Khotbah di Atas Bukit

Di Amerika Serikat, hal yang paling ditakuti orang adalah mati. Yang kedua, bicara di depan umum. Setidaknya begitu yang saya baca di buku Ted Talks: The Official TED Guide to Public Speaking. Saya pernah punya buku yang ditulis Chris Anderson, bosnya TED itu, tapi kemudian hilang secara misterius.

Saya mengamini pernyataan itu karena cukup relate. Saya pernah takut sekali berbicara di depan umum. Waktu kecil, saya gagap dan sulit berbicara dengan orang asing. Sesuatu yang aneh karena saya selalu jadi ketua kelas selama SD. Saya merasa punya bakat memimpin. Ada prestasi yang sampai sekarang selalu saya banggakan kalau diingat-ingat. Saya pernah memimpin satu regu pasukan Pramuka kabur dari lapangan upacara tanpa ketahuan. Norman Schwarzkopf pun belum tentu bisa.
Tapi ya itu tadi, ketika harus bicara di depan umum, saya kagok. Penyakit itu makin parah ketika SMP. Semua mata pelajaran yang mewajibkan berbicara di depan kelas, jeblok nilainya. Saya paling stress kalau ada ujian hapalan surah, karena saya bisa berdiri lama di depan teman-teman tanpa bisa mengeluarkan satu kata pun. Asli semua tercekat di kerongkongan.
Saya lupa titik baliknya. Tapi di SMA saya akhirnya bisa melawan ketakutan itu. Awalnya barangkali karena saya senang menulis. Ketika itu saya mengetahui banyak pembicara hebat yang asalnya adalah penulis. Bung Karno, Gus Dur, Kang Jalal, SGA, Pak Kunto, Romo Sindhu, Dimitri Mahayana, dll. Mestinya saya bisa seperti mereka. Berbicara dan menulis harusnya bisa jalan seiring. Kalau kata-kata bisa dirunut di atas kertas, harusnya bisa juga di ujung lidah.

BACA:  Resep Nasi Ayam Hainam ala #bekalochan


Begitulah dan kemudian saya menemukan diri ini tidak lagi takut berbicara di depan umum.
Dua minggu lalu saya diundang jadi pembicara di depan pegawai Kementerian Keuangan. Saya tidak lagi bisa menghitung ini forum keberapa yang saya hadiri sebagai pembicara. Tapi khusus yang ini, rasanya agak emosional buat saya. Puluhan tahun lalu, saya sering melihat bapak saya jadi MC dadakan di acara-acara Departemen Keuangan di Kabupaten Bone. Andaikata Bapak masih ada, dia pasti akan bangga melihat anaknya yang dulu gagap ini bisa bicara di almamaternya di pusat. Dibayar dengan honor level eselon 1 pula. (Saya belum berani seperti guru saya Mas IAD yang honornya sudah level menteri )

Tapi, sekali lagi, itu bukan patokan. Saya tak punya rate card. Atas semua kebaikan yang pernah saya terima di masa lalu, saya bertekad akan pay it back atau pay it forward. Kalau tidak bisa saya kembalikan, akan saya teruskan ke orang lain.
Lagipula, ini juga bentuk kesyukuran saya atas kemenangan mengalahkan salah satu ketakutan terbesar manusia. Bisa bicara di depan banyak orang tanpa terbata-bata adalah sebuah anugerah.
Jadi kalau misalnya yang mengundang pelajar atau mahasiswa, dibayar pakai onde-onde pun akan saya jabani.
Kalaupun disebut klepon, tetap akan saya pertimbangkan.

BACA:  Layang-layang yang Tak Pernah Terbang
Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga