Nama lengkapnya Mbah Sarpinah, namun beliau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Upin atau Nek Upin. Tinggalnya tepat di samping masjid kecil. Bukan, bukan masjid tapi lebih tepatnya surau atau mushola. Jarak tempat tinggalku dengan kontrakan Mbah Upin ini hanya beberapa meter saja. Oiya kami sama-sama berstatus sebagai perantau yaitu tepatnya di pulau ujung paling timur Indonesia, Papua. Mbah Sarpinah atau anak-anak memang lebih fasih memanggilnya Nek Upin (terinspirasi pada tokoh kartun animasi asal negara Malaysia “Upin & Ipin”) adalah seorang tukang pijat. Aku sendiri lebih suka memanggilnya Mbah Pin, lebih enak dan lebih simple menurutku. Usia beliau sama sekali tak layak jika dikatakan muda. Tapi, badannya masih sehat. Sangat sehat jika diukur dari teman-teman seusianya yang rata-rata sudah sakit-sakitan. Malahan tidak sedikit pula yang sudah tak bisa berjalan, tuli, penglihatan kabur, pikun, dan sebagainya.
Mbah Sarpinah, Mbah Upin, atau Nek Upin ini memiliki postur tubuh tinggi tapi tidak gemuk. Kalau laki-laki bisa kukatakan beliau gagah. Masih tampak sisa-sisa kecantikan pada wajah beliau. Aku yakin saat mudanya dulu beliau memiliki wajah yang cantik dengan body yang tinggi semampai. Andaikan di jaman sekarang barangkali beliau akan lolos seleksi sebagai model atau peragawati. Cuma karena termakan usia, badan Mbah Upin menjadi agak sedikit bungkuk ketika berjalan. Namun meski begitu, jangan salah jika dari segi suara beliau masih sangat lantang. Bahkan kalau sedang berbicara, dari jarak beberapa rumah saja kedengaran lho. Lebih menakjubkan lagi yaitu pada kualitas pendengaran beliau yang masih sangat bagus sekali. Pijatan tangan beliau juga masih kuat, terasa, dan tidak ringkih. Aku suka teriak kesakitan kalau dipijat sama Mbah Upin, tapi efek sesudahnya tulang tulang serasa segar kembali. Badan terasa ringan dan bisa kembali melakukan aktifitas rumah tanpa keluhan encok dan sebagainnya. Beliau juga terlatih memijat perut tapi dengan tekanan tangan yang sangat pelan. Seperti saat memijat pada anak-anak, dan juga bayi. Pelan, lembut, dan dengan urutan tangan yang sangat perlahan.
“Mbah Pin, usia njenengan itu sudah berapa sekarang?” Tanyaku suatu ketika. “ Weehh! Umur Mbah ini sudah banyak lah, Nduk”.
“Berapa Mbah Pin kira-kira, Mbah Pin lahirnya tahun berapa ?”
“Kalau tahunnya Mbah ini ya sudah nggak ingat, Nduuk. Jamannya londo (Belanda) ke sini (Indonesia) Mbah masih kecil kok, Nduk”.
Aku pribadi bisa perkirakan usia Mbah Upin ini sekitar tujuh puluhan. Tapi saat aku pastikan hal itu kepada beliau, beliau malah menyangkal. “Yoh belum ada segitu toh, Nduuk. Pokok jamannya Indonesia dijajah itu Mbah masih kecil. Mbah masih ingat kok digendong sama Bapak (bapaknya Mbah Upin) waktu itu.”
Begitu jawab beliau. He-he. Padahal kalau dipikir-pikir jaman Belanda dan Jepang datang ke Indonesia kan sebelum tahun 1945’. Tapi seperti itulah, namanya juga orang sudah sepuh (tua). Apalagi jaman dulu memang sangat minim orang mengenal baca tulis. Rata-rata tidak pernah tahu tahun berapa mereka lahir. Apalagi menyangkut tanggal dan bulan.
Mbah Upin ini datang ke Papua pada tahun millennium yakni tahun 2000. Beliau dibawa bareng sama tetangga sekampungnya yang lebih dulu merantau ke Papua. Kebetulan ketika itu tetangganya sedang mudik ke kampung halaman di Lamongan Jawa Timur. Mbah Upin bilang mau minta ikut juga ke Papua. Katanya beliau (Mbah Upin) ingin mandiri, cari duit sendiri. Nggak mau ngrepotin anak. Ketika itu usia Mbah Upin mungkin masih sekitar 50-an atau lebih-lebih sedikit lah. Dengan hanya berbekal skill yang tidak pernah resmi beliau dapatkan di sekolah umum, swasta, apalagi perguruan tinggi yaitu skill memijat. Yah beliau memperoleh ilmu memijat secara alami saja.
“Mbokde mbok diajak pergi ke tempatmu, toh, Ni. Daripada di rumah nganggur.”
Tetangga Mbah Upin yang bernama lengkap Parniyem ini punya bisnis yang lumayan menjanjikan di Papua yakni membuka usaha warung lalapan. “Lhah bantu-bantu aku nek Papua mau piye, Mbokde? Kalo mau yo ayo.”
“Mbokde mau saja, Ni, di rumah yo nggak punya kerjaan ae kok. Nganggur itu nggak enak, Ni. Badan Dhe (mbokde) rasanya sakit semua.”
Akhirnya, beliau betul-betul mantap ikut pergi merantau keluar pulau yang jauh dari kampungnya. Begitulah jalan ceritanya hingga Mbah Upin ini bisa sampai ke tanah Papua. Awalnya beliau hanya membantu sebagai pengupas bawang merah, bawang putih, cabai, dan berbagai macam bumbu-bumbu untuk warung lalapan milik tetangga kampungnya yang bernama Parniyem ini. Jadi tidak langsung menjadi tukang pijat. Beberapa bulan kemudian barulah Mbah Upin berpindah jalur menjadi tukang pijat tulen. Semula jika pekerjaan mengupas bumbu sudah rampung (selesai) semua, Mbah Upin biasa diminta memijat tetangga kontrakannya yang sebagian besar memang berasal dari daerah yang sama; Lamongan. Namun, ada juga beberapa orang yang satu kompleks dengan kontrakan beliau yang tidak sekota, termasuk diantaranya adalah aku. Mungkin tersebab pijatan tangan Mbah Upin yang enak dan terasa nyaman di badan, akhirnya tak hanya satu dua orang saja yang membutuhkan jasa beliau untuk memijat. Tak jarang beliau dipanggil memijat oleh warga kampung sebelah yang lumayan jauh dari perkotaan. Kebetulan aku dan Mbah Upin ini tinggalnya di area kontrakan yang berlokasi di tengah kota.
Sering orang yang hendak berpijat menyuruh orang suruhan memanggil/menjemput langsung ke kontrakannya Mbah Upin. Atau kalau tidak mereka akan menelepon langsung ke hape Mbah Upin untuk diminta datang ke alamat yang disebutkan oleh orang yang hendak pijat tersebut. Kalau alamatnya dekat Mbah Upin bisa menempuhnya dengan berjalan kaki saja, tapi kalau jarak rumah orang yang mau pijat itu jauh atau lumayan jauh maka Mbah Upin harus menggunakan jasa ojek untuk itu.
“Biasanya sehari memijat berapa orang, Mbah Pin?” ,tanyaku suatu ketika.
“Yo nggak tentu, Nduk, terserah orang yang menyuruh Mbah yang penting Mbah tetep istiqomah. Rejeki itu sudah ada catatan di tangan Gusti Allah loh, Nduk, jadi Mbah ini hanya menjalani saja apa yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa.”
“Kalau Mbah Pin pulang pergi harus naik ojek apa nggak rugi, Mbah? Uang hasil memijat cuma habis buat bayar ongkos ojek, dong!”
“Mbah ini nggak suka ngeluh, Nduk, kalo ongkos untuk bayar ojek diganti sama yang orang yang pijat ya Mbah terima kalo nggak ya ora po-po; tidak apa-apa.”
Aku memang paling suka bertanya apa saja tentang beliau kalau kebetulan aku sedang meminta tolong beliau untuk memijatku. Tentunya bukan menyuruh secara cuma-cuma, meskipun beliau adalah tetangga dekatku. Ketika aku menanyai perihal kehidupan beliau itu serasa banyak ilmu yang aku dapat. Yaitulah ilmu kehidupan yang barangkali tak akan kita dapatkan dari seorang professor sekalipun. Kadang selain uang sebagai upah aku memberinya makanan atau kue-kue yang empuk, tidak keras, juga kerudung-kerudung yang meskipun tidaklah baru tapi masih bagus dan layak pakai. Walaupun beliau sudah tua namun beliau tetap menutup auratnya dengan sempurna, meskipun tak jarang rok panjang sama atasannya terkesan kurang rapi; tidak mix and match dan begitu pula dengan kerudungnya.
“Kerudung Mbah sudah banyak kok, Nduk, lah kok dikasih lagi toh.”
Jujur saja aku sangat salut sama Mbah Upin ini meskipun beliau bisa dikatakan sudah uzur namun semangatnya dalam menjalani kehidupan justru patut dijadikan panutan bagi orang-orang di sekitarnya. Terutamanya bagi yang muda-muda. Semangatnya dalam beribadahpun tidak pernah loyo atau ibarat hangat-hangat tai ayam. Dimana tak sedikit orang yang bersemangat beribadah jika sedang butuh sama Tuhannya saja. Sebaliknya jika hidupnya sudah enak, badannya sehat, hartanya berlimpah, mereka melupakan keberadaan Yang Maha Kuasa. “Sholat itu nomer satu loh Nduk, jangan sampai ditinggalkan, jangan pula disepelekan. Sekarang kan banyak manusia kalo pas hidupnya susah, bubrah, sakit-sakitan, ape mati (hendak meninggal) pada nyari Tuhannya. Nah, setelah sudah jaya, mulyo, urip kepenak (hidup enak) jadi malas ngibadah, sholat bolong-bolong malah ada juga yang babar blas, nggak ngibadah sama sekali.”
Pernah juga suatu kali aku menayakan perihal anak-anak beliau.
“Lha Mbah Pin, putrane njenengan itu berapa?”
“Putranya Mbah ini ada empat, Nduk, sudah rumah tangga semua. Cucunya Mbah sudah enam.”
“Njenengan kok nggak tinggal di kampung saja Mbah Pin, kan enak dekat anak, bisa bercanda sama cucu.”
Sepengetahuanku orang kalau sudah tua harapannya adalah dekat sama anak-anaknya dan juga cucu-cucunya. Makan nggak makan asal kumpul. Seperti itulah pepatah lamanya.
“Oalah Nduuk…, Mbah ini nggak mau mbebani anak, kasihan kalau sampai merepotkan anak, iya kalau anak sudah makmur sandang pangan lancar lha kalo buat anak istri saja susah ketambahan ngrawat Mbah, kan nggak tega mberatkan anak. Mbah ini berdoa tiap pagi, siang, dan malam supaya dikaruniai sehat, seger, waras, dan terus ngibadah, bisa cari makan sendiri, nggak ngerepoti orang.”
Suatu kali aku pernah lihat beliau berjalan pulang ke kontrakannya dari habis memijat orang di gang sebelah sambil tangannya mententeng kantong kresek hitam ukuran tanggung. “Mbah Pin, bawa apa itu?”
“Ini sajadah kok, Nduk, buat Mbah taruh di mushola. Tiap Mbah sholat di sana sajadahnya sudah kelihatan bulak-bulak; pudar-pudar.”
Oh ya Mbah Upin ini tidak pernah absen sholat jamaahnya, di mushola depan kamar kontrakannya. Kecuali kalau waktu beliau tak sedang di rumah; sedang memijat orang. Memang mushola yang jaraknya beberapa meter dari kontrakanku ini ada sajadah yang sudah kurang layak pakai dan jumlah kesemuanya pun tidaklah banyak, hanya beberapa lembar saja.
“Mbah Upin beli di mana ini?” sambil tanganku membolak-balikan sajadah baru yang jumlahnya ada dua lembar.
“Di toko sebelah itu lo, Nduk.” Sambil jari telujuk beliau mengarah ke toko busana muslim dan peralatan sholat di seberang jalan yang tak jauh dari komplekku.
“Berapa harganya, Mbah Pin?”
“Hargane sembilan puluh lima ribu tapi yang jual baek kok, Nduk, Mbah suruh bayar sembilan puluh ribu saja. Jadi Mbah beli dua tadi. Nanti sehabis mandi Mbah bawa ke mushola sekalian sholat maghrib.”
Subhanallah.. beliau hidupnya boleh dikata sangat jauh jika dikatakan mewah, hidupnya apa adanya, tapi masih sempat memikirkan hal-hal yang seringnya daya pikirku saja tak menjangkau ke arah sana. Seringnya paling mengomel, menggerutu, dan menyalahkan pihak lain yang diamanahi sebagai pengurus mushola. Padahal sejatinya setiap kita kan memiliki kontribusi atas rumah Allah tersebut, tanpa tebang pilih dan saling tunjuk sini situ. Tanggung jawab si A si B dan sebagainya. Astaghfirullah.. segera aku beristighfar dan merenungi diri. Betapa dalamnya rasio beliau terhadap kepentingan umat manusia. Tanpa memandang hidupnya sudah mewah, berlebihan apa belum. Sungguh aku serasa menjadi orang yang sangat kerdil sekerdil-kerdilnya, egois, dan tak berharga. Bahkan sejak beliau membelikan sajadah untuk mushola, jadi banyak jamaah masjid yang akhirnya mengikuti jejak beliau, ada yang membeli sajadah, mukena, ada yang membeli beberapa buah kitab suci Al Quran, buku Yasiin, dan sebagainya. Ketika beliau sedang ada waktu senggang; tidak ada job memijat orang, biasanya beliau gunakan waktu tersebut untuk membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitaran mushola, menyapu dedaunan yang berjatuhan dari pohon yang ada di depan mushola, memunguti sampah-sampah plastic yang banyak bertebaran di halaman mushola, dan sebagainya. Banyak tetangga sekitar kontrakan yang membicarakan beliau, “Mbah Upin ini memang akas banget, orangnya sama sekali nggak bisa diam, adaa.. saja yang dikerjakan kalo lagi nggak mijat.”
“Mbah Pin, lebaran nanti rencana mudik nggak ke kampung halaman?” tanyaku ketika ketemu beliau pas sama-sama berbelanja sayur di pedagang sayur keliling. Beliau hanya membeli sebungkus kecil ikan asin dan cabai rawit.
“Lebaran tahun lalu Mbah sudah sambang (kunjung) ke kampung kok, Nduk, jadi tahun ini nggak pulang dulu tapi kirim duit buat anak cucunya Mbah di kampung. Supaya yang di kampung seneng bisa beli baju dan jajan roiyo (lebaran), lak ngono toh, Nduk?” Aku pun mengangguk mengiyakan perkataan beliau. Memang faktanya di kampung itu kalau lebaran suasananya sangat meriah jauh beda sama di perantauan. Di kampung lebaran tidak akan afdol tanpa baju baru dan jajanan apalagi anak-anak, lebaran dengan baju baru adalah suatu keharusan.
“Mbah Pin, putra njenengan apa nggak merasa kuatir apa kepikiran gitu sama Mbah soalnya Mbah Pin jauh di perantauan?”
“Yo sebenarnya Mbah ini disuruh pulang di kampung Lamongan, Nduk sama anak-anak, Mbah sudah tua. Tapi itu, Nduk, masih ada cita-cita Mbah yang belum kesampaian.
“Cita-cita apa toh, Mbah Pin?” Aku dirundung rasa penasaran dengan ungkapan beliau yang masih memiliki cita-cita di usia yang sudah tua. Sedangkan aku yang usia masih terhitung muda saja hampir-hampir sudah mati kutu kalau ditanya perihal apa cita-citamu. Huhhh.. aku cuma bisa mendesah dalam rasa gagal yang tak bisa diungkapkan.
“Mbah ini kepengeen banget naik kaji;haji, Nduk, pengen bisa ngibadah sampai tanah suci sana, Mbah ini nggak bisa bayangkan seperti apa rasa senangnya bisa ngibadah langsung di tanah suci.” Subhanallah.. cita-citamu sangat mulia Mbah Pin, aku memuji dalam hati.
“Nanti kalau Mbah bisa berangkat kaji, Insya Allah semua akan Mbah doakan, yo anak yo cucu biar hidupnya makmur, rejekinya berlimpah dan kelak bisa menjadi manusia yang banyak berguna buat agamanya, selalu dalam perlindungan Gusti Allah ingkang kuawos; Maha Besar agar selamat dunia dan akherat. Orang-orang yang baik sama Mbah semua Mbah doakan semoga dibalas kebaikannya sama Gusti Allah, Nduk.”
“Mbah Pin, jangan lupa saya juga didoakan ya , agar lebih semangat beribadah, lancar rejeki, juga bisa ikut pergi haji suatu saat nanti.” Aku tak mau kalah minta didoakan pula oleh beliau jika suatu saat impian Mbah Upin ini terkabul.
Kini sudah hampir setahun aku sudah tidak bertetanggaan dengan Mbah Upin. Tersebab aku dan suami serta anak-anak berpindah tempat tinggal di jalur yang lumayan jauh dari komplek semula. Beberapa kali pernah aku menghubungi beliau melalui hapenya, biasa untuk urusan memijat, aku sudah terlanjur cocok dengan pijatan tangan beliau jadi rasanya tak bisa pindah ke lain hati. Pernah juga sekali dua kali aku ketemu dengan beliau, tapi aku tak sempat menyapa, tak sampai juga untuk mengobrol. Beliau sedang di bonceng oleh tukang ojek waktu itu. Akhir-akhir ini waktuku juga banyak tersita dengan project baruku mengelola butik juga kesibukan mengurus anak-anak masuk sekolah. Jadi, aku lebih mengabaikan rasa pegal yang kadang muncul di kaki dan pinggang.
Pada musim haji bulan kemarin (Agustus) aku mendapat kabar dari beberapa rekan dan juga teman yang menjadi langganan pijat Mbah Upin kalau beliau ini ;Mbah Upin ikut kuota haji yang berangkat pada kloter ke-2. Pemberangkatan langsung dari rute Bandara Internasional Mozes Kilangin (Timika)-Jakarta-Jeddah. Subhanallah … aku tertegun sekaligus terharu mendengar kabar tersebut. Tak pernah aku menyangka jika cita-cita Mbah Upin diijabah langsung oleh yang Allah SWT. Ternyata tak cuma aku saja yang terkagum-kagum dan terharu dengan perjalanan hidup yang beliau jalani. Namun, hampir sebagian besar orang yang mengenal beliau merasa takjub dan merasa tercerahkan dari semangat yang tetap membara, tak pernah padam walaupun usia beliau yang semakin menua. Beliau banyak memberi manfaat bagi orang lain hingga bisa menjalankan rukun Islam yang kelima dengan biaya sendiri, hasil keringatnya sendiri, perjuangan yang tanpa lelah.
Beliau menabung sedikit demi sedikit dari upah memijat selama bertahun-tahun tentunya. Kalau ditelusuri riwayatnya, Mbah Upin ini hanyalah seorang tukang pijat yang upahnya dalam sehari seakan-akan tak akan cukup untuk biaya pergi berhaji. Paling hanya cukup untuk biaya makan sehari-hari dan bayar kontrakan rumah sangat sederhana yang menjadi tempat tinggalnya selama ini. Boleh dikata harapan dan cita-cita beliau untuk bisa pergi ke tanah suci hanyalah lamunan. Angan-angan kosong. Bagaikan pungguk merindukan bulan. Tapi memang benar adanya bahwa bulan adalah milik Allah, bukan milik manusia. Tuhan lebih tahu sejauh apa niat dan kesungguhan hampanya yang beribadah kepada-NYA. Berdoa siang dan malam tiada lelahnya. Walaupun harus bekerja keras membanting tulang tak mengenal lelah sebagai tukang pijat yang jauh di perantauan tapi beliau tak pernah patah semangat dalam menggapai cita dan cintanya terhadap ridho Allah SWT.
Selamat Mbah Sarpinah, kau adalah sosok inspirator buat kami. Kerja kerasmu hingga bisa menggapai cinta Illahi dengan bisa berangkat ke tanah suci membuka mata kami lebar-lebar. Anggapan kami selama ini hanya orang yang memiliki kelebihan secara financial saja yang berkewajiban menunaikan ibadah haji dan kami bisa berleha-leha dengan alasan “kami kan masuk golongan bukan orang kaya, jadi tidak memiliki kewajiban menunaikan haji donk!“. Andaipun kami sangat berkeinginan pergi berhaji paling-paling kami sudah pesimis duluan karena merasa bahwa kami tidak akan pernah mampu berangkat ke sana (tanah suci). Mengingat untuk bisa beribadah ke tanah suci membutuhkan biaya yang tak bisa dikatakan sedikit bagi kalangan swasta seperti kami. Swasta? PNS? Pengusaha? Pegawai rendahan? Sedangkan Mbah Sarpinah?? Beliau bukan dari kalangan yang mampu, banyak uang, apalagi konglomerat! Pegawai pajak bukan! PNS juga bukan! Tapi beliau tak mengenal itu, yang terpikir di kepala beliau hanya keoptimisan yang tinggi dan tak mengenal putus asa. Beliau yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah Swt pasti memberi jalan.
Sekali lagi figure Mbah Sarpinah ini yang sebagian orang mungkin mengatakan “hanya” seorang tukang pijat, yang tidak dapat tunjangan, tidak dapat THR, tidak dapat fasilitas apapun dari pemerintah atau dari lembaga manapun, pun tak ada kata hari libur, cuti bulanan, cuti tahunan buat beliau, tapi beliau tak pernah mencari-cari alasan untuk tak menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim yaitu pergi ke tanah suci untuk berhaji, beribadah yang hanya untuk mencari ridho Allah. Meskipun dengan itu beliau musti menekan biaya makannya sehari-hari, menahan keinginannya untuk makan makanan yang enak, menahan diri untuk tak membeli baju-baju baru atau jilbab-jilbab baru yang barang tentu meskipun beliau sudah tua namun keinginan memakai pakaian bagus dan membeli makanan enak pasti juga beliau rasakan tentunya. Selain itu beliau juga rela mempending mudik ke kampung halaman karena bujetnya beliau kumpulkan dari hari ke hari untuk biaya berangkat ibadah haji.
Semoga kisah nyata ini bisa menjadi inspirasi tiada henti buat kami. Maaf, tidak bisa menampilkan foto beliau mengingat saat ini beliau sedang berada di tanah suci Mekkah.
===
Penulis :
Asih Zakiyya Sakhie
FB: Zakiyya Sakhie
Twitter : Asih Zakiyya Sakhie @smartshopping10
–Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Menggunjing Tetangga 2016 yang diselenggarakan oleh The River Post – Berbagi Hanya yang Baik—
- Besse’, Fosil Homo Sapiens Tertua dari Sulawesi Selatan - 17/09/2021
- Indonesia Kembali Terima Vaksin Covid-19 Pfizer dan AstraZeneca - 02/09/2021
- Rindu - 28/03/2020