River, aku masih ingat waktu Suster Irma membawamu keluar dari ruang bersalin. Ibumu belum sadar setelah menjalani operasi caesar. Operasi itu terpaksa dilakukan karena, kata dokter, kepalamu terhalang tulang pinggul ibumu. Kepalamu tidak mau masuk ke jalan lahir bahkan setelah dua kali induksi.
Di depan pintu kamar operasi bersalin itu aku menyambutmu. Kamu merah dan besar. Dan memang akhirnya terjawablah kenapa kamu susah keluar itu. Setelah ditimbang, beratmu 4 kilogram lebih, Nak. Mantap!
Dijejer dengan bayi-bayi lain yang baru lahir hari itu, kamu memang tampak paling besar. Seperti kepala suku. Hehehe.
Waktu itu sempat muncul kekhawatiran, takut nanti kamu berbakat obesitas dengan berat segitu. Bukan apa-apa, Nak, ayahmu ini punya pengalaman buruk dengan obesitas. Hampir setengah usiaku ini aku berjuang melawan berat badan berlebih. Berat berlebihan itu tidak menyenangkan. Percayalah.
Tapi rupanya makin ke sini, kekhawatiranku tidak terbukti. Malah justru seperti bergerak ke arah sebaliknya. Beberapa kali cek ke dokter, berat badanmu justru tidak bertambah banyak. Salah seorang dokter malah pernah menakut-nakuti dengan dugaan gagal tumbuh, karena beratmu tidak bertambah menurut grafik yang dia miliki. Ampun!
Aku sempat galau, Nak. Rasanya tidak terima. Aku bahkan pernah diam-diam menyalahkan ibumu yang tidak mau memberimu susu formula. Dugaanku waktu itu, kamu kurang gizi karena program ASI eksklusif itu. Ibumu betul-betul enggan memberimu susu formula. Ibumu orang yang teguh pendirian, sedangkan aku adalah ayah yang digempur informasi salah dan mitos-mitos. Maklumlah, namanya juga ayah baru.
Belakangan aku baru berusaha mencari informasi yang benar tentang peranan ayah untuk membantu pemberian ASI eksklusif untuk bayi. Di website Ayahbunda.co.id, aku menemukan artikel menarik ini: Menyusui Ala Ayah ASI dan juga artikel ini: Ayah Pun Ikut Menyusui. Di kedua artikel itu disebutkan mengenai betapa pentingnya bagi seorang ayah untuk menjadi “cheerleader” bagi istrinya saat menyusui. Dukungan seorang ayah akan menjadikan sang ibu senang dan bahagia, yang ujung-ujungnya akan membantu menghasilkan hormon prolaktin dan oksitosin yang penting untuk produksi ASI.
Syukurlah, Nak, di tengah-tengah rangkaian keraguan itu, kamu berhasil lulus ASI eksklusif. Kamu baru berhenti menyusu tepat di usia 2 tahun. Soal berat badanmu yang agak lambat naik itu, tidak jadi persoalan lagi bagiku. Sekarang usiamu sudah 2,5 tahun, dan beratmu masih berkisar 10-11 kilogram. Kurus sih. kalau kamu buka baju, tulang rusukmu kelihatan seperti piano. Hehehe. Tapi tak apa-apa. Aku baca di rubrik tanya jawab Ayahbunda.co.id, banyak kok yang mengalami nasib seperti kita. Asalkan sehat dan lincah-lincah saja, tak perlu khawatir, katanya.
Yang penting harus menjaga pola makan supaya gizimu tetap terpenuhi. Setelah lepas dari ASI itu, Nak, kamu memang sempat mengalami susah makan. Aku sering heran, Nak, bagaimana mungkin orang bisa bermasalah dengan makanan. Mungkin karena membandingkan diriku yang dulu bisa memakan apa saja, aku jadi agak susah percaya kalau ada anak yang susah makan. Tapi nyatanya memang ada.
Mungkin karena dulu pilihan makanan tidak banyak, jadi anak bayi dikasih air tajin pun akan lahap makannya. Sekarang pilihan makin banyak, anak balita sekarang seperti kamu bisa buka kulkas sendiri dan memilih makanan yang dilihat. Konsekuensinya orangtua seperti aku harus belajar banyak lagi. Artikel di ayahbunda.co.id mungkin bisa membantu para orangtua untuk Membentuk Pola Makan Sehat bagi Balita.
Intinya sih, jadi orangtua itu harus banyak-banyak belajar dan bertanya. Kita banyak dikelilingi mitos dan ajaran-ajaran. Banyak yang benar, tapi yang keliru pun tidak sedikit. Maka penting untuk selalu mencari tahu. Kata orang bijak, didiklah anakmu sesuai zamannya. Ini berlaku juga untuk proses tumbuh kembang. Bunyi nasihat itu bisa berubah jadi: besarkanlah anakmu sesuai zamannya.
Dulu, waktu kecil, kalau kita demam sedikit saja, dokter sering dengan mudahnya memberi kita parasetamol, tetra, atau CTM. Orangtua kita tidak punya daya tawar, karena informasi yang mereka punya memang terbatas. Sekarang seharusnya tidak lagi. Orangtua yang baik bisa browsing di internet atau berdiskusi dengan dokter-dokter yang tercerahkan di website tentang ibu dan anak. Dengan begitu, mereka bisa tahu apa yang benar-benar mereka butuhkan. Bukan hanya soal perdebatan susu formula atau suplemen makanan untuk bayi, tapi bisa lebih dari itu. Proses untuk belajar itu sendiri yang jauh lebih penting.
Sehingga benarlah, Nak, bahwa membesarkan anak itu bukan hanya ladang pahala, tapi juga ladang ilmu.
–tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog “Aku dan Ayahbunda”
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023