Luka Sosial

Foto: Jeshu John - designerpics.com
Foto: Jeshu John – designerpics.com


Ketika mengajukan usulan skripsi pada tahun 1987 di Jurusan Kriminologi FISIP-UI, Pembimbing Akademik saya, almarhumah Sjarifah Sabaroeddin, langsung berkomentar, “Saya setuju. Tapi siap-siap menghadapi keraguan dan ketidakpercayaan orang-orang atas skripsimu.”

Betapa tidak, saya mengajukan dua usulan: pelacuran di bawah umur dan pola pemerasan dalam kepelacuran lesbian.

Dulu, tahun 70-80an, di Monas dikenal istilah pedagang kue baskom. Menjajakan kue yang ditaruh di dalam baskom, dan mendekati pembelinya yang duduk di kegelapan malam, yang membeli kuenya sambil meraba-raba tubuh penjualnya, yang tidak sedikit di antaranya berusia di bawah umur. Orangtua sang penjaja kue baskom, menyaksikan dari jauh tanpa berbuat apa-apa. Bagi mereka yang penting dagangan laku, sehingga anaknya pun didandani melebihi usia mereka sendiri, dan agar tampak menggoda. Di beberapa daerah juga terjadi dengan beragam bentuk, di antaranya yang disebut pedagang kopi pangku. Sambil ngopi sambil mangku pedagangnya.

Bersama sahabat saya, senior saya di Sosiologi FISIP UI, kami pernah melakukan penelitian di sekitar Pantai Utara dan menemukan penari-penari dombret di bawah umur. Mereka menari di kegelapan malam, lalu dibawa ke tempat gelap, dan entah apa yang terjadi, kita sudah bisa menebak. Warga sekitar menganggap fenomena ini hal yang biasa, bahkan didukung oleh aparat pemerintahan desa.

Betapa tidak, musik pengiring penari dombret ini dianggap efektif untuk memanggil nelayan di laut, agar merapat di desa itu untuk menjual hasil tangkapannya. Dan itu berarti, ekonomi desa tetap berputar, tempat penjualan ikan tetap ramai. Jika tidak, nelayan akan ke desa lain yang “memelihara” kelompok penari dombret usia muda ini.

Terkejut saya dan Niken, sahabat saya, ketika bertanya pada penari belasan tahun ini tentang status mereka. Tak sedikit yang mengaku sudah kawin cerai 2-3 kali di usia belum lagi 16 tahun. Atas nama “kebutuhan ekonomi”, anak-anak ini telah menjadi “tiang keluarga” orangtua dan saudara laki-lakinya.

BACA:  Protes Perubahan Iklim, Mahasiswa Interupsi Pertandingan Bola Harvard vs Yale

Fenomena ini juga saya temukan di kota. Anak-anak di bawah umur menjajakan diri di mal, di berbagai tempat, dan dijajakan oleh teman sendiri, “seniornya”, dan…. orangtuanya sendiri. Mereka tidak peduli, ini untuk pelayanan seksual sejenis (homoseksual) atau lawan jenis (heteroseksual).

Bahkan di beberapa sudut kota, pada jam pulang kantor, memberikan pelayanan “happy hour”. Satu harga dilayani oleh dua orang. Dan yang melayani, anak-anak yang masih berseragam sekolah. Datang ke tempat itu dengan baju seragam sekolah, masuk kamar mandi, dan sudah berganti dengan baju seksi layaknya pesohor-pesohor berbusana minim bahan.

Dua tahun menelusuri fenomena itu, dan saya temukan beragam kekerasan terjadi di dalamnya. Sekali terlibat susah untuk keluar lagi. Ancaman para pedagang manusia itu tidak main-main. Tak cuma mengancam akan melaporkan perbuatan anak itu ke orangtua, sekolah, teman-teman sehingga mereka jadi takut, tapi sampai pada ancaman kekerasan fisik dan kematian.

Sudah lama saya mendengar, kalau Indonesia menjadi salah satu tujuan wisata seks kaum pedofil (bisa ditelusuri di twitter saya: @maman1965 ). Berulang saya mengingatkan hal itu di berbagai media sosial. Berulang juga saya mendapat tentangan, yang memaksa untuk tidak usah memaparkan hal seperti itu, karena tidak baik buat Indonesia di mata dunia.

Untuk hal ini saya bergeming. Saya memang bukan marketer yang baik utk negeri ini.

Pengabaian, pembiaran, menutup-nutupi fenomena ini dengan berbagai alasan, menjadi ladang subur apa yang terjadi kemarin, terbongkarnya kasus pelacuran sejenis anak di bawah umur, dengan korban yang konon sudah mencapai ratusan…..

Apa yang saya alami selama 2 tahun meneliti fenomena ini, sudah saya tuangkan dalam novel #Re: yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia . Kenapa dalam bentuk fiksi? Sederhana, tak ada penerbit yang berani menerbitkan skripsi saya menjadi buku. Masih untung ada yang mau menerbitkannya dalam bentuk fiksi, dengan catatan, berdasarkan kisah nyata.

BACA:  Saat Tasya Kembali Berseragam SD

Novel selanjutnya, #peREmpuan kembali saya tulis pertengahan tahun ini. Dan saya kembali turun lapangan. Apa yang dihebohkan belakangan ini, juga saya temui. Orangtua yang menjajakan anaknya sendiri, atau pura-pura tidak mau tahu bagaimana sampai anaknya, yang sedang kuliah, bisa menyewa apartemen dan mempunyai mobil dan berganti-ganti smartphone, bukan fenomena asing lagi.

Jadi, ini bukan semata didasarkan pada faktor ekonomi. Banyak hal yang kait-mengait, berkelindan mewarnai peristiwa-peristiwa ini.

Saya jadi curiga, istilah “banyak anak banyak rezeki” kembali hidup, tetapi menemui bentuknya yang lain. Anak tak lagi menjadi tenaga kerja gratis, menemani kita saat mencangkul di sawah, menjaga warung kecil di samping rumah, atau menemani kita bersama-sama membeli sembako di pasar sentral untuk kita jual kembali di warung kecil depan rumah. Tapi, membiarkan mereka dengan segenap raganya, menjadi pelayan nafsu syahwat orang lain demi mendukung ekonomi keluarga. (( Semoga dugaan saya ini salah besar!))

Dan, jika terungkap, kita pun pura-pura kaget dan mengaku tidak tahu sama sekali (( lagi-lagi, semoga dugaan saya ini salah besar)). Wallahualam.

Saya berterimakasih pada almarhumah Sjarifah Sabaroeddin yang dengan sabar mau membimbing saya dalam penyusunan skripsi, bahkan ikut turun lapangan. Juga kepada pembimbing saya lainnya, Prof. DR. Tb Ronny Nitibaskara, yang beberapa hari lalu, saya lihat di layar kaca menjadi saksi ahli kasus kematian Mirna dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso.

Keduanya tahu betul apa yang tersurat dan tersirat di dalam skripsi saya. Juga kisah luka, darah, air mata dan nyawa yang meregang, yang mewarnai isi skripsi saya.

BACA:  Pelangi Punya Siapa?

Saya masih ingat pertanyaan keduanya saat ujian skripsi.
“Berapa narasumbermu yang terbunuh selama kamu melakukan penelitian?”
“Berapa yang masih hidup? Dan, mengapa mereka bisa bertahan?”

Ah, dasar teoriku, yang memakai teori ketergantungan Peter Blau, juga tentang anomi dr. Robert K Merton, Differential Association dr. Sutherland dan beberapa landasan teori lainnya, betul-betul diuji selama 2,5 jam ujian skripsi.

Dan kegelisahan tentang “luka sosial” ini tak pernah berhenti saat membaca data dari Komnas Perempuan: setiap 24 jam terjadi 35 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Artinya, 3 kasus setiap 2 jam!

Dan itu yang bisa terdata. Bagaimana dengan yang tidak terungkap selama ini, dan tiba-tiba meledak dan terungkap, sebagaimana terungkapnya kasus pelacuran sejenis di bawah umur beberapa waktu lalu?

Kalau 3 setiap 2 jam hanyalah fenomena gunung es…. maka kenyataannya sungguh sangat memerihkan.

Maman Suherman
Latest posts by Maman Suherman (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga