Hidup adalah perjuangan dan mimpi. Berhenti berjuang sama dengan berhenti bermimpi. Berjuang dan terus melangkah sekalipun jalan-jalan yang dilalui terasa menyakitkan. Itulah yang aku lihat dari Popo. Popo aku memanggilnya, teman-temannya memanggilnya Plo. Popo adalah tetanggaku di kampung sekaligus juga sepupuku. Popo adalah seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta di Medan. Dari kecil dia bercita-cita menjadi seorang guru. Orang tua popo adalah petani dan tinggal di sebuah desa di Kabupaten Karo. Jalan kehidupan siapa yang menduga. Tidak ada. Itulah yang terjadi pada Popo, orang tuanya mengalami kerugian beberapa kali musim tanam. Ibu Popo juga sudah sering sakit. Beruntung kakak Popo sudah menyelesaikan kuliahnya. Tetapi hati Popo begitu resah antara tetap kuliah dan berhenti. Dalam pertimbangan yang tanpa batas, ketika Popo bersama ibunya.
“Bu, aku berhenti saja kuliah”.
“Tidak, kamu harus tetap kuliah”.
“Tapi bagaimana dengan biayanya”.
“Kuliah saja, jalani saja nanti pasti ada jalan”.
Akhirnya Popo memutuskan tetap melanjutkan kuliahnya. Tetapi dengan konsekuensi dia harus membantu orang tuanya untuk membiayai kuliahnya. Saat itu kakak Popo masih mencari pekerjaan. Suatu hari Popo datang ke rumah.
“Kak, aku sudah banyak menyusahkan kakak dan terlalu sering meminjam uang kakak dan sampai hari ini belum bisa kukembalikan. Tetapi aku masih butuh uang. Tolong aku yang mencuci pakaian kakak dan kakak berikan upahnya sesuka hati kakak, aku akan pulang kampung seminggu sekali”. Popo sangat memohon.
Aku tidak bisa menolaknya. Sejak hari itu Popo yang mencuci pakaian kami sekeluarga. Popo mencuci pakaian pukul 05.00 WIB pagi. Dia harus mencuci pakaian ke pemandian umum. Biasanya selesai dua jam. Setelah itu Popo harus bekerja sebagai upahan di ladang orang dari jam 08.00 s/d 15.00 WIB, terkadang pemilik ladang meminta untuk lembur karena pekerjaan yang terbengkalai sehingga terkadang Popo harus bekerja sampai jam 18.00 WIB. Jika lembur satu hari Popo bisa memperoleh upah Rp. 100.000,- /hari.
Selain itu Popo juga harus tetap membantu orang tuanya di ladangnya sendiri. Dia juga harus mengambil air dari pemandian umum setiap hari sebagai persediaan air di rumah, untuk kamar mandi dan memasak. Itulah aktivitas Popo saat tidak ada kuliah atau sedang libur. Hampir setiap tidak ada kuliah atau ada libur Popo pulang kampung. Apalagi dari Medan ke Berastagi dapat ditempuh hanya dengan 2 jam. Teman-teman Popo sering mengajaknya untuk jalan-jalan.
“Po, besok kan liburan, ayok kita jalan-jalan atau belanja”.
“Tidak, aku harus pulang kampung”.
Itulah jawaban Popo setiap teman-temannya mengajaknya. Terkadang Popo ingin sekali memiliki kehidupan seperti teman-temannya. Kuliah, belajar, jalan-jalan, nongkrong dan jika uang sudah habis tinggal minta ditransfer orang tua. Dia sering curhat padaku terkadang dengan deraian air mata.
“Kak, aku ingin sekali memiliki kehidupan seperti teman-temanku”.
“Po, kita harus mensyukuri kehidupan kita sendiri, lagipula kita tidak tahu kehidupan mereka sebenarnya, kita tidak tahu kesulitan dan masalah apa yang mereka hadapi dalam hidupnya. Kita tidak tahu jalan yang bagaimana yang mereka telah lalui sebelumnya. Jikapun saat ini kehidupan mereka lebih baik, kita tidak tahu apa yang akan mereka alami selanjutnya”.
“Tapi terkadang aku jenuh kak”.
“Jangan menyerah, saat sulit ini pasti akan berakhir. Coba belajar dari kehidupan yang masalahnya lebih besar dari kamu. Yang perjuangannya lebih berat darimu. Keluarganya lebih rumit dari kamu. Kenapa mereka masih bisa tegak berdiri? Karena mereka masih memiliki yang namanya pengharapan. Padahal kalau dibandingkan, jalan yang kamu lalui tidak seberapa dibanding dengan jalan yang harus mereka lalui”.
“Tapi aku berbeda dengan mereka, mereka kuat sementara aku rapuh”.
“Karena Tuhan tahu kamu rapuh sehingga dia hanya mengizinkan kesulitan yang kamu alami sekarang. Kalau kamu kuat maka pasti jalan yang kamu lalui lebih sulit dari yang kamu alami sekarang”.
“Aku akan belajar untuk tetap kuat dan tidak pernah menyerah”.
“Itu baru Popo yang aku kenal”. Aku memeluknya. Meyakinkannya bahwa dia bisa melalui semuanya.
Popo terus berjuang untuk bisa menyelesaikan kuliahnya. Dia mandiri. Kelihatan kuat karena tubuhnya yang tinggi dan sedikit gemuk. Tetapi sesungguhnya hatinya begitu rapuh. Tapi yang tahu hatinya, hanya aku. Semua orang mengira dia adalah perempuan hebat dan kuat.
Pernah ketika ibunya sakit, sementara sudah waktunya harus menanam padi di ladang. Popo hanya punya waktu dua hari libur. Dan harus kembali ke Medan. Popo memutuskan untuk tetap menanam padi. Pagi subuh Popo harus memasak dan membuat makanan untuk ibunya. Malam sebelumnya dia mencari beberapa orang di kampung yang bisa bekerja di ladangnya. Juga meminjam benih padi dari tetangganya. Setelah itu Popo dan orang-orang itu menanam padi diladangnya sampai selesai. Popo harus mengatur semuanya. Sendiri. Banyak hal yang bagiku luar biasa dapat dilakukan Popo. Bahkan jika ada masalah dalam keluarganya, dia yang mengurus dan menyelesaikannya. Tetap dalam semua yang dijalani Popo, dia masih dapat meraih nilai yang bagus.
Kulitnya rusak dibakar teriknya matahari. Dalam seminggu rata-rata Popo dua hari harus keladang. Kulitnya tidak semulus teman-temannya tetapi Popo tidak mempedulikan itu. Yang terpenting baginya saat ini adalah bagaimana untuk menyelesaikan kuliahnya dengan secepatnya. Kini Popo sudah menyelesaikan kuliahnya dan perjuangan berikutnya adalah mencari pekerjaan. Aku berharap Popo akan mendapat pekerjaan dan dapat mengabdikan ilmunya. Itulah Popo dan kehidupannya.
Setiap orang memiliki kehidupan yang berbeda dengan masalah yang berbeda. Tetapi jangan pernah menyerah, sekalipun kita belum melihat ujung jalan yang kita lalui. Selalu ada harapan selama mentari masih bersinar dan selama kita masih diberi kesempatan untuk ada di dunia ini. Jika kaki kita tidak lagi kuat untuk melangkah setidaknya kita masih bisa bertahan sampai kita memiliki kekuatan kembali untuk melanjutkan perjalanan kehidupan ini. Terkadang kehidupan orang lain nampak lebih baik dari kita, tetapi kita tidak tahu jalan yang mereka telah lalui, kita tidak tahu apakah yang akan terjadi selanjutnya pada kehidupan mereka dan kita juga tidak bisa memastikan bahwa kehidupan yang nampak lebih baik bisa menjamin kebahagiaan. Siapa tahu dalam kesulitan dan penderitaan yang kita alami, kita lebih bahagia. Apa yang nampak indah di mata belum tentu itu adalah cerminan hati. Belajar mensyukuri kehidupan yang kita jalani.
Penulis :
Herwina Tarigan
lahir di Berastagi, 30 Mei 1979. Pendidikan terakhir adalah S2 Jurusan Magister Admistrasi Publik di Universitas Brawijaya, Malang. Suka menulis dan traveling. Saat ini bekerja di salah satu instansi di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Dengan akun facebook : Wina Tarigan, Twitter : @winatigan dan email : herwinatarigan@yahoo.com
–Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Menggunjing Tetangga 2016 yang diselenggarakan oleh The River Post – Berbagi Hanya yang Baik—
- Besse’, Fosil Homo Sapiens Tertua dari Sulawesi Selatan - 17/09/2021
- Indonesia Kembali Terima Vaksin Covid-19 Pfizer dan AstraZeneca - 02/09/2021
- Rindu - 28/03/2020