Saya berkenalan dengan Rumi melalui cara yang tak wajar. Ceritanya begini. Ketika awal saya jatuh cinta lagi dengan film, saya melakukan banyak penjelajahan, mencari film untuk ditonton yang tak sekedar dari Hollywood. Dan entah karena dorongan apa, di sekitar tahun 2004, sebuah film menarik perhatian saya. Sebuah film Prancis berjudul “Monsieur Ibrahim”. Mungkin karena judulnya yang menjadikan saya tertarik. Dan ketika menontonnya, saya makin tertarik. Kisah ini tentang seorang laki-laki tua muslim bernama Ibrahim yang bersahabat dengan remaja Prancis berdarah Yahudi bernama Moses.
Moses yang lantas dipanggil Momo adalah seorang remaja dengan hasrat bergejolak. Ia tengah berhadapan dengan masa pubertasnya. Di saat yang sama, ia juga merasakan kesendirian karena setelah ditinggal ibunya, ayahnya kemudian bunuh diri. Momo kemudian menjalin persahabatan dengan Ibrahim yang mengajarinya banyak hal. Seorang muslim yang memandang dunia dengan pengetahuannya yang luas dan terutama pemahamannya yang menarik tentang kehidupan. Ibrahim tampak seperti sufi di kehidupan modern.
Biasanya ketika sangat tertarik dengan sebuah film, saya mencari tahu kisah dibalik layarnya. Tahulah saya bahwa kisah film itu diadaptasi dari buku yang sangat terkenal di Prancis [dan negara-negara berbahasa Prancis lainnya] berjudul Monsieur Ibrahim et les Fleurs du Coran [terjemahannya kurang lebih artinya Pak Ibrahim dan Bunga-Bunga Al-Qur’an]. Dan setelah menelusuri lebih jauh, penulisnya, Eric Emmanuel-Schmitt, rupanya sangat tertarik dengan Jalaluddin Rumi, seorang sufi dari abad ke-13 asal Persia. Bisa jadi Ibrahim adalah metamorfosa Rumi buatnya.
Sejak itulah saya mulai mengenal Rumi melalui puisi-puisinya yang memabukkan. Puisi-puisi yang tak sekedar indah, namun juga terasa sakral dan mistis sekaligus terasa transendental. Ini salah satu potongan puisi Rumi yang pertama kali saya baca dan langsung membuat saya merinding ketika membacanya.
“Aku bukanlah orang Nasrani, Aku bukanlah orang Yahudi,
Aku bukanlah orang Majusi, dan Aku bukanlah orang Islam.
Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah.
Sehingga kita dapat bertemu pada “Suatu Ruang Murni”
tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah.”
Tak banyak sosok sepertinya. Seorang sufi cum penyair yang dikagumi dunia Barat dan Timur sekaligus. Seorang guru yang dikagumi dunia berkat kecintaannya pada dunia tasawuf, spiritualitas, ketuhanan dan menyebarkan cinta kasih melalui puisi. Di abad ke-21 ini, menurut salon.com, Rumi mempunyai 1,8 juta pengikut di Facebook. Salah satu pengagumnya adalah Paulo Coelho, penulis ternama dengan sejumlah buku terkenal seperti The Alchemist. Buku-buku Rumi terjual jutaan kopi di seantero Amerika sejak publik negara itu mengenalnya di awal dekade ini. Maka Rumi bertransformasi dari “sekedar” sufi menjadi sebuah “merek”. Dan tak mengherankan jika Hollywood melihat peluang untuk memperluas pengenalan merek itu tak sekedar melalui tulisan. Hollywood ingin masyarakat dunia melihat Rumi dalam sosok utuh sebagai manusia melalui film.
Sebagai “merek” yang lantas dijual dalam format film, maka Hollywood akan menempuh segala daya upaya agar film tersebut beroleh perhatian. Dan disinilah huru-hara di dunia maya dimulai. Publik dunia menyambut baik dengan upaya Hollywood untuk memfilmkan tokoh besar itu, namun publik meradang ketika tahu bahwa aktor yang digadang-gadang sebagai pemeran Rumi adalah Leonardo DiCaprio.
Isu tentang ras masih menjadi isu yang bisa menggelinding bak bola salju di Amerika, utamanya di dunia film yang mendapat sorotan dari seluruh penjuru bumi. Belum lagi reda isu yang terkenal dengan tagar #OscarSoWhite yang merujuk pada sangat minimnya nomine Oscar dari kalangan Afrika-Amerika di tahun 2016, secara hampir berurutan muncul beragam berita yang makin menguatkan tudingan bahwa Hollywood masih sangat berpihak pada kaum kulit putih. Dimulai dari Tilda Swinton yang dikasting sebagai tokoh mistik asal Tibet di film “Doctor Strange”. Tak lama setelahnya beredar kabar tentang pembuatan ulang versi live-action dari anime klasik “Ghost in the Shell”. Dan publik lagi-lagi dibuat geram ketika tahu bahwa Scarlett Johansson dipilih sebagai pemeran Motoko Kusanagi.
Kenapa Hollywood memilih Leonardo DiCaprio sebagai Rumi, bukannya memilih aktor asal Timur Tengah sehingga terlihat lebih pas?
Pertanyaan ini mungkin bisa dijawab dari sekelumit kisah ketika buku tentang bapak B.J. Habibie akhirnya difilmkan. Sewaktu kepastian Reza sebagai Habibie diumumkan kepada publik oleh MD Entertainment, publik pun bersuara. Memang tak mengecam, namun mereka melihat secara fisik, Reza sama sekali tak mirip mantan wakil presiden tersebut. Perawakan Reza cukup besar sementara Habibie bertubuh mungil. Belum lagi karakter wajah yang dinilai sangat berbeda. Namun ketika film “Habibie & Ainun” akhirnya tayang di bioskop pada tahun 2012, suara-suara negatif itu perlahan menghilang. Akting Reza yang cemerlang membuat publik mendadak amnesia dengan sosok asli Habibie [Reza beroleh Piala Citra ketiganya dari film ini]. Padahal otomatis Reza hanya meniru mimik dan cara berbicara beliau, sementara dari departemen tata rias tak melakukan perubahan berarti.
Tahun 2015 kembali Reza dipercaya memerankan seorang tokoh yang sangat berjasa bagi lahirnya sejumlah pendiri negeri ini. Oleh Garin Nugroho, Reza didapuk sebagai H.O.S. Tjokroaminoto. Belum habis ingatan kita akan sosok Reza sebagai Habibie, sekarang tiba-tiba kita kembali ditawarkan untuk melihat dirinya sebagai sosok yang lain. Mungkin berbeda dengan Habibie yang sangat familiar, jarang dari kita yang hafal dengan wajah dan perawakan dari sosok guru bangsa itu. Tapi tetap saja kita akan berpikir, kenapa harus Reza lagi yang memerankannya? Kenapa tak mencari sosok aktor yang mendekati kemiripan secara fisik dari Tjokroaminoto?
David Franzoni yang menulis skenario atas biopik tentang Rumi ini sesungguhnya punya niat baik dengan proyek terbarunya ini. Seperti yang dituturkannya kepada The Guardian, Franzoni berharap bahwa biopik tentang Rumi ini akan menawarkan “pemahaman baru atas stereotipikal dari penggambaran sosok Muslim dalam sinema Barat”. Bersama dengan produser Stephen Joel Brown, mereka bersungguh-sungguh melakukan riset demi mendapatkan gambaran otentik tentang kehidupan Rumi di abad ke-13. Mereka menemui sejumlah pakar yang memahami betul tentang Rumi di Istanbul demi membangun “kredibilitas dan profil yang bisa diidentifikasi” dari sosok penyair itu, sebagaimana diulas oleh The Independent, Inggris.
Sesungguhnya Dicaprio belum final dipilih sebagai Rumi, pun belum ada komentar apapun dari peraih Oscar kategori Aktor Terbaik 2015 tersebut terkait keinginan Franzoni dan Brown untuk memilihnya memerankan sosok sufi tersebut. Namun publik terlanjur bergejolak. Rumi dan DiCaprio adalah sebuah kombinasi mematikan yang mau tak mau membuat dunia merasa harus membicarakannya. Pertanyaan yang muncul terkait “pemilihan” DiCaprio ini memang terkait ras. Kenapa harus aktor kulit putih yang memerankannya?
Coba kita tanyakan pertanyaan serupa ke Max Landis yang menulis skenario versi remake dari “Ghost in the Shell”. Kenapa harus Johansson yang dipilih memainkan karakter “berdarah” Jepang? [kata “berdarah” perlu diberi tanda kutip karena karakter yang diperankan Johansson sesungguhnya adalah cyborg – red]. Dan inilah jawaban yang paling rasional dari raksasa Hollywood namun sekaligus paling mengesalkan bagi mereka yang menganggap bahwa Hollywood tak memberi kesempatan kepada aktor kulit berwarna [dan sesungguhnya menjadi PR besar buatnya jika ia ingin semakin mengukuhkan cengkeramannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia]. “Saat ini tak ada selebriti perempuan berdarah Asia dari kelas A yang diakui secara internasional, “ jawab Landis tentang keputusan mereka memakai Johansson yang dikemukakannya via YouTube.
Itulah Hollywood. Karena selalu ingin memasarkan produknya secara global, maka mereka akan selalu memilih aktor yang menurut mereka diakui secara internasional. Nama DiCaprio selain menjadi jaminan kualitas, juga dianggap sebagai jaminan box office. Jika di Indonesia bisa dibandingkan dengan Reza Rahadian. “Guru Bangsa Tjokroaminoto” mungkin tak sesukses secara komersial dibanding “Habibie & Ainun” namun film itu beroleh perhatian besar dari masyarakat dan juga media. Coba bayangkan jika departemen kasting harus mencari aktor yang memilih wajah dan perawakan paling mirip dengan Pak Tjokro, apa yang akan terjadi dengan filmnya? Memang belum tentu tak sukses, namun untuk kisah sebesar itu, jika saya menjadi produser film tersebut, saya pun akan mengambil jalan yang sama. Mempercayakan peran tersebut pada Reza yang kredibilitasnya dalam berakting tak perlu diragukan lagi.
Maka buat saya, alasan paling rasional dari Hollywood ketika akhirnya betul-betul menjatuhkan pilihan pada DiCaprio untuk memerankan Rumi adalah karena kualitas akting dan daya tarik box office yang dimilikinya. Saya belum mau berprasangka buruk tentang filmnya karena toh juga masih dalam tahap penulisan skenario, masih terlalu dini untuk dinilai. Apalagi jika sampai mengaitkan pemilihan DiCaprio dengan segala macam teori konspirasi untuk menunjukkan kedigdayaan dunia Barat atas Timur karena belum bisa dibuktikan. Namun saya pun akan bereaksi keras sekiranya Hollywood ternyata mencoba untuk menerjemahkan sepak terjang Rumi sangat jauh dari apa yang pernah kita baca tentang kisah hidup beliau. Ataupun jika Hollywood dengan kurang ajar mereduksi sosok Rumi maupun cakrawala pemikirannya yang maha luas menjadi sekedar satu-dimensi saja. Kita tunggu saja janji Franzoni.
- 5 Film Paling Favorit di Paruh Akhir 2016 - 31/12/2016
- 5 Film Paling Favorit di Paruh Pertama 2016 - 11/07/2016
- Jika Reza Bisa Jadi Habibie, Kenapa DiCaprio Tak Bisa Jadi Rumi? - 11/06/2016