Lestari Masih Ingin Pergi

Ia masuk ke kamarku dengan memakai tanktop berwarna putih yang kontras dengan kulit gelapnya. Aku sebetulnya ingin bilang, tak cocok juga tanktop itu dengan perutnya yang bergelambir, tapi bukankah aku sudah sepakat soal anti-bullying bentuk badan. Tapi, dadanya itu besar sekali dan nampak kemana-mana. Sudah beberapa hari aku dengar orang-orang membicarakan dadanya itu, bukan soal bagus atau menarik, tapi mengolok-olok. Perempuan ini memang selalu jadi bahan olok-olok sejak kecil. Ia temanku main bola bekel, ketika aku pergi ke Solo untuk belajar, ia pergi ke Malaysia untuk menjadi buruh migran.

Aku mengelus rambutnya yang dicat merah. Kubilang, rambutku selalu sia-sia jika kucat merah karena selalu luntur jadi warna kuning jagung setelah beberapa kali berenang. Sambil mencandainya begitu, sebetulnya aku ingat, sekali lagi sebuah olok-olok, soal perempuan desa yang selalu bertingkah norak sepulang menjadi Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia dan Singapura. Norak yang mereka maksud kira-kira yang seperti perempuan teman mainku ini: memakai tanktop dan hotpants di kampung, serta rambut bercat dengan potongan yang tentu saja dianggap tak sesuai tampang ndeso. Aku juga tak paham sejatinya apakah pendapat itu merupakan bagian dari tradisi prison of society alias masyarakat yang gemar menciptakan penjara bagi orang lain di sekitarnya, atau jangan-jangan, political correctness alias kepatutan hidup agar seimbang memang harusnya seperti yang diucapkan masyarakat.

BACA:  "iPad" Ternyata Sudah Dipakai di Indonesia Sejak Zaman Penjajahan Jepang

Jare Ibukmu, kowe kuliah Basa Inggris? Aku diajari to.” Ia memandangiku dengan mata duapuluhan tahun lalu, ketika kami masih sama-sama lugu bermain bola bekel. Belum seperti sekarang, ketika kami harus berpikir soal bagaimana bertanggung jawab pada hidup.

Lha kowe ning Malaysia kan kudu omong basa Inggris. Kudune aku sing njaluk ajari…

Hahaha aku ora iso basa Inggris. Aku di sana ngomong pakai bahasa Isyarat. Eyang juragan yang paham banget kodeku. Jadi, eyang juragan yang nerjemahin ke nyonya atau tuan kalau aku lagi pakai bahasa isyarat.”

“Cah edan. Padahal kan sudah lima tahun.” (dengan bodohnya saat itu aku malah menerangkan tentang konsep language philosophy-George Yule padanya. Ia tentu saja tidak mengerti).

Aku tentu saja bertanya soal laki-laki, soal apakah ia punya pacar. Ketika remaja di kampung, ia selalu dibully, tidak ada yang naksir.

“Wah yang naksir aku di sana banyak. Berapa ya, satu, dua, tiga. Ada di Singapura, ada di Serawak…”

“Lho kamu gimana ngatur jadwal kencannya?”

“Ya nggak kencan. Wong cuma lewat hape.”

Aku cuma tertegun. Dari ceritanya, ia justru seperti seorang gadis yang rugi bandar karena ditipu laki-laki asing lewat rayuan via gadget.

BACA:  Ambisi Orangtua yang Bisa Membunuh Bahasa

Dia Lestari. Sewaktu kecil, ia diminta Budhe Tarmi dari ibu kandungnya yang miskin. Ya, Budhe Tarmi, pemilik warung makan di ujung selatan gang yang hobi bilang jembut dan asu ke anak-anak kecil itu.

“Kapan kamu balik ke Malaysia? Kenapa nggak di rumah aja sih? Jualan saja… Kamu sudah lima tahun kerja keras di negeri orang, sudah bisa beli tanah, eh pulang-pulang tanahnya udah kejual lagi. Dihabisin buat judi sama Dhe Tarmi to.”

“Belum tahu. Kemarin pemeriksaan Depnaker, aku belum dapat ijin karena indikasi TBC.”

“Di rumah saja… Nggak usah berangkat lagi.”

“Kalau di rumah malah makin stres. Mending pergi…”

Kami berpelukan. Kutinggalkan kecupan pada rambutnya. Lestari, teman main masa kecilku itu, juga seorang Muslimah. Dulu kami pergi mengaji ke madrasah bersama, juga pergi salat jamaah maghrib bersama. Kadang-kadang aku melihat surga terbentang untuk semua keluguan yang dimilikinya. Aku tak memiliki hak pada surga, betul-betul tidak.

Leave a Reply

Silakan dibaca juga