Khamim, Pejalan Kaki Menuju Baitullah


“Iya nih, saya mesti menghapus beberapa akun dulu baru bisa menambah pertemanan,” ujarnya tersenyum ketika saya menanyakan jatah pertemanan di akun Facebook nya yang sudah penuh. Mohammad Khamim Setiawan, 29 tahun – pemuda pejalan kaki asal Pekalongan itu kami undang untuk berbagi cerita pengalaman perjalanannya sore itu, Kamis 1 Juni 2017 ke acara buka puasa bersama IA-ITB dan IATMI UAE di Abu Dhabi, UAE.

Ia memang semakin disibukkan oleh banyaknya permintaan pertemanan di akun Facebook-nya sejak namanya menjadi viral di beberapa media massa nasional lantaran memuat kisah gila petualangannya berjalan kaki untuk berhaji dari tanah air. Media sosial Facebook dan WhatsApp dia gunakan untuk berkomunikasi dan berkirim kabar dengan teman-temannya, juga keluarganya. Di akun Facebooknya, ia banyak meng-upload foto-fotonya di perjalanan, termasuk beberapa video seputar kesehariannya dalam perjalanan.

“Awalnya saya menolak untuk diwawancarai wartawan. Saya tidak ingin perjalanan ini dimuat media,” ujarnya tersenyum ketika disinggung tentang kisahnya yang sudah terlanjur viral.

Padahal, menurutnya perjalanan spiritual yang dia lakukan ini bukan sekadar aksi gagah-gagahan. Tapi merupakan panggilan Tuhan yang harus dipenuhi. Sekitar empat tahun silam, Khamim merasa mendapatkan muhadatsah, sebuah komunikasi spiritual yang menuntunnya untuk melakukan perjalanan haji dengan berjalan kaki menuju Baitullah.

 

****

“Saya tak langsung begitu saja menunaikan laku perjalanan ini. Setelah mendapatkan muhadatsah, saya tak langsung yakin. Saya mesti menemui beberapa kyai dan tokoh terkenal, termasuk ke Prof. Nazaruddin Umar – imam besar Istiqlal di Jakarta, untuk melakukan validasi dan verifikasi spiritual,” begitu pemuda tinggi tegap itu memulai cerita.

“Baru setelah mereka memberikan wejangan dan tuntunan bahwa itu adalah memang panggilan spiritual, barulah saya mulai mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan ini. Tiga tahun persiapan, termasuk mondok melakukan ritual puasa dan tirakat di beberapa Kyai di Jawa dan Banten, Sarjana Ekonomi Pembangunan jebolan Universitas Negeri Semarang ini kemudian memulai berjalan kaki dari Pekalongan di bulan Agustus 2016. 

“Tak perlu memandang proses perjalanan saya ini sebagai sesuatu yang luar biasa di mata teman-teman,” sahutnya ketika kami berdecak kagum dengan semangatnya itu, ia kemudian menambahkan, “setiap manusia punya kadarnya masing-masing. Buat saya pribadi, ini merupakan panggilan. Tapi buat Anda semua, mungkin menjadi pegawai seperti sekarang ini juga panggilan. Jadi masing-masing disesuaikan dengan kadarnya,” pungkasnya. Ia sempat juga mengutip beberapa ayat dalam AlQuran selain menyebut beberapa tokoh terkenal dalam tasawuf sebagai panutannya.

“Saya ini berjalan kaki hanya mengikuti petunjuk saja. Adapun gadget atau perangkat teknologi seperti GPS hanya sekadar memudahkan,” ia mengaku bahwa proses muhadatsah yang ia lakoni masih berlangsung hingga sekarang, dan karena petunjuk itu pula ia sudah menempuh ribuan kilometer berjalan kaki dari kampung halamannya, Pekalongan hingga kini menginjak kaki di Abu Dhabi, UAE.

BACA:  Silakan Berbahagia, Tapi Menutup Jalan Juga Ada Aturannya

“Modal saya melakukan perjalanan ini hanya diri saya. Saya tak membawa duit, NOL sama sekali. Pakaian, makanan, dan hal-hal lain itu pemberian orang di perjalanan.”

Ketika disinggung mengenai bagaimana mendapatkan visa ketika menyeberang ke negara lanjutan ia juga tak ambil pusing. “Ya untuk visa perjalanan dibantu orang setempat juga. Kadang dibantu oleh KBRI setempat.”

Mas Khamim ketika berbagi pengalaman.

Saat ini Khamim berada di Abu Dhabi selama beberapa hari sambil menunggu persetujuan visa haji dari pemerintah Saudi Arabia. Selama di Abu Dhabi, kehadirannya dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia untuk berbagi mengenai perjalanannya ini. Termasuk juga undangan dari Dubes RI untuk UAE, pak Husin Bagis, yang berkenan menyambutnya di Wisma Duta untuk tatap muka dan bersantap buka puasa bersama.

 

***

Ada banyak cerita menarik yang ia tuturkan kepada kami tentang perjalanannya ini.

“Saya dirampok berkali-kali ketika berjalan memasuki Pulau Sumatera. Padahal awalnya saya juga takut ketemu perampok. Takut dibunuh,” ujarnya sambil terkekeh. Tapi ketika ia menemukan bahwa ia tak dibunuh, hanya barang-barangnya saja yang hilang, Khamim kemudian semakin percaya diri. Dirampok sekali, dua kali hingga empat kali dia kemudian merasa terbiasa. “Toh, ternyata nggak mati juga tuh kalau dirampok begitu,” simpulnya. Kami yang ikut mendengarkan ikut tertawa sambil bergidik membayangkan betapa seramnya menghadapi perampok di Sumatera.

Ketika di Thailand, ia melanjutkan, kebetulan punya duit yang cukup untuk makan. Nah, karena lapar maka saya mencari restoran halal dengan menggunakan google map – sebuah aplikasi pencari lokasi yang disediakan Google di internet. “Saya tahu saya diuji oleh-Nya, ketika beberapa jauh berjalan mencari restoran itu tapi menemukan bahwa tempatnya tutup. Padahal jauh juga berjalan dari satu restoran ke restoran lainnya”.

“Akhirnya saya pergi ke sebuah mesjid kecil, melakukan sholat dan dzikir untuk menebus kesalahan itu.” Eh, katanya, belum beberapa lama melafadzkan dzikir tersebut tiba-tiba pundaknya ditepuk orang. “Diajak makan,” ujarnya sambil tersenyum. Dengan bekal penyerahan diri total mengikuti petunjuk-Nya itulah, ia semakin mantap melakukan perjalanan tersebut.

Dia melanjutkan pengalamannya dengan cerita paling menarik soal Rohingnya di Myanmar. “Ketika di Yangon, saya bertemu beberapa muslim di mesjid sana dan mendapatkan banyak cerita tentang kasus Rohingya.”

Ia berujar bahwa banyak cerita yang tidak sampai ke kita. Kita tahunya bahwa pengungsi Rohingya yang muslim itu dibantai begitu saja oleh pemerintah Myanmar yang Buddha. Jadi cerita umum yang beredar bahwa itu adalah konflik yang dilatar belakangi oleh perseteruan agama.

BACA:  Lolos dari Panci, Lobster Berusia 132 Tahun Dikembalikan ke Laut

“Padahal itu tak benar, konflik Rohingya bukan konflik agama. Itu campur aduk soal politik, ekonomi dan sebagainya”

Ia kemudian menceritakan ulang apa yang diketahuinya tentang kenyataan bahwa Rohingya itu sejatinya hanya satu dari 12 desa muslim di Myanmar. Selain desa yang dihuni suku Rohingnya, desa-desa muslim lainnya dalam keadaan damai dan tidak mengalami kejadian seperti Rohingya. Jadi sebenarnya Islam tidak dibantai di Myanmar, buktinya desa-desa muslim lain aman tenteram saja.

“Adapun soal Rohingya itu banyak masalahnya. Selain soal legalitas kewarganegaraan penduduknya yang tak jelas, juga soal provokasi politik dari mereka yang tak senang pada pemerintah. Kan baru peralihan itu dari pemerintah militer ke pemerintahan sipil. Nah, banyak yang ngomporin kalau pemerintah sipil tidak mampu mengatasi masalah. Yah, semacam kita di Indonesia-lah, banyak politisi yang suka membuat gaduh dan senang kalau masyarakatnya terpecah belah. Nah ujung-ujungnya ada juga bisnis bantuan internasional di Rohingya. Ada beberapa oknum yang memanfaatkan kasus Rohingya untuk meraup keuntungan pribadi dari bantuan internasional termasuk memanfaatkan issue bahwa umat Islam dibantai”. Padahal sejatinya tak begitu. Islam di Myanmar aman tenteram dan tak mengalami pembantaian seperti yang dikabarkan. Itu berlebihan.

 

“Makanya kita mesti berhati-hati dengan berita-berita sepihak yang hanya mau mengadu-domba itu. Jangan mudah percaya bahwa Rohingya itu kasus agama. Itu campur baur, bahkan pengungsi Rohingya itu juga kaum berada, kaum kaya di desanya. Jadi kasus itu juga ada kaitan dengan politik, juga ekonomi”. Bukan konflik agama, tutupnya tentang Rohingya.

“Saya juga mesti berurusan dengan aparat ketika memasuki India. Banyak yang curiga dengan penampilan saya,” ujarnya ketika bercerita pengalaman perjalanan di India. Sejak banyak isu terorisme, orang-orang yang berpakaian seperti umat Islam umumnya banyak dicurigai, termasuk dirinya. “Karenanya, saya mesti berhati-hati dan tak perlu menampilkan diri terlalu kentara sebagai muslim”.

Ia menambahkan, cara mensiasati agar tak terlalu menarik perhatian aparat adalah segera mencari hotel atau penginapan terdekat untuk berdiam. “Kalau terlalu lama di luar, orang-orang akan curiga dengan penampilan saya. Pasti akan ditanya-tanya. Ujung-ujungnya bisa dideportasi,” ceritanya. Agar perjalanannya aman, dia mesti berpindah-pindah hotel beberapa kali. Meski demikian, nyaris setiap pagi ketika menginap di hotel-hotel itu, ia mesti mendapat telepon bernada menyelidiki dari banyak orang. “Ditanya-tanya mau kemana lagi setelah di hotel itu”.

BACA:  Agar Tak lagi Bingung Cebok di Jepang....

Perjalanannya sempat terhenti di India. Pasalnya ia tak berhasil mendapatkan visa memasuki Pakistan, Afghanistan, Iran dan negeri-negeri yang mestinya ia lalui dalam rute berjalan kakinya itu. “Mereka tak memberi visa masuk,” meski ia sudah mencoba berkali-kali tampaknya.

Akhirnya ia berdamai dengan keadaan. “Saya kemudian menyeberang naik pesawat ke Oman. Dari Oman saya ke Dubai, dan Abu Dhabi. Sambil menunggu visa haji dari Saudi”. Jadi ia tak melulu melakukan perjalanan dengan jalan kaki, kadang ia mesti naik kendaraan juga karena memang kondisi tak memungkinkan. Ia berharap bisa tiba di Mekkah ketika musim haji tiba. “Setelah dari Mekkah, saya insyaAllah akan menuju Mesir dan Maroko. Tergantung petunjuk yang saya dapatkan juga,” katanya mantap. Selama melakukan perjalanan, Khamim mengaku juga diarahkan oleh seorang Syaikh.

Semenjak melakukan perjalanan seorang diri berjalan kaki dari tanah air itu, Khamim yang fasih menjelaskan istilah-istilah tasawuf ini tak pernah memotong rambut. Kini rambutnya tergerai panjang sampai ke punggung. Pemuda ganteng itu hanya tersenyum ketika ditanya apakah memelihara rambut panjang juga bagian dari petunjuk yang harus ia lakoni. “Nanti saya nggak tahu kapan akan memotong rambut ini. Nunggu petunjuk saja” ujarnya menutup diskusi kami.

Mas Khamim berfoto bersama dengan masyarakat Indonesia di Abu Dhabi

Mohammad Khamim Setiawan, pemuda 29 tahun ini memang terbilang unik. Dengan bekal keyakinan dan muhadatsah, sebuah komunikasi spiritual yang diperoleh oleh mereka yang menjalani kehidupan tasawuf, ia menempuh perjalanan seorang diri dari Pekalongan menuju Mekkah, untuk menunaikan ibadah haji. Laku seperti ini mungkin dianggap aneh di masa modern dengan segala moda perjalanan dan jarak tempuh yang semakin mudah dan ringan. Tapi Khamim, menempuh jalan yang dilakoni oleh pejalan spiritual ratusan tahun lalu; berjalan kaki, tanpa bekal, hanya bermodal keyakinan diri. “Ini perjalanan memenuhi panggilan Tuhan”. Amin.

Muhammad Ruslailang
Latest posts by Muhammad Ruslailang (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga