Anakku River, sering jika bisa pulang lebih cepat, aku suka singgah di studio di lantai 1 bila di situ ada keramaian. Dan memang hampir selalu ada ramai setiap hari. Mulai dari acara-acara musik live hingga variety show. Apalagi belakangan ini, hampir tiap Sabtu atau Minggu kalau kebetulan harus ngantor di hari itu, aku tak langsung pulang. Aku suka singgah menonton Brandon, Fay, dan JP Millenix. Bahkan sering aku sudah menongkrongi bangku paling belakang di studio 1 itu pada hari Jumat malam. Pada saat itu mereka biasanya ada reherseal atau gladi resik untuk penampilan esok hari.
Aku suka melihat mereka bercanda di sela-sela latihan. Tiga anak peserta talent show Indonesia Mencari bakat (IMB) itu memang lucu-lucu. Pernah aku lihat Brandon membantu Fay melatih handstand-nya, begitupun sebaliknya. Atau tiba-tiba Brandon berlari ke drumset JP dan memukuli semua perangkat yang ada di situ saat JP sedang mendengar pengarahan dari director. Lucu. Mereka tetaplah anak-anak, betapapun mereka terlibat begitu kuat dalam bisnis orang dewasa ini.
Dan di saat-saat seperti itulah, aku selalu mengingatmu dan membayangkan seperti apa kelak kamu akan tumbuh, Nak. Kelak akan cukupkah gizimu hingga tulang-tulangmu kuat seperti Brandon dan Fay? Atau apakah aku akan punya cukup uang untuk membelikanmu drumset seperti punya JP itu? Mengawang-awang ya? Tapi begitulah, Nak. Namanya ayah, pasti selalu ingin membuat anaknya bahagia.
Suka atau tidak, sejak kamu hadir, aku jadi lebih gampang tersentuh, gampang terharu setiap kali melihat anak kecil. Anak kecil yang bahagia atau menderita. Sering tanpa tahu alasannya, tiba-tiba terasa seperti ada yang menyentak di hati. Pernah, aku bahkan tak mau lagi menonton berita kriminal yang korbannya anak-anak. Gak tega rasanya, Nak.
Bahkan hingga ke hal-hal yang mungkin menurutmu sepele. Suatu sore sepulang liputan, aku melihat seorang anak kecil –umurnya mungkin sekitar 5-6 tahun, duduk di pinggir jalan. Di sebelahnya berderet jaket-jaket yang aku duga sebagai dagangan orangtuanya. Tapi aku tak melihat ayah atau ibunya, hanya ada si bocah laki-laki itu sendirian di situ. Mungkin mereka sedang ada perlu dan meminta si anak itu menjaga dagangan. Dan seperti yang aku bilang tadi, Nak, rasa sesak yang tak tahu apa namanya itu muncul lagi. Seolah-olah aku bisa merasakan kepedihan dan kesendirian anak itu, hanya dari melihat caranya duduk berjongkok sambil mempermainkan sesuatu di dekat kaki kirinya. Tak peduli dia pada arus lintas lintas yang seperti beterbangan di depannya. Dan rambutnya yang jingkrak itu, Nak, persis rambutmu ketika kamu baru lahir. Tiba-tiba aku ingin cepat pulang dan memelukmu. Memelukmu dan berjanji akan melindungimu dari kenyataan hidup yang paling pahit. Semampu tanganku. Karena ini aku seorang ayah, dan kamu akan tetap menjadi seorang anak, bahkan ketika kelak badanmu sudah lebih tinggi dari aku.
Aku punya seorang teman yang sebentar lagi akan menikah. Saat akan mengunjungi orangtuanya yang tinggal berlainan kota, dia menulis di status FB-nya kira-kira begini: ini kepulanganku yang terakhir sebagai seorang anak. Maksudnya tentu saja bahwa setelah ini dia bukan lagi sekadar seorang anak, dia akan menjadi istri dari seseorang. Kira-kira begitu. Tapi kakaknya yang marah-marah tidak sepakat dengan kalimat itu dan menyuruhnya menghapusnya. Dalam konteks yang terbatas, aku sepakat dengan kakaknya itu. Bagaimanapun kondisi kita, kita tidak akan pernah berhenti menjadi anak.
====
Tadi sore aku bertemu seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya. Umurnya sepantaran ibuku. Ibuku lahir tahun 1951, dan ibu yang aku ceritakan padamu ini lahir tahun 1952. Anak yang dia sayangi itu mungkin juga sepantaran aku sekarang, seandainya dia masih hidup. Bernardinus Realino Norma Irmawan namanya, biasa dipanggil Wawan. Wawan tewas tertembak pada tanggal 13 November 1998 dalam sebuah peristiwa kaostik yang kita kenal sebagai Tragedi Semanggi 1. Dan sang ibu, Maria Catarina Sumarsih, nyaris tak sehari pun luput menziarahi makam anaknya. Setiap hari, setelah 12 tahun berlalu, Ibu Sumarsih datang menegok dan merawat makam Wawan.
Tadi itu, Nak, adalah hari Kamis ke-170 Ibu Sumarsih berdiri di depan Istana Merdeka, tempat presiden kita, Pak Beye, biasa bekerja mengurusi hal-hal yang dia anggap penting. Bu Sumarsih bersama belasan keluarga korban pelanggaran HAM kembali mendatangi halaman Istana Merdeka dan berdiri berjajar selama kurang lebih 1 jam. Berdiri saja. Karena dilakukan setiap hari Kamis, aksi diam ini dinamakan Aksi Damai Hitam Kamisan atau Aksi Kamisan. Tak peduli hujan atau terik, Bu Sumarsih datang membawa payung hitam, berpakaian hitam, dan berdiri menatap ke arah Istana Merdeka yang dijaga tentara. Sudah 170 hari Kamis Bu Sumarsih tak berhenti memperjuangkan keadilan atas anaknya yang mati terbunuh. Bersama Bu Sumarsih, belasan keluarga korban lain juga menuntut keadilan dan menolak impunitas terhadap para pelaku kejahatan dalam kasus Tanjungpriok 1984, Talangsari, Mei 1998, Pembunuhan Munir 2004, dan berbagai kejahatan kemanusiaan di masa lalu yang tak kunjung diadili.
Aksi Kamisan ini dimulai pada tanggal 18 Januari 2007, terinpirasi oleh gerakan yang sama di Argentina. Pada suatu sore di tahun 1977, sekelompok ibu-ibu dengan kerudung kepala berwarna putih mendatangi Istana kepresidenan Argentina di Buenos Aires. Di depan istana kepresidenan Argentina, di sebuah plaza bernama Plaza de Mayo, para ibu itu berdiri diam. Dalam diam itu mereka menyampaikan protes atas hilang dan terbunuhnya anak-anak mereka oleh kekejaman junta militer Argentina saat itu. Dan aksi ini terus berlangsung selama lebih dari 30 tahun, dan ibu-ibu yang melakukan aksi itu akhirnya terkenal ke seluruh dunia dengan nama Asociacion Madres de Plaza de Mayo atau Ibu-Ibu Plaza De Mayo.
Setelah kurang lebih sejam berdiri, Bu Sumarsih, pensiunan pegawai negeri sipil itu, menyudahi aksinya hari ini. Aku membantunya menggulung kain hitam berisi foto-foto korban yang tadi digelar dekat kakinya. Aku sempat bertanya, apa yang membuatnya begitu kuat menjalani aksi protes ini. 170 kali berdiri di depan Istana Merdeka tanpa mendapat perhatian, bahkan lebih sering dianggap seperti “orang gila”, bukanlah pekerjaan sepele. Hanya orang kuat yang bisa melakukannya.
Dan jawabannya hanya satu kata. Satu kata yang mungkin sudah berhamburan kita umbar kepada puluhan pria atau wanita sehingga nyaris tak bermakna lagi. Cinta.
Bagi Ibu Sumarsih, betapapun sang anak telah gugur belasan tahun yang lalu, tak ada yang berubah. Wawan tetap seorang anak baginya. Seorang anak yang berhak mendapatkan limpahan cintanya.
Melihat matanya yang lembut dan rambutnya yang memutih itu, aku kembali dibuat percaya pada sebuah hal yang tanpa sadar sering terlupa. Aku dan Bu Sumarsih beda agama, tapi kami satu “keyakinan”, keyakinan pada kekuatan cinta seorang ibu.
Dan tiba-tiba aku rindu ibuku, Nak. Rindu sekali.
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023