Di Tol Cipularang arah Jakarta, mataku menangkap pantulan sinar fluorescent dari plang penanda jarak. KM 90. Malam ini lalu lintas tidak terlalu ramai. Mobil yang aku tumpangi sesekali masih bisa meliuk memberi jalan kepada kendaraan lain yang ingin mendahuluinya di lajur kanan.
Berharap tertidur, aku menempelkan wajahku di kaca jendela. Pidi Baiq dan Alga aku siksa di pemutar mp3, bergantian menyanyikan lagu-lagu The Panasdalam.
Hidup adalah waktu tersisa
Diisi sebelum kalah.
Bagaimana ini ingin kembali,
diri sudah terlanjur ada…
Itu bait lagu “Introspeksi” milik The Panasdalam yang justru malah membuatku tak bisa tidur. Sekalinya tidak bikin ketawa, mereka malah bikin merenung. Diri sudah terlanjur ada. Lalu bagaimana caranya kembali?
Sudahlah. Biarkan.
Beberapa jam sebelum meninggalkan Bandung, Nak, kamu tertidur di atas dadaku. Aku membiarkan detak jantung kita beradu. Lelap sekali kamu. Mimpi indahkah? Sebagai ayah newbie, itu pengalaman luar biasa. Merasakan jantung kecilmu berdegup selaras tarikan napasmu, rasanya membuatku tak menginginkan apa-apa lagi di dunia ini. Selain melihatmu tumbuh. Selain melihat ibumu tersenyum.
Rasanya jauh lebih mendebarkan daripada saat aku mencuri-curi mencium ibumu ketika kamu sedang asyik menyusu. Dan matamu yang bekerjap liar itu tiba-tiba memergoki kami seolah-olah bilang, “Ayah! Jangan ganggu!”
Di Cipularang, Nak, beberapa jam setelah aku meninggalkanmu dalam gendongan ibumu di ujung gang, waktu rasanya berjalan lambat. Tugas untuk membela kebenaranlah yang harus membuat kita selalu terpisah seperti ini, setidaknya beberapa hari dalam seminggu. Iya, ayahmu ini pembela kebenaran. Kebenaran dirinya sendiri. Bukan situasi yang enak sebenarnya, meski Bandung-Jakarta tak seberapa jauh. Akhirnya aku bisa memahami kelakuan seorang teman yang pernah ditugaskan ke luar kota dimana pada saat tengah malam ketika semua orang tertidur, dia mengeluarkan sepotong baju milik anaknya yang sengaja dia bawa, dan menciuminya sepanjang malam. Ayah yang tampak sangar itu menciumi sebuah baju bayi. Cintalah yang membuatnya demikian.
Suatu hari nanti, jika Allah meridhoi, kita mungkin akan berganti situasi. Aku yang berdiam di rumah, kamu yang bepergian. Tapi pesanku, kemanapun kamu pergi, kabarilah kami. Kecuali pada situasi yang kamu memang tidak ingin kami tahu.
Suatu kali, ketika ditugaskan meliput ke daerah konflik, aku tak mengabari ibuku. Sebenarnya selalu begitu setiap kali aku mendapatkan assignment yang bikin sport jantung. Aku tak ingin ibu dan bapakku khawatir. Tapi akhirnya mereka tahu, dan aku mendengar suara ibuku menangis di ujung telepon. “Kami hanya ingin mendoakanmu,” kata ibuku. Begitu rupanya. Mereka tidak mengkhawatirkanku. Mereka hanya ingin mengirimkan doa yang lebih banyak dari biasanya.
Jadi begitu, River. Cinta orangtua itu tak akan bisa kamu hitung dengan kalkulator paling canggih sekali pun. Sebagai anak, kita pun sebenarnya begitu. Tapi kadang ada saja saat kita merasa risih untuk mengungkapkan cinta kita kepada orangtua. Akan ada suatu masa di mana kamu mungkin akan merasa malu ketika ibumu menciummu di depan teman-temanmu, seolah-olah dengan itu akan membuatmu tampak seperti anak manja.
Akan ada saat di mana mungkin kita akan berselisih paham, dan kamu berniat meninggalkan rumah. Aku pernah. Semalaman aku menghilang dan akhirnya menjelang subuh aku kembali mengetuk pintu dan mendapati Bapak duduk di ruang tamu, terkantuk-kantuk menungguku untuk membukakan pintu. Saat itu aku ingin memeluknya dan bilang, “aku pulang karena aku mencintaimu”, tapi egoisme masa remaja menahanku untuk mengatakan itu.
Dahulu kala, seorang raja bertanya kepada penasihatnya, “Kapankah waktu yang paling penting?”
Penasihatnya menjawab, “Tak ada waktu yang lebih penting daripada saat ini. Semenit lagi mungkin akan terlambat. Sejam lagi mungkin sudah terlambat. Sehari lagi mungkin sudah terlambat.”
Dan itulah sebabnya kenapa akhirnya aku menyesal tidak mengatakan “aku mencintaimu” pada saat aku ingin mengatakannya. Bapak sudah di surga, dan aku hanya bisa berharap dia bisa mendengarku. Aku mencintaimu, Bapak…
Seorang guruku pernah menceritakan ini kepadaku. Karena tuntutan pekerjaan, beliau ini –sebut saja namanya Pak Maman, tinggal di Jakarta, sementara ayahnya tinggal di Bandung bersama adiknya. Ayahnya ini sudah tua dan pikun. Suatu hari Pak Maman pulang ke Bandung untuk menengok ayahnya dan sekaligus berziarah ke makam ibunya. Setidaknya dua kali dalam sebulan Pak Maman selalu menyempatkan diri untuk pulang. Setelah beberapa hari di Bandung, Pak Maman akhirnya kembali ke Jakarta.
Setibanya di Jakarta Pak Maman langsung menuju kantornya untuk kembali bekerja. Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Dari rumah. Adiknya yang menelepon.
“Ada apa?” tanyanya gusar, menyangka telah terjadi apa-apa dengan ayahnya.
“Bapak ingin bicara,” kata adiknya.
Lalu dia mendengar suara ayahnya yang lirih tapi masih jelas terdengar.
“Bapak kangen, kamu kapan pulang? Sudah lama kamu tidak pulang ke Bandung…”
Setelah menutup telepon, Pak Maman bergegas ke terminal, mengejar bis terakhir yang akan membawanya kembali ke Bandung. Dia tidak berusaha untuk menjelaskan kepada ayahnya bahwa dia baru saja tiba dari Bandung dan mereka sudah bertemu. Dia tidak menyalahkan ingatan ayahnya yang digerogoti demensia. Yang dia tahu, ayahnya rindu dan dia harus pulang. Begilah caranya menyatakan cinta.
Inilah cerita yang semoga akan mengajarkan kita agar tak pernah sungkan untuk menyatakan cinta kepada orangtua, betapapun mereka tidak lagi bisa mendengarkan, merasakan, atau bahkan mengingat.
- Khotbah di Atas Bukit - 10/10/2024
- Siapa Duluan? - 02/10/2024
- Dave - 26/11/2023