.

Saat itu, Nak, aku berjanji dalam hati, akan menceritakan kisah ini padamu. Ayahmu ini, Nak, pernah melihat malaikat yang terinjak sayapnya. Dan di toilet pula. Hebat, Kan?

BACA:  Tante dan Pob
Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga