Sekitar tujuh puluh tahun sebelum Steve Jobs meluncurkan tablet PC bernama iPad di San Fransisco, orangtua kita sebenarnya sudah membawa-bawa barang semacam itu ke sekolah di kampung.
Dulu namanya Sabak, berbentuk batu hitam pipih dengan frame kayu. Besarnya bervariasi. Tapi pada umumnya sebesar iPad ukuran 10 inch saat ini. Bedanya, sabak ini processornya pakai otot jari. 🙂
Sabak banyak digunakan saat zaman peralihan Belanda dan Jepang menjajah Indonesia. Waktu itu situasi ekonomi benar-benar parah, dan orang-orang tak mampu membeli kertas dan pulpen. Anak-anak sekolah pun akhirnya hanya dibekali batu pipih ini untuk menulis dengan kapur. Masalahnya, setiap kali ganti pelajaran, tulisan di sabak ini harus dihapus. Jadi kalau misalnya ada ulangan dan nilainya bagus, anak-anak sekolah zaman dahulu menempelkan “nilai ulangan” mereka di pipi untuk diperlihatkan kepada orangtua di rumah nanti.
Bisa dibayangkan kalau satu hari ada 5 ulangan, bisa-bisa jidat juga kena stempel. 😀
Oya, beberapa tahun lalu, sejumlah ahli bahasa mengusulkan kata “sabak” sebagai pengganti kata “tablet”, untuk membedakannya dengan tablet sebagai obat yang selama ini sudah dikenal.
Sayangnya, kata “sabak” ini masih terseok-seok masuk kamus bahasa komputer. Kalah bersaing, misalnya, oleh kata “tetikus” yang sudah masuk Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk padanan kata perangkat “mouse” pada komputer.
- Silakan Berbahagia, Tapi Menutup Jalan Juga Ada Aturannya - 12/11/2019
- Bon Jovi Rilis Lagu Baru “Unbroken” - 04/11/2019
- Roti Khas Indonesia Masuk Daftar 50 Roti Terbaik Dunia - 29/10/2019