Tinggal di luar negeri, pastinya kadang dilanda rasa kesepian karena jauh dari keluarga, kerabat, dan sahabat. Tentu ada rasa cemas juga, siapa yang bisa diandalkan di sini kalau tetangga pun bukan orang terdekat? Bertetangga dengan orang lokal (atau sebutlah orang bule) mengasyikan juga, tapi tentu saja ada perbedaan budaya dan bahasa yang sedikit banyak menghambat hubungan akrab tetangga. Inginnya tetap punya tetangga sebangsa yang bisa diajak berbagi rasa di saat rindu kampung halaman di Indonesia.
Untunglah kekhawatiran itu tidak terjadi pada saya dan keluarga di Groningen, Belanda. Alhamdulillah sejak menginjakkan kaki di tanah londo ini, saya selalu dipertemukan oleh saudara tidak sedarah yang menyenangkan. Kami punya perkumpulan pelajar se-kota, ada grup pengajian, juga tetangga setia yang ringan tangan.
Salah satu keluarga istimewa yang kami temui di Groningen adalah keluarga Mbak Tina dan Pak Taufiq, beserta kedua anaknya Rayyan dan Mayya. Pak Taufiq adalah pegawai negeri yang sedang menempuh pendidikan S3 di University of Groningen, sedangkan Mbak Tina dengan setia menemani suaminya merantau ke tanah londo. Rumah mereka persis di depan rumah kami. Jika Mbak Tina sedang masak dan jendela rumahnya terbuka, ada wangi masakan yang tercium menggoda. Jika Rayyan dan Mayya sedang bermain halaman rumah pasti suaranya sampai terdengar ke rumah kami. Lalu, anak saya Runa, yang berumur tiga tahun, akan berseru dengan semangat, “Bun, Runa denger suara.. itu pasti Mas Rayyan dan Mbak Mayya!” selanjutnya Runa akan terburu-buru pakai memakai sepatu untuk ikut main ke luar.
Oiya sebelumnya jangan bingung kok Pak Taufiq disapa ‘Pak’, tetapi Mbak Tina disapa ‘Mbak’ bukan ‘Bu’. Memang jadinya tidak sepasang. Tapi itu bukan berarti Pak Taufiq punya istri tua, yaitu ‘Bu Taufiq’ dan Mbak Tina adalah istri mudanya ya, haha. Bukan begitu. Kami memanggil Pak Taufiq dengan sapaan ‘Pak’ semata-mata karena kami menghormati Pak Taufiq yang usianya lebih dewasa daripada kami dan menganggap Pak Taufiq seperti sosok bapak bagi kami. Sedangkan Mbak Tina mengaku lebih baik dipanggil ‘Mbak’ saja, biar tetap merasa awet muda, katanya.
Sekitar hampir 2 tahun kami bertetangga. Banyak suka dan duka, banyak kerepotan yang terbagi, dan banyak kiriman makanan yang sering menyelingi. Saya paling senang kalau dengar bunyi bel “tingnong”. Giliran saya yang dengan semangat bilang sama suami, “Jangan-jangan Mbak Tina mau ngirim makanan.” Maklum masakan Mbak Tina itu terkenal enak-enak. Mbak Tina selalu memasak dengan sepenuh hati dengan full bumbu alami racikan sendiri. Bisa mendapatkan masakan khas Indonesia di sini cukup mahal, semua harus masak sendiri. Istimewanya, Mbak Tina juga tidak pernah pelit berbagi hasil dapurnya itu.
Sebagai student mom, saya cukup disibukkan dengan kerjaan di kampus dan mengurus rumah dan keluarga. Terkadang saat saya baru pulang di sore hari, saya baru sempat masak. Tapi adalah mendapat durian runtuh namanya jika sedang dalam posisi kelaparan dan baru mau masak, ada Mbak Tina datang ke rumah dengan membawa masakannya. Pernah juga saat saya dan Runa baru sampai rumah dan baru mau memasukkan sepeda ke garasi, lalu Runa berbicara dan berteriak cukup keras, (syukurnya) teriakan Runa terdengar oleh Rayyan dan Mayya. Lalu mereka keluar rumah dan mengajak Runa main ke rumah, berujung saya dan Runa ditawarin makan oleh Mbak Tina.
Mbak Tina yang berprofesi sebagai dokter pun bisa diandalkan, selayaknya dokter pribadi warga Indonesia di Lewenborg (daerah tempat tinggal kami). Kalau huisart (dokter) di Lewenborg tidak bisa on call, Mbak Tina bisa langsung dihubungi.
“Mbak, Runa cacar, dikasih apa?”
“Mbak, Runa muntah-muntah, gimana dong?”
“Mbak, Runa tadi kakinya habis masuk ke jari-jari sepeda, aduh diapain ya?”
Mbak Tina langsung sigap bertindak atau sekedar menjawab whatsapp saya.
“Ini, Mbak, ada sop buat Runa“
“Runa dianget-angetin pakai kayu putih aja mbak, jangan dikasih susu dulu kalau muntah.”
“Ini saya punya salep, Mbak, buat lukanya Runa.”
Daaan sebagainya. Beruntung serasa memiliki dokter pribadi.
Bersama Intan dan Mbak Atika (ada dua tetangga lagi yang orang Indonesia, rumahnya juga di dekat kami), kami suka berkumpul ala ibu-ibu masa kini. Kami masak bersama, mempraktekan resep untuk membuat kue, sambil bergosip (upsss!). Di saat kami asyik berkumpul, anak-anak pun ikut asyik bermain. Runa paling senang jika ada Rayyan dan Mayya main ke rumah. Walaupun ketika mereka bermain, kadang terjadi pertikaian antar anak. Namanya juga anak-anak, kurang seru kalau main hanya akur-akur saja kan? Mas Rayyan sebagai anak lelaki tertua sangat mengayomi Runa. Senang deh kalau Runa punya kakak seperti Mas Rayyan. Tapi, ini kadang-kadang bikin Mbak Mayya merasa cemburu, kakaknya membagi perhatian sama adik yang lebih kecil. Akhirnya Mbak Mayya malah menjahili Runa sampai menangis. Namun, di lain kesempatan, Mbak Mayya bisa menjelma menjadi sahabat yang asyik. Ia pintar sekali mengajak Runa main masak-masakan, main playdough, menggambar dan mewarnai bersama, sementara Mas Rayyan sedang sibuk sendiri nonton televisi atau main gadget.
Selain kejadian-kejadian menyenangkan, kami pernah melalui peristiwa menegangkan juga bersama keluarga Pak Taufiq. Suatu kali di akhir tahun baru 2015, kami pergi ke Taman Wisata Efteling di Kaatsheuvel, sekitar 3 jam dari Groningen dengan perjalanan kereta. Saat itu kami pulang dari Kaatsheuvel jam 6 sore. Kami sampai stasiun Utrecht untuk pindah kereta ke Groningen. Ternyata kereta terakhir yang menuju Groningen sudah lewat dan kami ketinggalan kereta. Momen tahun baru membuat kereta dan bus beroperasi tidak sampai tengah malam. Kami terjebak di Utrecht, tanpa kereta atau bus yang bisa dinaiki. Pak Taufiq (yang satu-satunya lelaki dewasa, suami saya tidak ikut saat itu) panik luar biasa. Ia merasa bertanggungjawab membawa ibu-ibu dan anak-anak. Pak Taufiq dengan gayanya yang tetap cool, berusaha mencari cara bagaimana agar kami bisa pulang atau malah harus menginap dulu di Utrecht, berhubung hari sudah semakin malam. Syukurlah ada kenalan Pak Taufiq yang bisa dihubungi, rumahnya pun sedang kosong, jadi kami berenam bisa menginap.
Namun selayaknya hidup yang hanya sementara, kehidupan di Belanda juga hanya sekejap. Sudah 4 tahun Keluarga Pak Taufiq tinggal di Groningen. Studi Pak Taufiq sudah hampir selesai, dengan begitu Ia dan keluarga pun harus pulang ke Indonesia. Apalagi Rayyan dan Mayya sudah sekolah SD, harus segera pulang lebih dulu untuk bisa ikut sekolah di tahun ajaran baru. Hari Rabu, tanggal 29 Juni 2016, Pak Taufiq sekeluarga pun back for good to Indonesia. Kami tetangga ikut mengantar sampai Schiphol.
Sebetulnya saya tidak suka perpisahan. Saya juga bukan tipe orang yang romantis untuk berkata-kata selamat tinggal dan berpesan lainnya. Walaupun saya sangat sensitif dan gampang terharu, saya pasti gengsi untuk menunjukkan itu. Namun, melepas Mbak Tina, Rayyan, dan Mayya membuat saya tidak bisa menahan tangis. Cengeng sekali, menangis di Bandara Schiphol, bak Cinta mau ditinggal Rangga saja. Padahal hari-hari sebelumnya saya sudah menguatkan hati, ah saya tidak akan menangis kok, walaupun akan merasa kehilangan. Malu dong nangis di depan Rayyan dan Mayya. Eh, sebelas duabelas dengan emaknya, Runa juga ikutan menangis saat melepas Mas Rayyan Mbak Mayya-nya. Wajar sih Runa sudah cukup besar, sudah mengerti bahwa sahabat-sahabatnya ini akan ke Indoensia dalam jangka waktu lama dan tidak akan kembali lagi ke sini.”
Semoga sukses dan lancar semua urusannya di Indonesia ya Mbak Tina, Rayyan, dan Mayya (Pak Taufiq masih balik lagi ke Groningen menyelesaikan tanggungan studinya). Saya pasti sangat kangen dengan suara ‘medhok’ khas Rayyan dan Mayya kalau lagi bersahut-sahutan bercerita ke saya, Runa sampai ketularan rada medhok ala Rayyan Mayya. Saya juga akan kangen bunyi bel berkali-kali dengan diikuti gedoran di pintu dari Rayyan dan Mayya “Tante Moniiik.. Dek Runaa..“. Saya juga akan rindu tawaran Mbak Tina, “Mbak Monik mau makan?“, akan rindu sesi curhat sambil menyeduh teh dan bergosip di saat anak-anak jumpalitan di ruang tengah.
Saya dan keluarga masih harus tinggal di Groningen, tapi tentu cepat atau lambat kami juga akan menyusul ke Indonesia. Di Indonesia belum tahu juga apakah akan bisa bertemu Pak Taufiq-Mbak Tina dan anak-anak sesering waktu di Groningen. Kami sangat beruntung bisa bertetangga dengan Keluarga Pak Taufq-Mbak Tina. So, I’ll not say goodbye, because this isn’t a farewell. I just simply say: Until we meet again!!
Miss youuu!
===
Penulis:
Monika Oktora
sedang menempuh pendidikan S2 Medical Pharmaceutical Sciences, University of Groningen, the Netherlands.
Website : https://monikaoktora.com/
Twitter : @monikaoktora
Facebook : Monika Pury Oktora
–Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Menggunjing Tetangga 2016 yang diselenggarakan oleh The River Post – Berbagi Hanya yang Baik—
- Besse’, Fosil Homo Sapiens Tertua dari Sulawesi Selatan - 17/09/2021
- Indonesia Kembali Terima Vaksin Covid-19 Pfizer dan AstraZeneca - 02/09/2021
- Rindu - 28/03/2020
Wah keren banget mak, walaupun sudah jadi Mom tetep semangat jadi student mom 🙂