Jakarta dan Kisah Orang-orang (Tak Bernama) di Sekitar Kita

Pak Abas. Foto: dok. Ayu Lestari
Pak Abas. Foto: dok. Ayu Lestari

Di Jakarta ada apa? Ada jutaan orang mengejar mimpinya, termasuk saya. Datang ke Jakarta bermodal panggilan interview dari sebuah perusahaan media, dada saya dipenuhi harapan. Tapi saya gagal untuk yang kesekian kalinya. Sedih dan kecewa, sampai kemudian saya mendapatkan pekerjaan lain yang Tuhan pikir layak. Baiklah.

Menyadari bahwa alasan awal saya datang ke Jakarta dulu perlahan menguap, saya takut. Saya larut dalam pekerjaan baru, terjebak dalam rutinitas. Setiap hari, saya habiskan lebih dari delapan jam di kantor, berhadapan dengan layar laptop dan headset rapat menutup telinga. Saya menjelma menjadi apa yang selama ini saya takutkan, menjadi robot.

Salah satu hal yang saya nikmati setiap harinya adalah perjalanan pergi ke kantor, dan pulangnya tentu saja. Mengamati apa yang orang lakukan menjadi kegiatan yang menyenangkan. Saya sering menguping pembicaraan penumpang bus, atau menyaksikan bagaimana cara seorang joki 3in1 menenangkan anaknya yang menangis sebelum kembali memberi kode pada pengendara mobil, atau menghitung berapa detik waktu yang dibutuhkan oleh kasir TransJakarta untuk meletakkan pensil alisnya sebelum melayani konsumen yang akan top up kartunya, atau banyak hal sepele lainnya.

Hal-hal kecil yang mungkin luput dari perhatian kita, ternyata menarik untuk diamati. Saya mulai menikmatinya, saya merasa terhibur dan bisa mengambil banyak pelajaran dari mereka yang tak saya kenal ini. Dengan asumsi bahwa orang lain juga bisa terhibur dengan pengamatan yang saya lakukan selama ini, saya memulai sebuah proyek mandiri, #Peoplewedidnotknow.

BACA:  "Tetap tenang. Manusia adalah miniatur alam semesta."

Berbekal kamera handphone pas-pasan dan rasa kepo yang lebih sering membuat sebal orang sekitar, saya mulai lebih mempertajam telinga dan mata. Saya potret orang-orang secara acak, melakukan wawancara sederhana, dan merangkumnya dalam bentuk post di Instagram. Beberapa post di Instagram @Peoplewedidnotknow memang di-upload tanpa melakukan wawancara secara langsung sebelumnya, hanya mengandalkan telinga dan mata yang saya pertajam lebih dari biasanya. Tapi bukan berarti kisah mereka tak layak disimak.

Saya belajar banyak dari orang-orang asing ini, salah satunya dari Pak Abas. Setelah hampir satu tahun hanya bisa melihatnya lewat depan rumah kos, saya memutuskan untuk berbincang dan mengambil fotonya. Pak Abas sudah tua, saya pastikan jumlah giginya tak melebihi jumlah jemari tangan Anda. Setiap hari, ia berkeliling kampung memikul alat kerjanya untuk patri kompor minyak. Dengan adanya program konversi kompor minyak ke kompor gas dari pemerintah, ia harus rela berjalan kaki lebih jauh dari biasanya demi mendapatkan pelanggan yang jumlahnya tak seberapa. Semoga tak semua warga Jakarta patuh pada perintah negara, agar Pak Abas masih bisa makan.

Cerita lain saya dapatkan dari penjual sekoteng keliling yang saya temui di depan masjid dekat rumah kos. Toples berisi sagu mutiara dan potongan roti tawarnya bergetar saat ia meletakkan gerobak panggulnya. Jam menunjukkan pukul sembilan malam, saat saya lihat ia begitu cekatan meracik sekoteng panas dalam sebuah plastik tipis. Saat saya tanya sampai jam berapa ia biasa menjajakan dagangannya, ia bilang sampai semua orang masuk rumah dan memilih untuk tidur dibanding minuman penghangat tubuh.

BACA:  Ibu-ibu, Ibu Kota

Cerita tak kalah menarik saya dapatkan dari Pak Buyung. Dua kali saya membuat post tentangnya. Pertama kali bertemu di jembatan Tegal Parang, Pak Buyung duduk bersandar ke pagar dengan mata terpejam dan tangan diulurkan. Tak perlu saya sebutkan pekerjaannya saat itu. Beberapa bulan setelahnya, di tempat yang sama, ia tak lagi melakukan hal yang sama. Saat itu, di hadapannya berjajar tisu dengan harga Rp2.500 per bungkusnya. Di luar dugaan, Pak Buyung masih mengenali saya. “Lebih enak jual tisu, Neng.” Katanya sebelum saya bertanya apa pun.

Anak-anak juga ikut sumbang cerita. Pada suatu malam saat pulang dari kantor, saya bertemu seorang anak kecil di halte TransJakarta Slipi Kemanggisan. Tak seperti calon penumpang lain yang sudah lelah menunggu datangnya bus, si anak masih sangat bersemangat. Bus yang ditunggu-tunggu datang beberapa menit kemudian. Bukannya duduk di kursi penumpang, si anak mengetuk pintu sekat ruang kemudi, ia masuk dan mencium tangan sang sopir bus. Si ibu bercerita pada seorang penumpang, anak ini hanya bisa bertemu ayahnya dua atau tiga hari sekali. Saya bayangkan, ia dengan bangga menceritakan betapa hebat ayahnya pada teman-teman di sekolah.

Pada malam yang berbeda, saya mendapati seorang bapak sedang mengemasi kostum badutnya di bawah jembatan TransJakarta Tegal Parang. Selama siang tadi, tak terhitung berapa kali ia harus bergoyang di antara mobil-mobil yang terhenti karena lampu merah menyala. Barangkali di rumah, ada satu-dua anaknya yang sudah menunggu di depan pintu. Anak-anak yang bisa dibuat tersenyum cukup dengan kepulangannya, tanpa perlu mengenakan kostum badut atau menggoyangkan tubuhnya agar tampak lucu.

BACA:  Pagliacci dan Badut yang Tidak Bisa Sulap

Cerita di atas hanya sebagian dari apa yang sudah saya rangkum. Setiap orang punya kisahnya masing-masing, kadang mereka hanya tidak membaginya. Dengan proyek kecil yang saya lakukan ini, saya bisa menyalurkan mimpi menjadi seorang jurnalis ala-ala sekaligus belajar banyak dari mereka yang sebelumnya sungguh asing dan tak saya ketahui namanya.

Leave a Reply

Silakan dibaca juga