Ibu-ibu, Ayo Sekolah!

Artikel ke 7 dari 42 artikel dalam Topik : Lomba Menggunjing Tetangga 2016

Tinggal di satu kawasan dengan orang asing memang banyak tantangannya. Harus banyak sabar dan toleran, apalagi jika kebetulan “dijodohkan” dengan tetangga yang kelakuannya bikin pengen lempar sendal aja bawaannya, atau lebih parah pengen langsung jinjing koper, pindah ke lain tempat.

Menggunjing tetangga salah satu kegiatan pelepasan emosi. Apalagi kalau ketemu sama kawan senasib sependeritaan akibat ulah satu orang yang sama. Wiii… obrolan saling tukar informasi bisa sampai berjam-jam dan nggak berasa kalau energi negatif sudah menguasai kita. Kalau nggak ada lawan ngobrol, menggunjing tetangga bakal lebih viral lagi, karena curhatnya pindah ke media sosial. Walah…

Yang saya tulis di atas itu, pernah saya lakukan. Namun, syukurnya saya cepat sadar dan memperbaiki diri. Capek juga menghabiskan energi untuk hal-hal negatif. Sudah lelah nggak dapat manfaatnya lagi. Maka, saya mengalihkan energi negatif dengan mengamati dan ternyata sebetulnya banyak hal positif yang bisa kita dapat dari sekeliling kita.

Nah, mumpung ada kesempatan, saya mau berbagi cerita tentang salah satu tetangga yang sukses menginspirasi saya. Namanya Ajeng Nuraeni Patonah, saya memanggilnya Ajeng karena usia kami sebaya dan kami cukup dekat. Tetangga yang lain ada yang memangilnya Teh Ajeng atau Bu Adi (nama suaminya Adi).

Saya kenal Ajeng sudah lama. Kami berteman sejak tahun 1997, keluarga kami termasuk angkatan pertama yang menempati komplek tempat kami tinggal. Pada saat itu saya masih bekerja kantoran dan jarang kumpul-kumpul dengan tetangga kecuali acara arisan saja.

Tahun 2005 saya berhenti bekerja dan full time ada di rumah. Sejak saat itu saya semakin dekat dengan Ajeng dan satu orang lainnya namanya Ari. Akar keluarga kami yang berasal dari suku Sunda semakin mengeratkan pertemanan kami. Hampir tiap hari, kalau urusan rumah masing-masing sudah beres, kami menghabiskan waktu bersama. Bancakan (makan siang) bersama atau hanya sekadar rujakan menjadi agenda kebersamaan kami.

Tetapi lama kelamaan kegiatan seperti itu membuat saya bosan juga. Akhirnya saya membangkitkan hobi lama, membaca, dan kemudian merambah ke dunia kepenulisan, sampai sekarang. Walau demikian hubungan kekerabatan saya dan Ajeng tetap berlanjut, sedangkan Ari pindah ke Bandung.

Dari obrolan-obrolan kami, saya jadi paham kalau Ajeng semasa sekolah adalah anak yang aktif dan senang berorganisasi. Ajeng aktif di kepramukaan dan pernah menjadi Ketua OSIS di sekolah menengah. Kemudian Ajeng pindah dari Limbangan, Garut ke Bandung untuk meneruskan sekolahnya di sebuah SMA negeri. Saya juga tahu di sekolah Ajeng termasuk murid yang populer karena anaknya memang supel, mudah bergaul dengan siapa saja.

BACA:  Kang Sunandar, Pemberdaya Ekonomi Warga Sulek

Setamat SMA Ajeng melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi. Sayang di tahun kedua, Ajeng memutuskan untuk menunda kuliahnya. Alasannya, pada saat itu ibu Ajeng sakit dan perlu perawatan yang intensif. Orang tua Ajeng tinggal di Limbangan, Garut dan membutuhkan perawatan rumah sakit di Bandung. Awalnya, Ajeng merawat ibunya sambil kuliah, tapi kemudian sakit ibunya semakin parah sehingga butuh perhatian lebih serius. Kondisi kakak-kakak Ajeng yang sedang dalam masa penyelesaian kuliah tidak memungkinkan untuk merawat ibu, sedangkan dua orang adiknya masih kecil-kecil. Akhirnya, Ajeng lah yang berkorban menunda kuliahnya demi bisa merawat ibunya.

Kemudian ibunya punya keinginan, sebelum meninggal ingin melihat Ajeng menikah dulu. Saat itu Ajeng sempat berpikir, kalau menikah dulu kapan bisa meneruskan kuliahnya. Tetapi karena tak ingin mengecewakan ibunya, Ajeng akhirnya memutuskan menikah dengan harapan setelah menikah dia bisa meneruskan kuliahnya.

Namun, cita-cita Ajeng harus melalui jalan yang panjang dan berbelok-belok dulu. Setelah ibunya meninggal, Ajeng disibukkan oleh urusan rumah tangga dan anak-anak yang lahir kemudian. Belum lagi, Ajeng terbentur masalah izin dari suaminya yang masih keberatan kalau Ajeng meneruskan kuliah karena takut urusan keluarga terbengkalai. Kuliah bukan tertunda lagi tapi sudah harus dihentikan sama sekali. Ajeng mengalah, walau diam-diam masih menyimpan keinginan untuk kembali kuliah.

Setelah merawat ibu kandungnya, kemudian Ajeng pun harus melewatkan hari-harinya dengan merawat ibu mertuanya yang sakit dan penyakitnya juga cukup berat. Tanpa merasa terbebani, Ajeng merawat ibu mertuanya seperti merawat ibu kandungnya sendiri. Beberapa tahun dihabiskan Ajeng dengan merawat dua keluarga sampai ibu mertuanya juga meninggal.

Setelah anak keduanya menginjak usia sekolah (TK), di usia yang sudah tidak muda lagi, Ajeng mengutarakan lagi keinginannya untuk meneruskan kuliah. Karena sudah tak ada yang diberatkan lagi, suami Ajeng pun mengizinkan. Dengan bantuan dari kakak iparnya yang menjadi dosen, akhirnya Ajeng bisa kuliah kembali di sebuah sekolah tinggi di Bandung. Dan demi mencapai cita-citanya itu, Ajeng rela pulang pergi Serang-Bandung setiap akhir pekan, guna mengikuti kegiatan perkuliahan.

 

“Ajeng mah udah puas ngurus orang tua. Ibu, Bapak, Ibu Mertua semuanya diurus oleh Ajeng. Sekarang waktunya Ajeng mewujudkan impian diri sendiri, pengen maju sekolah lagi.”

 

Luar biasa melelahkan itu sudah pasti. Komitmen itu penting. Konsistensi juga harus. Demikianlah yang dijalani Ajeng selama aktif kembali ke bangku kuliah. Berbagi tugas dengan anggota keluarga yang lain lah yang meringankan langkahnya. Beruntung Ajeng memiliki suami yang pengertian dan anak-anak yang mandiri, sehingga Ajeng leluasa untuk mewujudkan cita-citanya.

BACA:  Mujahid, Sosok Pejuang Muda yang Gemar Bertetangga dengan Alam

Faktanya, bukan cita-cita lamanya saja yang memotivasi dirinya untuk kembali ke bangku kuliah. Dari cerita Ajeng, pertanyaan anak-anaknyalah yang memotivasinya untuk meraih gelar sarjana. Jadi suatu hari, anak sulungnya bertanya kenapa Mamih (panggilan anak-anaknya untuk Ajeng) bukan sarjana, padahal saudara-saudara Mamih yang lainnya sarjana. Ajeng menjelaskan sambil bercanda kalau mamihnya bukannya bodoh jadi nggak kuliah, tapi ada alasan lain dan diceritakanlah seperti yang sudah saya ceritakan di atas.

Ketika dia memiliki kesempatan kembali ke bangku kuliah, Ajeng ingin menunjukkan pada anak-anaknya, bahwa dia yang sudah berumur bisa dan masih semangat buat belajar, maka anak-anaknya yang masih muda pun pasti bisa dan harus lebih giat lagi belajar. Dia memberikan contoh untuk anak-anaknya. Keren deh Mamiiih…

Dan memang dampaknya pada anak-anak pun menggembirakan. Putra-putra Ajeng cukup berprestasi di sekolahnya. Anak sulungnya saja menembus sekolah paling favorit di kota kami.

Setelah lulus kuliah, Ajeng ingin mengamalkan ilmunya di lingkup yang lebih luas. Kebetulan dari teman pergaulannya yang luas ada tawaran untuk mengelola sekaligus mengajar di satu lembaga pendidikan untuk usia dini. Klop banget, karena Ajeng mengambil kesarjanaan di bidang pendidikan. Akhirnya, Ajeng pun terjun ke dunia pendidikan.

Sepertinya Ajeng menemukan kembali dunianya yang hilang. Ajeng yang dekat dengan anak-anak sekarang menjadi pengajar. Dia yang dulunya aktif berorganisasi sekarang mengelola lembaga pendidikan, otomatis sesekali akan mengikuti pelatihan untuk guru, berhubungan dengan pihak-pihak lain di bidang kependidikan, bertemu dengan kolega dari sekolah-sekolah lain.

ajeng

Ah, senangnya sekarang dunia Ajeng nggak melulu hanya di lingkungan komplek. Dulu paling kalau keluar rumah paling jauh ke rumah saya, karena rumah saya letaknya paling ujung di komplek kami.

Dan dengan energinya yang nggak ada habis-habisnya plus kreatifitasnya yang nggak pernah putus, Ajeng pung mengajar murid-muridnya sampai meraih berbagai prestasi di ajang lomba antar sekolah.

ajeng2

Begitu pula di antara para guru. Walau usia Ajeng mungkin jauh di atas rata-rata usia guru baru yang masih muda-muda, tapi keceriaan Ajeng cepat menular. Pokoknya, di mana pun ada Ajeng pasti suasana jadi seru.

BACA:  Erna, Sang Pendekar Lingkungan

ajeng3

Melihat perkembangan Ajeng, saya menyadari tak ada kata terlambat untuk mengembangkan diri. Bagi yang merasa sudah pasrah hanya sebagai ibu rumah tangga saja, apalagi merasa terpaksa dan terjerumus, segera enyahkan pikiran negatif di benak Anda. Pikiran seperti itu sangat salah.

Tak ada kata terlambat untuk terus belajar. Kata sekolah di judul, saya maksudkan dalam pengertian “belajar”, apakah itu di lembaga formal atau non formal. Pendidikan untuk mengembangkan diri bisa diusahakan dengan niat yang serius dan tentu saja ikhlas untuk bekerja keras. Habiskan waktu dengan hal-hal berguna dan bermartabat daripada menghabiskan waktu di rumah tetangga dengan gosip yang itu-itu juga.

Jika niat dan kerja keras sudah mampu dijalani, selanjutnya tinggal manfaatnya saja yang kita terima, dan jika ingin semakin lengkap, bagikan juga manfaat itu ke masyarakat. Bukankah sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain?

Sebab itulah saya membagikan pengalaman hidup Ajeng ini, semoga menjadi penggugah kesadaran dan memotivasi bagi siapa saja yang masih merasa terhambat untuk meneruskan pendidikan, khususnya para ibu rumah tangga.

 

Penulis:

Ina Inong

Facebook : Marina Ina Inong
Twiter : @inongina
–Artikel ini diikutsertakan dalam yang diselenggarakan oleh The River Post – Berbagi Hanya yang Baik
Artikel dalam Topik Ini : << Kang Mas’ud, Langkah Pejuang Difabel dari Pelosok Desa hingga Negeri SakuraDari Pojok Bekasi ke Luar Negeri >>

Leave a Reply

Silakan dibaca juga