Menggunjing tetangga Dusun Bangunrejo yang paling seru adalah menggunjing Babrak Kamal Bumi Dian. Bagaimana tidak seru? Sebab, dia adalah salah satu orang “tidak berguna” di dusun kecil bagian dari wilayah Kabupaten Jombang. Babrak – sapaan akrab Babrak Kamal Bumi Dian- meninggalkan bangku kuliah karena tidak suka dengan aturan-aturan yang mengikat di kampus. Lebih dari itu, menimba ilmu ala ruang kuliah tidak ada yang “pas” baginya. Babrak seolah-olah gelisah dan sedang mencari letupan-letupan yang ada dalam benaknya. Letupan apa itu?
Tahun 2008, Babrak pada akhirnya keluar dari Surabaya dan boyong ke rumah. Mungkin dia adalah satu-satunya mahasiswa Perguruan Tinggi di dusun itu yang mengikuti kampanye pemerintah pada saat itu, GKD (Gerakan Kembali ke Desa). Akan tetapi dia kembali ke desa tanpa ijazah di tangan, sebab ia belum lulus dari Universitas 17 Agustus Surabaya. Apa yang bisa dibanggakan pulang dari kota tanpa legalitas sarjana. Genaplah ia sebagai “seorang yang tidak berguna”. Akan tetapi, Babrak dan juga Ayahnya yakin, bahwa menjadi bermanfaat bagi masyarakat tidak bergantung pada ijazah.
Lantas bagaimana dan darimana Babrak memulai?
Babrak mulai dari buku-buku yang dimilikinya semasa kuliah. Atas dukungan dan support dari orang tuanyanya, Babrak mulai mengumpulkan buku-buku kuliah yang dimilikinya. Buku tentang Che Guevara -buku wajib mahasiswa era 2000an, buku cara naik gunung, buku lagu-lagu blues yang dijilid jadi satu, dan buku-buku lainnya. Buku itu tidak banyak, hanya beberapa judul dan dipinjamkan kepada tetangga atau kenalan sekitar. Sebuah perpustakaan untuk masyarakat pun dibuka. Kalau dalam KPR kita mengenal Rumah SSSS (Sangat Super Sederhana Sekali), maka perpustakaan ala Babrak saat itu adalah Perpustakaan Buku SSSS (Sangat Super Sedikit Sekali). Bukunya sedikit sekali, belum lagi judul bukunya tidak cukup menarik bagi khalayak umum. Akan tetapi, karena sudah terbiasa berpikir dan berprinsip: “melihat yang dimiliki, bukan melihat yang tidak dimiliki”, maka Babrak tetap membuka perpus itu dengan buku-buku seadanya, dan diberi nama Griya Baca Abukus (Anak Bumi_Kita Untuk Semua).
Anak-anak ngaji di musholla depan rumah menjadi pembaca pertama Abukus. Apa yang diharapkan dari buku-buku “berat” diktat kuliah itu, kecuali gambar-gambar yang bisa dinikmati. Alhasil, mereka mendapatkan kenikmatan dari melihat gambar yang ada di buku tersebut. Sementara, ulasan/isi buku itu dilewatkan begitu saja. Tidak jarang, karena saling berebut menunjuk gambar mereka tersenyum bersama.
Orang mengatakan, senyum adalah energi positif. Desiran-desiran semangat positif dari senyuman anak-anak itu yang membuat semangat Babrak semakin terpompa. Pun, orang bijak mengatakan bahwa senyum positif itu menular, bahkan bila senyum dari banyak orang terakumulasi, maka akan terurai-berai lantas tersusun menjadi energi tersendiri. Hal itu pula yang kemudian terjadi. Pada perkembangannya, beberapa kawan dan teman memberikan buku-buku bekas dan majalah bekas untuk mengembangkan senyum yang sudah mengembang di Dusun Bangunrejo itu. Sehingga, koleksi Abukus bertambah. Karenanya, anak-anak pun membaca dengan senang dan riang.
Oase adalah sumber kehidupan di tengah gurun. Dan karena oase itu, maka disebutlah bahwa gurun itu ada kehidupan. Begitu pula yang kemudian terjadi. Dari Abukus, geliat dinamika kehidupan di Dusun Bangunrejo itu semakin terasa. Masyarakat semakin aktif terlibat dalam beberapa kegiatan Abukus. Yang kemudian tampak, bahwa dari sebuah perpustakaan kecil tersebut tidak hanya berdampak pada meningkatnya daya baca anak (meski peningkatan belum signifikan), akan tetapi lebih dari itu kehidupan sosial masyarakat menjadi semakin dinamis. Mulai dari semakin subur kegiatan pengajian untuk lansia, kegiatan peringatan hari besar islam, juga keaktifan masyarakat dalam pembangunan dusun, dan lain sebagainya.
Di Dusun Bangunrejo banyak juga pemuda-pemudi. Pemuda yang berprestasi -setelah tinggal berlama-lama di kamarnya untuk menghapal dan mendapatkan nilai Ujian Nasional yang baik- biasanya mereka akan hijrah ke kota untuk menempuh pendidikan di sana. Sementara, mereka yang tidak menemukan kenyamanan di sekolah dan tidak leluasa mengembangkan dirinya, maka mereka akan menikmati aktivitas di seluruh dunia ini, kecuali di sekolah. Termasuk, memilih jagongan bersama Babrak Kamal Bumi Dian. Itu adalah salah satu aktivitas yang menyenangkan bagi mereka. Sebab, tidak ada PR. Hanya ngobrol tentang naik gunung, masak bersama kemudian masakan digelar di atas daun pisang yang ditata memanjang bak sepur, kemudian duduk bersama dan makan bersama, saat itu mungkin benar kata Kaka Slank, bahwa “makan tak makan asal kumpul”, kemudian kalau tiba waktunya melaksanakan sholat, mereka sholat, lantas kembali jagongan. Banyak warga menyebut mereka “orang-orang tidak berguna”.
Mereka seolah-olah lebih menikmati dan lebih pas kalau menghabiskan waktu untuk ngobrol ngalor-ngidul. Barangkali metode obrolan bagi mereka lebih pas dari pada “ceramah” di kelas yang terasa tidak sesedap kopi yang bisa membuat orang terjaga dan berlama-lama bercerita tantang filosofi kehidupan. Sesekali, Babrak Kamal Bumi Dian mengajak mereka berlatih bagaimana membuat slide secara sederhana, atau terjun menjadi fasilitator lomba mendaur ulang, atau menjadi panitia lomba mewarnai sekaligus menyimak relawan dan artis Yessy Gusman yang mampir dan membawakan puisi di depan anak-anak yang sehari-hari membaca buku di griya baca Abukus tersebut.
Pada suatu kesempatan, pelatihan yang pernah diikuti oleh “orang-orang tak berguna” itu bermanfaat. Seperti salah satu relawan yang membuat slide untuk acara perpisahan di sekolahnya. Selain itu, pengalaman berorganisasi menjadi bekal ketika mereka melanjutkan pendidikan mereka. Pada akhirnya mereka yang juga dicap sebagai “orang-orang tidak berguna” bisa bermanfaat untuk sekitarnya.
Begitu juga Ayah Babrak yang dulu sempat menahan diri diantara keyakinan dan harapan bahwa Bobot akan menemukan jalan hidupnya, pada akhirnya menemukan jawaban, bahwa Babrak Kamal Bumi Dian memang orang yang tidak berguna, tapi setidaknya berguna bagi temannya.
Tahun 2016, Berdasarkan studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca (Kompas, Senin, 29 Agustus 2016 | 07:17 WIB). Fakta tersebut sungguh memprihatinkan, karena Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa (Kompas, Senin, 29 Agustus 2016 | 07:17 WIB).
Babrak Kamal menyadari betul bahwa bukannya daya baca anak-anak di Dusun Bangunrejo rendah. Akan tetapi, keterbatasan akses yang menjadikan anak-anak tersebut tidak terbudaya untuk membaca. Memang, rendahnya daya baca masyarakat memang sudah menjadi dongeng yang lekat dalam masyarakat. Apa yang dilakukan Babrak Kamal adalah aksi riil di masyarakat.
Dalam sebuat status facebook Babrak, saya pernah menemukan status yang ditulis Babrak: mengapa harus bingung mencari solusi untuk negara, toh sudah ada Presiden, mengapa harus bingung mencari solusi untuk propinsi, toh sudah ada Gubernur, mengapa harus bingung mencari solusi untuk kabupaten, toh sudah ada Bupati, mengapa harus ngurusi Kecamatan, toh sudah ada Camat, bingunglah mencari solusi untuk orang yang ada di sekitarmu, yang paling dekat sekian radius dari rumahmu.
Babrak Kamal dengan griya baca tersebut memberi kesempatan membaca pada anak-anak di dusunnya. Dan terus dirembetkan pada beberapa relawan yang kemudian juga tertarik mendirikan griya baca/taman baca. Maka, Babrak Kamal membantu menginisiasi berdirinya taman baca masyarakat di dusun-dusun lain yang ada di Desa Gondek. Dengan tujuan, agar anak-anak ketika musim hujan tidak susah payah mengayuh sepeda ke Griya Baca Abukus untuk meminjam atau mengembalikan buku lantas meminjam buku kembali. Sungguh itu membuat mereka kesulitan. Karena itu, dengan adanya taman baca di setiap dusun itu, bisa memudahkan mereka.
“Bisakan kalian bayangkan, di musim penghujan di sebuah emperan taman baca, anak-anak itu membaca buku, berteduh, mengeja sambil menikmati suara rintik hujan. Apalagi kalau hujannya jatuh ketika bulan juni, pas seperti kata Sapardi Djoko Damono, Hujan di Bulan Juni hehehe,” ungkap Babrak suatu kali yang memang sangat menyukai musikalisasi puisi-puisi Sapardi Djoko Damono.
Memang, energi positif itu menular. Selepas itu (setelah menginisiasi taman baca di dusun se-Desa Bangunrejo), banyak relawan dari luar dusun, bahkan lain kecamatan meminta untuk dibantu mendirikan taman baca serupa dengan gagasan dan tujuan sama, yakni memberikan kemudahan baca pada anak. Maka, dengan senang hati dan penuh semangat babrak kamal membantu untuk membuka taman baca tersebut dengan membawa 100 judul buku yang bisa dibaca anak-anak, kemudian dibantu membuka jaringan-jaringan dengan organisasi yang mendonasikan buku secara cuma-cuma.
Tahun 2015, Pada suatu sore ada kru Metro TV menghubungi Babrak Kamal, lantas meminta ijin untuk mengangkat perjalanan Babrak Kamal dan Griya Baca Abukus dalam sebuah film dokumenter. Tentu saja, sebuah kesempatan yang baik dan disambut terbuka oleh Babrak Kamal Bumi Dian. Tidak dalam waktu lama, akhirnya dilakukan interview dan beberapa pengambilan gambar kegiatan di Abukus. Pada hari ke 1 shooting (14/06/15) 14.30 WIB, Kru Metro TV yang datang hanya bilang bahwa peliputan/shooting untuk program Dokumenter Metro TV yang tayang setiap jam 10 malam. Pada hari ke-2 shooting (15/06/15) 16.00 WIB, tanpa pemberitahuan, tanpa konfirmasi, tamu special “Andy F Noya” datang. Rupanya shooting/peliputan tersebut untuk program Kick Andy on Location. Kick Andy meliput secara langsung kegiatan Griya Baca Abukus, seperti, membaca dan kreasi Batik Tutul, kegiatan story telling dan lain sebagainya.
Dalam kesempatan tersebut, Andy F Noya bertanya pada Babrak Kamal, “Apa pesan anda pada masyarakat Indonesia?” Babrak Kamal pun menjawab sederhana, “Tidak perlu menunggu kaya, tidak perlu punya waktu luang untuk berbuat yang bermanfaat untuk orang lain, meski itu sesuatu yang kecil.” Kisah Babrak Kamal tersebut pun disiarkan dalam program Kick Andi on Location “Letupan Asa dari Jombang”.
Pada tahun 2015, Babrak Kamal bersama beberapa relawan taman baca di Jombang mendapat kesempatan mengikuti Workshop yang diselenggarakan 1001 di Jakarta. 1001 adalah lembaga nirlaba yang mendonasikan buku-buku secara cuma-cuma. Pada saat itu, Anies Baswedan ketika masih menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang hadir sebagai pembicara sempat mengucapkan terima kasih kepada para relawan yang dengan suka rela telah mengambil alih tugas negara dalam mencerdaskan dan membudayakan baca pada generasi bangsa. Dan, salah satunya adalah Babrak Kamal Bumi Dian.
Penulis:
Machtumah Malayati
Twitter : @machtumah
–Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Menggunjing Tetangga 2016 yang diadakan oleh The River Post – Berbagi Hanya yang Baik—
- Besse’, Fosil Homo Sapiens Tertua dari Sulawesi Selatan - 17/09/2021
- Indonesia Kembali Terima Vaksin Covid-19 Pfizer dan AstraZeneca - 02/09/2021
- Rindu - 28/03/2020