Ketika Kamu Sakit

Akhirnya tahulah aku mengapa engkau disebut buah hati.

Bermula sewaktu kamu kena pilek, dan kami membawamu ke dokter yang di plang tempat prakteknya tertulis “supported by WHO“. Dokternya seorang pria, mungkin sepantaranku, baik dan ramah. Diperiksanya sekujur badanmu, dia cek sampai ke cloth diaper-mu. Dan kemudian dia menulis di buku catatan medismu: common cold. Tidak perlu dikasih obat. Nanti akan sembuh sendiri setelah beberapa hari. Itulah mengapa ibumu membawamu ke klinik itu. Karena kami ingin meminimalisir obat-obatan kimia masuk ke dalam tubuhmu.

Pilekmu memang hilang, Nak. Tapi sehari kemudian, tiba-tiba kamu muntah dan badanmu jadi panas. Tigapuluh delapan koma empat derajat, kata termometer. Paniklah ibumu. Demikian pula aku yang mendapat kabar itu ketika sedang berada di kantor. Bergegas aku pulang dan mendapatimu tidak seceria biasanya. Lemas seluruh badanku, Nak. Satu dua lagu yang aku nyanyikan untuk menghiburmu tidak kau gubris. Kau hanya memandangiku dengan lemah seolah-olah aku ini peserta Indonesian Idol yang sebentar lagi dieleminasi.

Kemana River-ku yang bawel dan ceria itu? Dan semakin remuklah jiwaku ketika melihatmu memuntahkan semua air susu yang baru saja kau isap. Aku masih sempat bercanda menghibur diri, menyamakan muntahanmu itu seolah-olah yogurt. Tapi sesungguhnya, Nak, jauh di lubuk hatiku, aku ini seorang ayah yang perasa dan lembut hati. Tak tega aku melihatmu kesakitan begitu.
Lalu semalaman kami berjaga. Apalagi ibumu, tak nyenyak pasti tidurnya. Kamu tak ingin lepas dari dekapannya. Setiap dilepas, secepat itu pula meledak tangismu.

BACA:  Ilmu Dasar Kamera

Sehingga tadi siang, kami memutuskan membawamu ke RSIA Kemang Medical Care setelah panasmu tidak juga beranjak dari angka 38. Rumah sakit ini sealiran dengan dokter yang kami kunjungi sebelumnya, juga meminimalisir penggunaan obat. Demam hanya gejala, menurut mereka. Tidak perlu digempur obat penurun panas. Kali ini dokternya, seorang wanita yang potongan rambutnya mirip potongan rambutku, mendiagnosamu terkena gastro, semacam infeksi yang disebabkan oleh virus. Kemungkinan karena kamu mulai belajar memasukkan tangan ke dalam mulutmu.

Dan begitulah, kami meninggalkan rumah sakit yang menurutku lebih mirip hotel itu tanpa sebutir obat pun kami bawa pulang. Hanya kantong yang terasa sedikit lebih ringan…

Di taksi yang membawa kami pulang, kamu mulai tertawa-tawa dan berceloteh meski tak seramai biasanya. Senang sekali kami melihatnya sehingga tak terlalu terasa siksaan lampu merah yang amburadul dan sopir taksi yang seperti baru belajar bawa mobil. Kami senang belaka melihatmu ceria lagi.

Dan sebelum aku lupa, sini aku ceritakan pengalamanku melewati serangkaian sakit. Tentu saja yang bisa aku ingat. Sekitar kelas 4 atau kelas 5 SD, aku pernah kena tipes. Tipes yang lumayan parah sehingga harus bedrest berminggu-minggu di rumah. Yang membuat menakutkan sebenarnya adalah efeknya. Karena menurut selentingan teman-temanku yang kurang ajar, jarang ada orang yang selamat bila kena tipes. Kalaupun sembuh, pasti ada kabel otaknya yang putus atau korslet.

BACA:  Pulang Memancing

Cerita-cerita itu begitu menakutkannya sehingga aku merasa juga bakal mati. Apalagi setelah seorang tetanggaku yang juga kena tipes akhirnya meninggal dunia. Semakin stress-lah aku.

Tapi waktu dalam keadaan sakit itulah aku merasakan betul-betul cinta kasih orangtua. Aku bisa merasakan betapa takutnya mereka kehilangan kita. Pernah suatu kali, dalam ingatanku yang samar-samar, panasku meninggi. Dalam keadaan setengah sadar, aku melihat bapak dan ibuku berkerumun di dekatku. Ibuku mulai menangis dan bapakku terus berusaha mengajakku berbicara. Aku mengigau.

“Ayo, Nak, kamu mau apa? Bilang saja…” begitu kata bapakku yang aku dengar.
Menurut cerita dari beberapa saksi mata, aku meminta selembar kertas dan pulpen.
Dalam keadaan kalut, bapakku segera memberikan apa yang aku minta.
“Tulislah, Nak, kamu mau apa, nanti Bapak carikan…”

Aku lalu meraih kertas itu dan mulai menulis. Sop Asparagus dan Chiki Stick!

Entah darimana wangsit itu muncul sehingga tertulislah dua permintaan itu. Bisa jadi karena aku sering membaca iklan di Majalah Bobo tentang Chiki Stick yang enak sekali, dan adapun sop asparagus adalah makanan paling enak yang disajikan di salah satu restoran paling mewah di kota kami.

Singkat cerita, akupun sembuh dan kami semua melupakan soal daftar keinginan itu. Chiki Stick dan Sop Asparagus akhirnya tinggal kenangan.

Suatu kehormatan, Nak, bisa merasakan ketakutan-ketakutan seperti itu. Menjadi orangtua adalah hadiah sepaket. Kami akan bahagia oleh tawamu, tapi juga akan sedih karena tangismu. Tak bisa kami memlih salah satunya saja, misalnya yang paling enak.

BACA:  Tali Cadangan di Sepatuku

Menjadi orangtua adalah pengalaman mengasah batin. Tak bisa kuceritakan, Nak, bagaimana rasanya ketika mendengar ibumu mengajakmu berbicara dengan seolah berdoa-doa, “Ya Allah, sembuhkan sakitnya River. Kasih sakitnya ke mamanya saja, Ya Allah…” Dan kamu tersenyum, seolah-olah mengerti.

Dan terbetiklah airmataku, Nak. Mungkin ketika aku sakit bertahun-tahun lampau itu, bapak dan ibuku juga mengucapkan kalimat yang sama. “Ya Allah, sembuhkan sakitnya Fauzan. Kasih sakitnya ke kami saja….”

Mungkin berkali-kali mereka merapal doa itu. Tanpa aku dengar. Tanpa aku sadari.

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga