Kang Mas’ud, Langkah Pejuang Difabel dari Pelosok Desa hingga Negeri Sakura

Artikel ke 6 dari 42 artikel dalam Topik : Lomba Menggunjing Tetangga 2016

kang-masud-2

Mas’ud, begitulah ia biasa disapa. Namun, saya lebih sering memanggilnya Kang Mas’ud. Saya mengenalnya sejak saya masih kecil, karena memang rumahnya berada tepat di sisi kiri rumah saya, di sebuah desa kecil di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Kang Mas’ud berasal dari keluarga sederhana, almarhumah emaknya dulu seorang pembuat kerupuk rumahan, sedangkan almarhum bapaknya dulu dikenal sebagai pemain rebana. Sekilas, memang tak ada yang istimewa dari sosok Kang Mas’ud. Namun, jika telah mengenalnya lebih dekat, akan terlihat bahwa ada semangat perjuangan yang mengalir dalam setiap langkah hidupnya.
Sejak kecil, Kang Mas’ud memiliki ‘keistimewaan’ dalam fisiknya, kaki kanannya memiliki ukuran yang lebih kecil dibanding kaki kiri karena serangan virus polio, sehingga ia pun harus belajar menapaki hidup dengan langkah kaki yang tak sempurna namun istimewa.
Meski begitu, apakah ia menyerah? Jawabannya adalah tidak. Dengan semangat tanpa batas, Kang Mas’ud berusaha untuk mandiri dan mampu berdiri di atas kakinya sendiri, karena meski memiliki keterbatasan, ia tak pernah ingin merepotkan orang lain.
Setelah lulus SMP, Kang Mas’ud memilih jalan mandiri dengan mengikuti pelatihan elektronika hingga akhirnya ia mampu membuka layanan perbaikan alat-alat elektronik di rumahnya. Sebuah ruang kecil di rumahnya yang memang tak terlalu luas itu pun menjadi saksi kerja kerasnya mengurai kabel, menyalakan solder, dan memperbaiki setiap kerusakan barang-barang elektronik yang diamanahkan kepadanya. Bekerja menjadi tukang service elektronik selama belasan tahun membuat Kang Mas’ud lebih mandiri, bahkan ia pun bisa membantu perekonomian keluarganya.
Langkah Istimewa Kang Mas’ud
Menjadi seorang difabel, memang seringkali membuatnya dipandang sebelah mata. Akan tetapi, hal tersebut tak membuatnya patah semangat. Ia justru semakin mantap untuk melangkah menuju ke kehidupan yang lebih baik dengan mengikuti pelatihan yang diperuntukkan bagi difabel yang diadakan di Kota Solo.
Dalam pelatihan itu, Kang Mas’ud bertemu serta bergaul dengan para difabel, dan ia menyadari satu hal bahwa keadaannya dan teman-temannya sesama penyandang difabel seringkali mendapat pandangan sebelah mata dari masyarakat karena dianggap sebagai orang-orang yang ‘tidak mampu’.
‘Meski berbeda, tapi kami tak ingin dibeda-bedakan. Kami ingin dianggap setara,” ujar Kang Mas’ud.
Atas keadaan tersebut, Mas’ud merasa bahwa ia memiliki tanggung jawab besar untuk menyerukan pada masyarakat dan pada dunia tentang kesetaraan yang harus dirasakan serta didapatkan oleh para difabel.
Awalnya Kang Mas’ud bingung dengan cara apa ia harus menyuarakan harapan para kaum difabel, sedangkan ia tak mempunyai modal berupa uang untuk melakukan kampanye untuk menyerukan kesetaraan teman-teman difabel.
Akhirnya, di tahun 2011, Kang Mas’ud melakukan hal yang mencengangkan dan bisa dipandang sebagai hal yang ‘gila’. Kang Mas’ud memilih untuk menempuh jarak sejauh 500 km dari Grobogan hingga ibu kota Jakarta dengan berjalan kaki. Tentunya ini sebuah keputusan yang besar dalam hidupnya, apalagi Kang Mas’ud memiliki keterbatasan pada kakinya.
Namun, Kang Mas’ud tak ingin menyerah, meski fisiknya memiliki keterbatasan, tapi ia meyakini bahwa semangat dan harapannya tidaklah terbatas, apalagi ia membawa mimpi juga harapan kaum difabel untuk mendapat kesetaraan.
Sepanjang jalur yang ia lalui dari Grobogan ke Jakarta banyak orang tertarik dengan apa yang dilakukan oleh Kang Mas’ud. Saat beristirahat di Masjid, Pom Bensin, juga di Warteg, banyak orang yang mendekatinya dan bertanya tentang apa yang ia lakukan.
“Saat itu saya pun menceritakan tentang perjuangan kaum difabel, juga tentang harapan kami untuk dianggap setara sebagaimana masyarakat lainnya. Meski dengan dukungan modal uang yang minim untuk bekal perjalanan, saya percaya kampanye yang saya lakukan itu dapat lebih membuka mata masyarakat,” ungkap Kang Mas’ud.
Perjuangan Kang Mas’ud berjalan kaki sejauh 500 km ini ternyata tidaklah sia-sia. Banyak pihak serta media yang menyoroti langkah yang ditempuhnya ini, salah satunya adalah acara Talkshow di salah satu TV Nasional, Kick Andy.
Dalam acara yang dipandu Andy F. Noya tersebut, Kang Mas’ud pun mengutarakan isi hati dan harapan sahabat-sahabatnya, para difabel. Kang Mas’ud berharap bahwa dari acara ini, ia bisa menyuarakan perjuangan difabel secara lebih luas lagi.
Harapan itu pun tak sia-sia, setelah penayangan acara talkshow tersebut, ada sebuah badan zakat nasional yang memberikan donasi sekian puluh juta untuk pengembangan serta pemberdayaan para difabel.
Dari dana tersebut, Kang Mas’ud mengajak kawan-kawannya mendirikan pusat advokasi dan sebuah Self Help Group bernama Kudifa (Kelompok Usaha Mandiri). Self Help Group ini bertujuan untuk mendampingi para difabel memperkenalkan serta memasarkan produk UKM yang dimiliki agar lebih dikenal masyarakat. Self Help Group ini tak hanya untuk mendampingi difabel yang memiliki produk UKM saja, akan tetapi menjadi tempat advokasi bagi para difabel di seluruh Kabupaten Grobogan.
Tak hanya membentuk Self Help Group saja, akan tetapi Kang Mas’ud juga mengusahakan bantuan dari beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Jepang berupa kursi roda yang disalurkan kepada para difabel Grobogan yang tidak mampu sehingga mereka bisa berkegiatan dengan lebih mandiri berkat adanya kursi roda ini.
Kegigihan serta perjuangan Kang Mas’ud ini pun tak hanya menjadi perhatian nasional, namun juga internasional. Pada tahun 2015, Kang Mas’ud terpilih sebagai perwakilan Indonesia yang diundang untuk hadir di Konferensi Difabel di Negeri Sakura Jepang.
Dari semua kisah perjuangannya itu, Kang Mas’ud mengajarkan pada saya bahwa pelajaran kehidupan itu bisa didapatkan dari mana saja, termasuk dari balik dinding tetangga sebelah rumah.
Kang Mas’ud juga menjadi bukti bahwa manusia terbaik bukanlah manusia yang kaya, pintar, atau memiliki titel pendidikan yang tinggi, karena manusia terbaik adalah mereka yang bisa bermanfaat bagi manusia lainnya.(*)

BACA:  Keluarga Sederhana sebagai Panutan

 

Penulis:
Richa Miskiyya

Lahir di Grobogan, 08 November 1989. Beberapa karyanya sudah pernah dipublikasikan di media lokal maupun nasional. Menamatkan studi sarjananya di jurusan Komunikasi Penyiaran Islam UIN Walisongo, dan pendidikan masternya di Magister Administrasi Publik Universitas Diponegoro Semarang. Saat ini aktif menulis skenario untuk acara komedi situasi di salah satu Televisi Swasta Indonesia.
Penulis bisa dihubungi di Email : richair89@gmail.com. FB : Richa Miskiyya, atau Twitter : @richamiskiyya.

 

–Artikel ini diikutsertakan dalam yang diselenggarakan oleh The River Post – Berbagi Hanya yang Baik

Artikel dalam Topik Ini : << Hidup dan PerjuanganIbu-ibu, Ayo Sekolah! >>

Leave a Reply

Silakan dibaca juga