Lupakan Sejenak Anjuran untuk Tidak Berbicara dengan Orang Asing

Dulu sekali, saya pernah melarang Ibu berbuat baik. Saya minta ia berhenti melakukan kebaikan pada orang-orang yang “kurang bisa berterimakasih”.

Saya bilang, “Membantu orang itu ya sebisanya saja. Jangan sampai jadi kita yang kesulitan sendiri.” Ibu diam saja tak menjawab.

Lain waktu, saya melihat Ibu membantu orang asing yang kami tidak kenal sama sekali. Orang itu datang ke rumah kami dan ibu membantunya dengan senang hati, juga mendengarnya bercerita.

Saya diam saja tak berkomentar. Sampai kemudian Ibu bilang, “Nanti kamu akan jauh dari rumah, tinggal di tempat yang kamu tak kenal semua orangnya. Kalau butuh bantuan mau ke siapa? Masa pulang? Jauh.” Saya tetap tak berkomentar dan mengganti saluran televisi dengan melihat layarnya tanpa fokus, hanya agar saya tak melihat mata ibu. Saya kesal karena Ibu terlalu baik.

Sekarang, bertahun-tahun setelah saya minta Ibu berhenti melakukan kebaikan ke orang lain, saya punya pemikiran berbeda. Benih kebaikan yang dulu ditanam Ibu, saya yang memetik buahnya. Saya tinggal di kota yang jauh dari rumah dan dikelilingi orang-orang asing yang tidak saya kenal sebelumnya. Tapi mereka mau membantu saat saya dalam kesulitan.

BACA:  Membaca Grup Whatsapp Keluarga Mayoritas Dokter di Masa Pandemi

Saya pernah berlari menuruni tangga demi mengejar Bus TransJakarta karena takut terlambat interview kerja. Bus sudah menutup pintunya meskipun masih berhenti karena terjebak lampu merah. Sampai kemudian seorang bapak di halte menggedor kaca bus, setelah melihat saya berlarian dengan napas tersengal. Saya berhasil masuk bus dan melihat si bapak melambaikan tangannya dengan penuh senyum. Saya hanya orang asing baginya, tapi dia mau membantu saya.

Di lain hari, saya yang teledor meninggalkan uang kembalian nasi Padang di meja kasir. Lalu seorang anak kecil yang saya kira berusia delapan tahun, berlari mengejar saya. “Uangnya ketinggalan, Kak.” katanya sambil mengatur napas. Selanjutnya, ia tak mau menerima “uang jajan” dari saya.

Ada juga pengendara motor yang memberi kode pada pengendara di belakangnya untuk memperlambat laju kendaraannya. Dia tahu saat itu saya sedang setengah berjongkok mengambil buku yang terjatuh di tengah jalan raya.

Mereka orang asing yang bersedia membantu saya, seseorang yang tak mereka kenal. Mereka tulus dan tak pamrih. Saya hanya belum bilang ke Ibu, bahwa orang-orang yang ia bantu itu telah menjelma menjadi orang asing baru yang membantu saya di mana pun saya butuh bantuan.

BACA:  Tan Malaka dan Ridwan Kamil

*Ditulis karena tiba-tiba ingat, sudah dua tahun berlalu sejak saya ditolong seorang bapak baik di halte Tegal Parang. Kalau ia tidak menggedor kaca bus, kemungkinan saya tidak bisa berhaha-hihi di Slipi sekarang.

Leave a Reply

Silakan dibaca juga