Ini Antar Kita Saja

Ini antar-kita saja ya, Nak.

Biasanya dia diam saja, tapi malam tadi tiba-tiba perempuan berjilbab itu menegurku. “Mas yang malam Selasa kemarin di Buncit Satu itu ya?”

Aku sempat berpikir dia sedang bertanya kepada orang lain, tapi aku yakinkan bahwa pertanyaan itu ditujukan untukku karena hanya ada aku di dekatnya. Aku juga tidak familiar dengan nama tempat yang dia sebut. Itu rupanya nama lama jalan yang sekarang kita tinggali, Nak.
“Di pengajian.” Dia menambahkan, yang kemudian membuatku mengerti apa yang dia maksud.
“O iya, Mbak. Itu saya.”
Lalu kami ngobrol-ngobrol pendek. Aku tanya sudah lamakah dia ikut di situ, dan dia jawab sudah lama. Aku juga tanya sampai jam berapa acara itu berlangsung. Dia menjawab sambil terus bekerja, menyapu sampah-sampah kertas yang berserekan dekat kakiku. Dia cleaning service di kantorku, Nak. Biasa bertugas pada jam-jam malam di sekitar kubikalku. Aku tidak tahu namanya, hanya kenal wajah. Sesekali bila ada jatah nasi kotak lebih, aku sering menawarkan kepadanya untuk dibawa pulang. Mungkin karena itulah dia mengenalku. Pertanyaannya itu juga sekaligus menjadi jawaban keingintahuan yang aku peram beberapa malam sebelumnya.

Malam itu, jalanan di depan rumah kita penuh orang, Nak. Benar-benar penuh. Dari ujung sana ke ujung lain, ruas jalan sepanjang kira-kira satu setengah kilometer itu ditutupi terpal, spanduk, atau bekas baliho. Koloner Sanders juga hadir. Aku sempat lihat ada baliho KFC juga jadi alas duduk para jemaah. Mereka semua datang untuk mendengarkan ceramah dari seorang habib. Habib tampan dengan jenggot yang tercukur rapi. Pengkhotbah yang konon keturunan langsung Rasulullah itu sukses menyulap jalanan di depan rumah kita yang biasanya sepi menjadi seperti pasar malam. Ramai sekali.

BACA:  Gerhana Matahari, Kesalahan Einstein, dan Pentingnya Kritikus

Beberapa kali aku bertemu mereka di jalan –jamaah-jamaah itu. Berangkat atau pulang beriringan memenuhi jalan. Anak-anak muda mengendarai motor tanpa helm, mengenakan baju gamis dan kopiah putih. Polisi pun tak berani menghentikan mereka. Ada juga yang berjaket dengan bordiran emas bertuliskan nama majelis taklimnya. Sering aku bertanya, siapa saja mereka dan darimana mereka berasal.

Hingga malam itu, Nak, aku memberanikan diri berada di tengah-tengah mereka. Tadinya kamu dan ibumu ikut, tapi makin maju ke dekat mimbar, ibumu memutuskan mundur. Jiper katanya. Mungkin dia merasa tidak terlalu nyaman. Aku juga sama sebenarnya. Mengenakan sarung dan t-shirt rasanya belum cukup untuk menjadi mirip dengan mereka. Tapi rasa ingin tahuku jauh lebih penting. Dengan menenteng kamera SLR, sendirian aku maju mendekati mimbar, tempat habib itu duduk dan menyampaikan khotbahnya. Oh, inilah rupanya sosok yang foto dan namanya sering terpampang di baliho-baliho besar di sepanjang jalan. Aku tahu orang-orang memperhatikanku, dan aku pun memperhatikan mereka. Darimana gerangan mereka datang? Darimana gerangan anak-anak muda bercelak mata ini datang? Siapa gerangan orang-orang yang saat dia berjalan, orang-orang lain yang sudah duduk bangkit dan menciumi tangannya?

Pengetahuanku yang dangkal ini tidak bisa segera memahami apa yang aku lihat itu, Nak. Sempat terpikir, mungkin inilah yang disebut kultus, tapi aku singkirkan jauh-jauh. Ada pengkhotbah yang CD-nya diperjualbelikan, foto-fotonya dipajang. Mungkin dia dianggap sebagai orang yang bisa menjadi perantara doa. Mungkin seperti orangtua-orangtua kami dulu mengoleksi kaset Kiai Zainuddin. Mudah-mudahan aku salah.

Sebenarnya, aku pernah melihat yang lebih kolosal dari ini, Nak. Suatu kali, aku ikut hadir di pengajian seorang ulama besar Banjarmasin. Di kampung Sekumpul, Kalimantan Selatan, pengajian Guru Ijai jauh lebih dahsyat pengunjungnya. Setiap Guru Ijai berceramah, suasana kampung rasa-rasanya mirip Hari Raya Idul Fitri. Satu kampung, Nak, bukan lagi satu jalan. Itulah saat di mana akhirnya aku menyadari bahwa memang ada yang namanya orang taat.

BACA:  Nachtwey

Barangkali kamu tidak sepakat, kalau aku bilang ketaatan itu bukan sesuatu yang stabil. Sadar atau tidak, ketaatan kita lebih sering seperti radioaktif yang atomnya tidak stabil, suka lari kemana-mana. Makanya kadang kita butuh orang sebagai patron, sebagai suluh. Agar kita nyaman. Agar kita senang. Sewaktu masih mahasiswa, aku pernah capek dengan situasi. Lalu aku lari. Aku ikuti jalan seorang teman yang rajin mendatangi sebuah mesjid kecil di seberang kampus. Di situ, sehabis isya, aku ikut mendengarkan kajian dari seorang ustadz. Semoga Allah senantiasa melindungi beliau.

Dan tiba-tiba aku merasa menjadi lebih baik, lebih saleh dari teman-temanku yang sering nongkrong di bawah tangga kampus. Aku mulai mencibiri mereka karena mereka bau ganja.

Lama aku menikmati itu hingga kemudian aku merasa ada yang –bisa saja—salah. Tujuanku adalah menjadi baik, bukan untuk menjadi merasa lebih baik. Aku seharusnya tidak mencoba mencari pembanding di luar diriku. Seharusnya pembandingnya adalah diriku sendiri secara kronologik.

Suatu kali, seorang bijak bernama Nasruddin terlihat mengais-ngais tanah di halaman rumahnya. Seorang tetangganya yang kebetulan lewat menegurnya.
“Nasruddin, sedang apa kau?” tanya tetangganya.
Nasruddin menjawab sambil terus mengorek-ngorek tanah.
“Saya mencari keping emasku yang terjatuh.”
“Di mana kamu menjatuhkannya?”
“Di dalam rumah,” jawab Nasruddin enteng.
“Lha, kalau hilang di dalam rumah, kenapa kamu mencarinya di sini?” tanya tetangganya lagi, keheranan.
“Di dalam rumah gelap. Di sini lebih terang.”

BACA:  Seekor Kucing di Depan Restoran A&W

Kita pasti membayangkan sang tetangga akan menertawai kebodohan Nasruddin habis-habisan. Bisa jadi. Karena kita terlalu sering menempatkan diri sebagai si tetangga. Kita merasa lebih pintar, lebih berpengetahuan sehingga berhak menertawai orang lain. Kita menertawai Nasruddin karena menganggap dia pandir. Padahal Nasruddin ingin mengajarkan kepada kita. Keping emas itu adalah kebahagiaan kita dan rumah yang gelap itu adalah keburukan-keburukan kita. Sehingga jika kita kehilangannya di tempat yang gelap, carilah dia di tempat-tempat yang terang.
Tapi, Nak, tentu saja kita harus menjadi Nasruddin dulu untuk memahami ini.

Anakku, River, kalau kamu tidak bisa memahami apa yang aku ceritakan kepadamu ini, kamu tak perlu khawatir. Sini aku bisikkan kepadamu. Ini antar kita saja ya, Nak, jangan bilang-bilang ke orang lain: sebenarnya aku juga tidak paham apa sesungguhnya yang ingin aku ceritakan padamu ini.

Fauzan Mukrim
Latest posts by Fauzan Mukrim (see all)

Leave a Reply

Silakan dibaca juga