Sejatinya, saya memang penggemar film. Karena selain juga untuk menyeimbangkan mood, biasanya akan ada banyak kesan, pelajaran dan inspirasi yang saya peroleh ketika saya telah selesai menonton sebuah film. Untuk beberapa film yang begitu menarik perhatian saya, biasanya dengan senang hati saya akan review. Namun apa yg harus saya review jika sebuah film bercerita tentang beberapa memori dari masa lalu saya sendiri?
Intinya, tubuh saya sudah gemetar sejak awal film ini diputar. Saya tak kuasa menahan segala emosi yang telah dua puluh tahun lamanya saya pendam. Kenangan-kenangan itu bermunculan kembali. Tentang betapa tidak sopannya para aparat itu masuk dan merampas buku-buku bapak saya, bahkan lukisan-lukisan saya semasa kecil hanya karena ada nama WANI-nya. Para aparat itu tak percaya bahwa WANI adalah nama saya. Saya begitu marah kala itu. Saya tatap wajah mereka dalam-dalam karena mereka begitu kurang ajar. Ibu menghadapi mereka tanpa gentar sedikit pun. Berbagai pertanyaan dilontarkan seputar bapak saya. Ibu saya benar-benar hebat ketika menghadapi mereka. Tak ada ketakutan sama sekali. Sungguh perempuan yang tangguh, namun memilukan di waktu yang sama.
Saya kemudian kembali teringat tentang bagaimana tetangga dan orang-orang asing di sekitar kami kemudian membully kami dengan pandangan mata mereka setelah peristiwa penggrebekan itu, membully kami dengan cara mereka bertanya dan bercanda, membully kami dengan bagaimana mereka menyebut bapak saya. Lalu manusia-manusia baik yang pernah saya kenal perlahan-lahan menjauhkan diri, menghindar, berubah…
Semua orang seolah pergi dijemput kesibukannya masing-masing, kami ditinggalkan sendirian dalam kondisi yang begitu sulit untuk stabil.
“Mas Anggi edannnnn!” dalam hati saya berteriak. Betapa pandainya sutradara ini menyuguhkan pemantik baper hanya dengan sebatang lilin dan sebuah sikat gigi!
Mas Aam dan Mbak Ebe yang mendampingi saya kala melihat film ini sempat kurang yakin. Mau dilanjutkan apa tidak, karena saya menangis! Saya betul-betul menangis sesenggukan!
Film ini benar-benar menjawab imajinasi saya tentang apa saja yang bapak saya lakukan saat di pelariannya. Apakah Bapak baik-baik saja? Apakah Bapak bisa tidur nyenyak? Apakah Bapak mampu bertahan dengan kesendirian dan kewaspadaan yang harus menjadi kebiasaannya? Dan yang paling penting bagi saya di antara semua itu, APAKAH BAPAK MERINDUKAN KAMI?
Film ini menjawab tentang di mana bapak tinggal selama menjadi buronan? Bersama siapa saja? Bertemu siapa saja? Hingga kemudian saya terkecoh dengan lantunan lagu “Bunga dan Tembok” yang kembali memecah tangis histeris saya. Saya spontan bertanya pada Mbak Ebe: ” Kok nggak balik, Mbak?!”
Saya tercekat sendiri. Kaget dengan pertanyaan saya sendiri. Bukankah Bapak memang belum kembali sampai hari ini?
Ah, baper ini entah sampai kapan akan berakhir. Bapak.. Bapak di mana?
Aku benar-benar rindu. Pulanglah, Pak!
#review #istirahatlahkatakata #19januari #dibioskop