Mbah Kasman, begitulah kami para tetangga memanggilnya. Kata ibuku beliau adalah salah seorang pejuang perang pada masa penjajahan Jepang. Aku tak tahu pasti sejarahnya gimana tapi semua warga desaku mempercayai kalau Mbah Kasman dulunya memimpin sekelompok pemuda untuk merebut sebuah pabrik tebu yang tengah dikuasai Jepang. Tapi kini beliau hanya tinggal seorang diri di sebuah rumah tua di pinggiran desa, rumah itupun merupakan hibah dari tetangga. Kata ibuku juga, istri dan anaknya dulu meninggal karena ditembak oleh tentara jepang. Beliau sudah tak memiliki sanak saudara lagi, hanya orang tuaku sesekali menjenguknya karena buyut kami merupakan teman seperjuangan Mbah Kasman.
Percakapan pertamaku dengan Mbah Kasman adalah saat aku disuruh ibuku mengantarkan makanan untuk beliau. Mulai saat itulah aku mengenal sosok Mbah Kasman yang sebenarnya, menurutku beliau benar-benar merupakan sosok pejuang. Tak seperti cerita sejarah dari orang-orang tua yang membosankan, Mbah Kasman menjelaskan secara rinci sekali strateginya menghadapi jepang. Kalau melihat cara berpikirnya, aku yakin waktu mudanya dulu dia sangatlah cerdas. Pekerjaan Mbah Kasman saat ini adalah pembuat mainan dari kayu, yang nantinya akan beliau jual ke anak-anak SD. Pernah aku bertanya mengapa beliau tak mendaftar ke PEMDA setempat pada saat pendataan veteran perang, kan lumayan bisa dapet tunjangan dari pemerintah. Dan jawaban beliau cukup membuatku tercengang,
“Saya bukan tentara, saya hanya rakyat biasa. Tapi ketika ada yang mengusik Negara ini, maka tak ada lagi istilah rakyat biasa atau pun tentara, semuanya wajib untuk angkat senjata.” Begitulah kira-kira inti dari jawaban beliau dalam bahasa Indonesia.
Hal kedua yang menarik dari Mbah Kasman adalah beliau selalu mengibarkan bendera merah putih pada sebuah tiang bambu di depan rumahnya. Hampir setiap pagi beliau berdiri tegak mengahadap bendera merah putih, memberikan hormat sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya. Seluruh tetangganya sudah hafal kebiasaan beliau tersebut. Di usianya yang sudah tua renta, suaranya masih sangat lantang dan penuh semangat dalam menyanyikan lagu Indonesia Raya. Karena penasaran aku pun menanyakan mengapa beliau melakukan hal itu, dan inilah kira-kira jawaban beliau dalam bahasa Indonesia,
“Berapa kali kau mennyanyikan lagu Indonesia Raya dalam seminggu? Paling Cuma sekali, tiap upacara hari Senin saja. Berapa kali kau memberi hormat kepada bendera merah putih dalam seminggu? Paling juga Cuma sekali juga. Paling sering mungkin Cuma saat 17 Agustus. Padahal lagu ini dan bendera ini lah satu-satunya semangat kami untuk mengusir para penjajah.”
Sekali lagi aku merasa tertampar sebagai generasi muda. Mengapa kita sebagai generasi muda penerus bangsa ini, tak bisa menyempatkan sekitar 3-5 menit setiap harinya untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya dan memberi hormat kepada bendera merah putih. Aku merasa benar-benar keterlaluan.
Tapi Tuhan telah mencukupkan perjuangan beliau di tahun 2012 yang lalu. Mbah Kasman menghembuskan nafas terakhirnya setelah sakit selama beberapa hari. Dan yang membuatku lebih terharu adalah, beliau masih sempat mengucapkan lirik-lirik lagu Indonesia Raya menjelang hembusan nafas terakhirnya.
Mulai saat itu karang taruna di desa kami mulai berinisiatif untuk memprogramkan upacara bendera untuk para pemuda, di hari meninggalnya Mbah Kasman dan tiap tanggal 17 Agustus, tempatnya di halaman rumah Mbah Kasman. Dan ternyata program itu terus belanjut sampai saat ini.
Penulis:
Putra Dewangga Candra Seta
FB: Dewangga Candra Seta
––Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Menggunjing Tetangga 2016 yang diselenggarakan oleh The River Post – Berbagi Hanya yang Baik—